Rabu, 12 Juni 2013

ABU NAWAS MELAWAN ARUS

Abu Nawas orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada
tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia
belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang Badui Padang Pasir.
Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang
Arab. Ia juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. Ia sempat pulang ke negerinya,
namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada
Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.
Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu
Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang
sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia. Abu Nawas dipanggil ke
istana. Ia diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana
adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan
Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani,
menyalati dan mendo'akannya.
Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu
menggantikan kedudukan bapaknya. Namun, demi mendengar rencana sang Sultan.
Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila. Usai
upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang
dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil
berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi
terheran-heran dibuatnya.
Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak
untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-
anak bermain rebana dan bersuka cita. Kini semua orang semakin heran atas kelakuan
Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal
mati oleh bapaknya.
Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang
menemui Abu Nawas. "Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke
istana." kata Wazir utusan Sultan.
"Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya." jawab Abu Nawas
dengan entengnya seperti tanpa beban.
"Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."
"Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di
sungai supaya bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon
pisang yang dijadikan kuda-kudaan. Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat
kelakuan Abu Nawas.
"Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir. "Katakan kepada
rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.
"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran. "Sudah pergi sana,
bilang saja begitu kepada rajamu." segera Abu Nawas sembari menyaruk debu dan
dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan
Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid. Dengan geram
Sultan berkata, "Kalian bodoh semua, hanya menhadapkan Abu Nawas kemari saja tak
becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun
terpaksa!"
Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di
hadirkan di hariapan raja. Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilot
bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hariapan seorang raja. "Abu
Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.
"Ya Baginda, tahukah Anda?"
"Apa Abu Nawas...?"
"Baginda... terasi itu asalnya dari udang !"
"Kurang ajar kau menghinaku Nawas !"
"Tidak Baginda Siapa bilang udang berasal dari terasi?" Baginda merasa dilecehkan, ia
naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. "Hajar dia! Pukuli
dia sebanyak dua puluh lima kali."
Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli
tentara yang bertubuh kekar. Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika
sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.
"Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah
mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah
oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian.
Nah, sekarang mana bagianku itu?"
"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda
yang diberikan kepada tadi?"
"Iya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"
"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"
"Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah
sering menerima hadiah dari Baginda."
Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu
orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali. Tentu saja orang itu menjerit-jerit
kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila. Setelah penunggu gerbang
kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke
rumahnya. Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada
Sultan Harun Al Rasyid.
"Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu
Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu
kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda."
Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu
Nawas berada di hariapan Baginda ia ditanya.
"Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini
sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"
Berkata Abu Nawas, "Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya
dia menerima pukulan itu."
"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang ftu?"
tanya Baginda.
"Tuanku," kata Abu Nawas, "Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan
perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan
dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya; Nah pagi tadi hamba
menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua
puluh lima kali pukulan kepadanya."
"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu
dengan Abu Nawas?" tanya Baginda. "Benar Tuanku," jawab penunggu pintu gerbang.
"Tapi, hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."
"Hahahahaha...! Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!" sahut Baginda. "Abu
Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota
Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak
merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!"
"Ampun Tuanku," sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar. Abu Nawas berkata,
"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat
ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu
istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus
mencari nafkah untuk keluarga hamba." Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes
Abu Nawas, namun tiba-tba ia tertawa terbahakbahak,
"Hahahaha... jangan kuatir Abu Nawas. "Baginda kemudian memerintahkan bendahara
kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun
pulang dengan hati gembira. Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap
aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan. Pada suatu hari Raja
Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya.
"Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak ku angkat sebagai kadi?"
Wazir atau perdana meneteri berkata, "Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin
parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."
Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. "Tuanku, Abu
Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."
"Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja
mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja." Setelah
lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid
mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad. Konon dalam
suatu pertemuan besar ada seseorang bemama Polan yang sejak lama berambisi
menjadi Kadi. Ia mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika
ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada
Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.
Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur
kepada Tuhan. "Alhamdulillah... aku telah terlepas dari balak yang mengerikan. Tapi,
sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja."
Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:
Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil
Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah
lemah lunglai. Berkata bapaknya,
"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga
kiriku." Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. Ia cium telinga
kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat
busuk.
"Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"
"Benar Bapak!"
"Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini."
"Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum
sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"
"Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"
"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."
Berkata Syeikh Maulana. "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya
kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku
tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia
kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika
kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak
dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al
Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi."
Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan
diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu
kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak
menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu
perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab
pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar