Rabu, 12 Juni 2013

Abah Anom Suryalaya

Pendiri Pesantren Inabah, Suryalaya

Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin adalah nama asli Abah Anom.
Lahir 1 Januari 1915 di Suryalaya, Tasikmalaya. Ia anak kelima
dari Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, atau Abah
Sepuh, pendiri Pesantren Suryalaya. Sebuah pesantren tasawuf
yang khusus mengajarkan Thariqat Qadiriyyah Naqsabandiyah
(TQN).
Ia memasuki bangku sekolah dasar (Vervooleg school) di Ciamis,
pada usia 8 tahun. Lima tahun kemudian melanjutkan ke
madrasah tsanawiyah di kota yang sama. Usai tsanawiyah,
barulah ia belajar ilmu agama Islam, secara lebih khusus di
berbagai pesantren.
Ia keluar masuk berbagai macam pesantren yang ada di sekitar Jawa Barat seperti, Pesantren
Cicariang dan Pesantren Jambudwipa di Cianjur untuk ilmu-ilmu alat dan ushuluddin.
Sedangkan di Pesantren Cireungas, ia juga belajar ilmu silat. Minatnya untuk belajar silat
diperdalam ke Pesantren Citengah yang dipimpin oleh Haji Djunaedi yang terkenal ahli “alat”,
jago silat dan ahli hikmat.
Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai macam ilmu
keislaman pada usia relatif muda (18 tahun). Didukung dengan ketertarikannya pada dunia
pesantren, telah mendorong ayahnya yang dedengkot Thoriqot Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN)
untuk mengajarinya dzikir TQN. Sehingga ia menjadi wakil talqin ayahnya pada usia relatif
muda.
Mungkin sejak itulah, ia lebih di kenal dengan sebutan Abah Anom. Ia resmi menjadi mursyid
(pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Sebuah masa yang rawan dengan
berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama
antara DI/TII melawan TNI.
“Tasawuf tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam
kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, tentang eksistensi
tasawuf dalam ajaran Islam.
Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung
mengabaikan syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal
tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan, menurutnya lagi, ilmu
syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat.
Ia, sebagaimana lazimnya sosok sufi, tak ingin terkenal. “Ia amat sulit untuk diwawancarai
wartawan, karena beliau tak ingin dikenal orang,” ungkap Ustadz Wahfiudin, mubaligh Jakarta
yang menjadi salah seorang muridnya.
Kendati demikian, ia bukanlah sosok sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung, seperti
legenda sufi yang sering mampir ke telinga kita. Yang hidup untuk dirinya sendiri, dan
menuding masyarakat sebagai musuh yang menghalangi dirinya dari Allah swt. Ia akrab dengan
berbagai medan kehidupan, mulai dari pertanian sampai pertempuran.
Pada tahun 50-60-an kondisi perekonomian rakyat amat mengkhawatirkan. Abah Anom turun
sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Ia aktif membangun irigasi untuk mengatur
pertanian, juga pembangunan kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik.
Bahkan Abah Anom membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat
Jawa Barat untuk mengantisipasi krisis pangan. Aktivitas ini telah memaksa Menteri
Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution untuk berkunjung dan meninjau
aktifitas itu di Pesantren Suryalaya.
Medan pertempuran bukanlah wilayah asing bagi Abah Anom. Pada masa-masa perang
kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan ketertiban di
wilayahnya. Ketika pemberontakan PKI meletus (1965), ia bersama para santrinya melakukan
perlawanan bersenjata.
Bahkan tidak hanya sampai di situ, Abah Anom membuat
program “rehabilitasi ruhani” bagi para mantan PKI. Tak heran,
jika Abah mendapat berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani
Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi
lainnya.
Medan pendidikan juga tak luput dari ruang aktivitasnya. Mulai
dari pendirian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah
pada tahun 1977, sampai pendirian Institut Agama Islam
Latifah Mubarokiyah pada tahun 1986.
Kiprahnya yang utuh di berbagai bidang kehidupan manusia,
ternyata berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud.
Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud adalah
meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat
Islam. Maka menurut pendapat Abah Anom,
“Zuhud adalah qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan,
tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud
bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.”
Abah merujuk pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan
dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari)
membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.”
Jadi, menurut beliau seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta
kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berkhidmat kepada Allah
swt semata. Atau seperti dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani,
“Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan
akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”
Inabah
Mengentaskan manusia dari limbah kenistaan bukanlah perkara mudah. Abah Anom memiliki
landasan teoritis yang kuat untuk merumuskan metode penyembuhan ruhani, semuanya ada
dalam nama pesantren itu sendiri yaitu, Inabah.
Abah Anom menjadikan Inabah tidak hanya sekedar nama bagi pesantrennya, tapi lebih dari
itu, ia adalah landasan teoritis untuk membebaskan pasien dari gangguan kejiwaan karena
ketergantungan terhadap obat-obat terlarang. Dalam kacamata tasawuf, ia adalah nama sebuah
peringkat ruhani (maqam), yang harus dilalui seorang sufi dalam perjalanan ruhani menuju
Allah swt.
“..Salah satu hasil dari muraqabatullah adalah al-inabah yang maknanya kembali dari maksiat
menuju kepada ketaatan kepada Allah swt karena merasa malu ‘melihat’ Allah,” jelas Abah yang
merujuk pada kitab Taharat Al-Qulub.
Dalam teori inabah, untuk menancapkan iman dalam qalbu, tak ada cara lain kecuali dengan
dzikir laa ilaha ilallah, cara ini di kalangan TQN disebut talqin. Demikian juga dalam mesikapi
mereka yang dirawat di pesantren Inabah. Mereka harus diberikan ‘pedang’ untuk menghalau
musuh-musuh di dalam hati mereka, pedang itu adalah dzikrullah.
Orang-orang yang dirawat di Inabah diperlakukan seperti orang yang terkena penyakit hati, yang
terjebak dalam kesulitan, kebingungan dan kesedihan. Mereka telah dilalaikan dan disesatkan
setan sehingga tak mampu lagi berdzikir pada-Nya. Ibarat orang yang tak memiliki senjata lagi
menghadapi musuh-musuhnya. Walhasil, obat untuk mereka adalah dzikir.
Shalat adalah salah satu bentuk dzikir. Menurut pandangan Abah Anom, para pasien itu belum
dapat shalat karena masih dalam keadaan mabuk (sukara), karena itu langkah awalnya adalah
menyadarkan mereka dari keadaan mabuk dengan mandi junub. Apalagi sifat pemabuk adalah
ghadab (pemarah), yang merupakan perbuatan syaithan yang terbuat dari api. Obatnya tiada
lain kecuali air.
Jadi, selain dzikir dan shalat, untuk menyembuhkan para pasien itu digunakan metode wudlu
dan mandi junub. Perpaduan kedua metode itu sampai kini tetap digunakan Abah Anom untuk
mengobati para pasiennya dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dan cukup
berhasil. Buktinya, cabang Inabah tak hanya di Indonesia, di Singapura langsung berdiri sebuah
cabang serta Malaysia dua buah cabang. Belum lagi tamu-tamu yang mengalir dari berbagai
benua seperti Afrika, Eropa dan Amerika.

sumber:dari Suara Hidayatullah, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar