Kamis, 13 Juni 2013

Membentuk Jiwa Yang Bermanfa'at : Bagaimana Cara Seorang Murid Memilih Guru

Sufinews : Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

DAN diantara perilaku seorang murid dalam berguru, hendaknya tidak berguru kecuali kepada
seorang guru yang ilmu-ilmu syariatnya benar-benar kuat dan mendalam. Hal ini dimaksudkan
agar dengan sang guru yang ilmu syariatnya mendalam ini sang murid merasa cukup dan tidak
butuh berguru lagi kepada orang lain. Tuan Guru Syekh Muhammad asy-Syanawi pernah
memberitahuku, bahwa suatu ketika ia pernah berkata kepada gurunya, Syekh Muhammad as-
Surawi, “Guru, aku ingin mengunjungi si guru (syekh) fulan.” Rupanya Tuan Guru tidak ingin
muridnya mencari guru lain, dan berkata dengan menampakkan kecemberutan di wajahnya,
‘Wahai Muhammad, bila engkau belum merasa cukup denganku, lalu bagaimana engkau
menjadikan aku sebagai gurumu?” Maka sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengunjungi guru
lain sampai beliau wafat.
Maka bisa diketahui bahwa orang yang sudah ditakdirkan untuk masuk ke dalam tarekat dan
diambil sumpahnya oleh seorang guru yang ilmu-ilmu syariatnya kurang mendalam maka tidak
ada salahnya ia berkunjung dan berkumpul dengan guru lain, sebagaimana kondisi yang terjadi
pada sebagian besar para guru di zaman ini. Maka ungkapan Syekh Abu al-Qasim al-Qusyairi,
“Dianggap kurang baik seorang murid mengikuti madzhab lain yang bukan madzhab gurunya.
Akan tetapi ia hanya diperkenankan mengikuti pada gurunya saja.” Ini jelas ditujukan untuk
murid yang mendapatkan guru yang benar-benar mendalami ilmu syariat secara sempurna.
Maka tidak ada jeleknya seorang murid mencari dan menisbatkan dirinya ke madzhab lain yang
bukan gurunya, bila gurunya tidak benar-benar mendalami ilmu syariat, bahkan hal itu wajib ia
lakukan.
Seorang Sufi Juga Seorang Yang Fakih
IMAM Ahmad bin Hanbal dengan kebesaran dan keagungannya ketika ia tidak mampu
menyelesaikan masalah, ia akan bertanya kepada sang sufi, Abu Hamzah al-Baghdadi,
“Bagaimana pendapat anda dalam masalah ini wahai sang sufi?” Maka apa yang dikatakan Abu
Hamzah akan dijadikan pegangan. Hal ini cukup menjadi catatan sejarah bagi para guru sufi.
Demikian pula dengan kisah al-Qadhi Ahmad bin Syuraih yang juga mengakui kelebihan Abu al-
Qasim al-Junaid, dimana ia juga mengikuti majelis halaqah al-Junaid, dan ketika ditanya tentang
ungkapan-ungkapan al-Junaid ia tidak banyak berkomentar dan hanya mengatakan, “Aku tidak
paham sedikit pun apa yang ia katakan, akan tetapi serangan-serangan ungkapannya bukan
ucapan yang tidak berarti.”
Syekh Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— berkata:
“Andaikan aku tahu bahwa di bawah kolong langit ini Allah memiliki ilmu yang lebih mulia
daripada ilmu kaum sufi ini tentu aku akan berangkat ke sana.” Ia juga pernah berkata: “Tidak
pernah ada ilmu yang turun dari langit dan Allah memberi jalan kepada makhluk untuk pergi ke
sana kecuali Allah juga memberiku bagian pada ilmu tersebut.” Syekh Abu al-Qasim al-Qusyairi
—rahimahullah— berkata: “Seluruh guru tarekat sufi telah membuat aturan, bahwa salah
seorang dan mereka tidak akan memimpin suatu tarekat sama sekali kecuali ia mendalami ilmu
syariat secara sempurna dan telah sampai pada tingkatan kasyaf (tersingkap seluruh hijab).
Dimana tingkatan ini sudah tidak butuh lagi mencari dalil (argumentasi). Dan apa yang
dilakukan oleh murid untuk menisbatkan diri kepada orang lain (yang bukan kaum sufi) dan
membaca ilmu-ilmu lain yang bukan ilmu kaum sufi hanyalah karena ketidaktahuan si murid
terhadap tingkatan spiritual mereka. Sebab argumentasi kaum sufi lebih kuat dan valid
daripada argumentasi kelompok lain. Ini karena argumentasi mereka didukung dengan metode
kasyaf. Dan setiap ada seorang dari kaum sufi yang hidup di suatu kurun mesti para ulama di
kurun tersebut akan hormat dan tunduk pada si sufi tersebut dan melakukan isyarat-isyaratnya.
Mereka meminta kepada Si sufi untuk membantu menghilangkan kesulitan yang sedang mereka
hadapi. Andaikan bukan kesaksian para ulama sufi akan masalah-masalah yang menyuarakan
ketinggian kedudukan mereka, tentu masalahnya akan sebaliknya, dan tidak seperti itu.” Kami
telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam Kitab al-Qawa ‘Id ash-Shuftyyah
al-Kubra. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Bolehkah Murid Menjadikan Lebih Dari Seorang Guru ?
DIANTARA perilaku yang harus dilakukan seorang murid hendaknya hanya mengambil dan
menjadikan seorang guru. Maka ia tidak diperkenankan sama sekali menjadikan dua orang guru.
Sebab tarekat kaum sufi dibangun atas dasar tauhid murni. Syekh Muhyiddin Ibnu al-’Arabi
dalam al-Futuhat al-Makkiyyah bab keseratus delapan puluh satu, menuturkan sebagai berikut:
“Perlu anda ketahui, bahwa seorang murid hanya diperkenankan menjadikan seorang guru.
Sebab hal itu lebih bisa menolongnya dalam menempuh tarekat. Kami tidak pernah melihat
seorang murid pun yang sukses dalam menempuh tarekat di bawah bimbingan dua orang guru
(tarekat). Sebagaimana di alam ini tidak ada dua Tuhan, tidak ada seorang mukalaf yang hidup
diantara dua rasul, dan tidak ada seorang perempuan yang menjadi istri dari dua orang suami,
maka demikian pula seorang murid tidak boleh mengambil dua orang guru.” Ini berlaku untuk
murid yang mengikat dirinya dengan seorang guru (tarekat) dengan tujuan suluk menuju Allah.
Adapun orang yang tidak mengikat dirinya dengan seorang guru, tapi ia sekadar mencari berkah
dari guru, maka orang seperti yang terakhir ini tidak dilarang untuk berkumpul dengan guru
siapa pun.
Tuan Guru Syekh Ali al-Murshifi —rahimahullah— mengatakan: “Barangsiapa diuji untuk
bersahabat dengan dua orang guru atau lebih, maka hendaknya menjadikan gurunya yang hakiki
selalu berada di belahan hatinya, disamping ia mencintai Rasulullah Saw. Sebab dia sebagai
pengganti Rasulullah Saw. dalam memberi nasihat kepada umatnya dan menunjukkan mereka
kejalan yang benar.”
Abu Yazid al-Bisthami pernah berkata: “Barang siapa tidak memiliki seorang guru maka ia
menyekutukan dalam tarekat, sedangkan orang yang menyekutukan dalam tarekat gurunya
adalah setan.”
Abu Ali ad-Daqqaq —rahimahullah— mengatakan: “Seseorang tidak akan mampu suluk di
tarekat kaum sufi tanpa seorang guru. Sebab perjalanan ini menempuh kegaiban atau gaibnya
kegaiban. Ibarat sebatang pohon apabila tumbuh dengan sendirinya tanpa ada orang yang
menanamnya maka tidak ada seorang pun yang bakal memanfaatkan buahnya sekalipun tumbuh
bersemi dan daunnya rindang, bahkan bisa jadi tidak akan berbuah untuk selamanya. Coba
anda perhatikan wahai saudaraku, Tuan dari para rasul, Muhammad Saw., bagaimana dengan
jibril yang menjadi perantara antara beliau dengan Tuhannya dalam menyampaikan wahyu.
Dengan demikian anda tahu, bahwa menjadikan seorang guru adalah suatu keharusan bagi
murid yang tidak bisa ditinggalkan.”
Abu Yazid al-Bisthami mengatakan: “Sungguh aku telah mengambil tarekatku ini dari guruku,
antar orang ke orang.” Kemudian cukup jelas, bahwa para salaf saleh dari generasi sahabat,
tabi’in, dan tabi’t-tabi’in tidak mengikatkan diri dengan seorang guru tertentu, tapi bisa jadi
salah seorang dari mereka menjadikan lebih dari seratus orang guru. Ini karena mereka adalah
orang-orang yang bersih dari kotoran dan ketololan nafsu, maka masing-masing orang
dianggap orang yang sempurna yang tidak butuh kepada orang yang membimbing
perjalanannya. Tapi ketika “wabah penyakit” ini semakin banyak dan mereka butuh
disembuhkan, maka para guru tarekat memerintah para murid untuk mengikatkan diri dengan
seorang guru, agar kondisi spiritual murid tidak kacau dan perjalanan yang ditempuhnya tidak
terlalu panjang. Maka pahamilah!
Diantara perilaku seorang murid hendaknya membuang seluruh keterkaitan duniawi, dan hal ini
hendaknya dijadikan modal utamanya. Sebab orang yang memiliki keterkaitan duniawi akan
sedikit sekali bisa berhasil, karena keterkaitan tersebut akan menyeretnya mundur ke belakang.
Oleh karenanya mereka mengatakan: “Diantara syarat orang yang bertobat adalah menjauhi
teman-teman jahat, dimana mereka akan menjadi temannya dalam melakukan maksiat sebelum
ia bertobat. Sebab mendekat kepada mereka barangkali bisa menyeretnya mundur ke belakang
dengan melakukan perbuatan yang sebelumnya ia sudah bertobat darinya.”
Imam al-Qusyairi —rahimahullah— berkata: “Seorang murid wajib melakukan kegiatan yang
selalu mengosongkan hatinya dari segala kesibukan. Dan diantara kesibukan-kesibukan yang
sangat berat adalah berusaha keluar dari harta yang ia miliki. Sebab dengan harta yang ada di
tangannya itu akan bisa berpaling dari jalan yang lurus (istiqamah), karena lemahnya si murid.
Sebenarnya tidak boleh ia menyimpan harta kecuali setelah ia benar-benar sempurna dalam
perjalanan tarekatnya.” Ia juga mengatakan: “Para guru merasa berat dan tidak mampu
menggandeng perjalanan seorang murid yang memiliki keterkaitan dengan duniawi. Maka
perjalanan mereka dengan menggandeng murid ini sangat lemah dan lamban. Barangkali
umurnya telah habis sementara mereka belum bisa sampai pada tingkat kesempurnaan yang ia
inginkan.”
Sufi News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar