Jumat, 14 Juni 2013
Pengenalan Diri
Sufi Road : Pengenalan Diri
Mengenal diri adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai ungkapan hadis : “ Siapa yang
mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya ,” dan sebagaimana dikatakan Al Quran : “Akan Kami
tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka agar kebenaran tampak bagi
mereka.” [QS 41 : 53]
Ketahuilah, tak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau tidak mengetahui
dirimu sendiri, bagaimana bisa mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri sendiri dari
sisi lahiriah, seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan lainnya sama sekali tak akan
mengantarmu untuk mengenal Tuhan. Sama halnya, pengetahuanmu mengenai karakter fisikal
dirimu, seperti bahwa kalau lapar kau makan, kalau sedih kau menangis, dan kalau marah kau
menyerang, bukanlah kunci menuju pengetahuan tentang Tuhan. Bagaimana bisa kau mencapai
kemajuan dalam perjalanan ini jika kau mengandalkan insting hewani serupa itu ?
Sesungguhnya pengetahuan yang benar tentang diri meliputi beberapa hal berikut :
Siapa aku dan dari mana aku datang ? kemana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan
persinggahanku di dunia ini, dan dimanakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan ? ketahuilah,
ada tiga sifat yang bersemayam dalam dirimu : hewan, setan dan malaikat . Harus kau temukan,
mana di antara ketiganya yang aksidental dan mana yang esensial. Tanpa menyingkap rahasia
itu , kau takkan temukan kebahagiaan sejati.
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Karena itu, jika engkau hewan,
sibukkanlah dirimu dalam aktivitas itu. Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan tipu daya,
dan dusta. Jika kau termasuk golongan setan, lakukan yang biasa ia kerjakan. Sementara,
malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sepenuhnya bebas dari sifat hewani. Jika
kau punya sifat malaikat, berjuanglah menemukan sifat-sifat asalimu agar kau dapat mengenali
dan merenungi DIA Yang Maha Tinggi serta terbebas dari perbudakan syahwat dan amarah.
Berupayalah untuk mencari tahu mengapa kau diciptakan dengan kedua insting hewan ini,
syahwat dan amarah, sehingga kau tidak ditundukkan dan diperangkap keduanya. Alih-alih
diperbudak keduanya, kau harus menundukkan mereka dan mempergunakannya sebagai kuda
tunggangan dan senjatamu.
Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar
yang disebut jasad, dan wujud dalam yang disebut qalb atau ruh. Qalb yang saya maksudkan
bukanlah segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan
semua fakultas lainnya dalam diri serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya. Pada
hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indrawi, melainkan sesuatu yang gaib; ia muncul di dunia ini
sebagai pelancong dari negeri asing untuk berdagang dan kelak akan kembali ke tanah asalnya.
Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci mengenal Tuhan.
Sebagian pemahaman mengenai hakikat hati atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan
mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri.
Dengan begitu, ia akan mengetahui ketakterbatasan sifat dirinya itu. Namun syariat melarang
kita menelisik hakikat ruh sebagaimana ditegaskan Al Quran : “Mereka bertanya kepadamu
tentang ruh. Katakan : ruh adalah urusan Tuhanku.”[QS 17 : 85]
Jadi, sedikit yang dapat diketahui hanyalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terbagi yang
termasuk dalam dunia titah [amr], dan bahwa ia bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan
ciptaan. Pengetahuan filosofis yang tepat mengenai ruh bukanlah awal yang niscaya untuk
meniti jalan ruhani. Pengetahuan itu akan didapatkan melalui disiplin diri dan kesabaran
menapaki jalan ruhani, sebagaimana dikatakan Al Quran : “Siapa yang berjuang di jalan Kami,
pasti akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami [yang lurus].” [QS 29 : 69]
Untuk memahami lebih jauh perjuangan batin untuk benar-benar mengenal diri dan Tuhan, kita
dapat melihat jasad kita sebagai sebuah kerajaan; jiwa sebagai rajanya dan indra beserta
fakultas lain sebagai tentaranya. Akal bisa disebut perdana menterinya, syahwat sebagai
pemungut pajak, dan amarah sebagai polisi. Dengan alasan mengumpulkan pajak, syahwat
selalu ingin merampas segala hal demi kepentingan sendiri, sementara amarah cenderung
bersikap kasar dan keras. Pemungut pajak dan polisi harus selalu ditempatkan di bawah raja,
tetapi tak mesti dibunuh atau ditindas, karena mereka punya peran tersendiri yang harus
dipenuhinya. Namun jika syahwat dan amarah menguasai nalar, maka jiwa pasti runtuh. Jiwa
yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah menguasai yang lebih tinggi, ibarat orang
yang menyerahkan bidadari kepada seekor anjing, atau seorang musim kepada seorang raja
kafir yang zalim.
Memelihara sifat-sifat setan, hewan, atau malaikat akan melahirkan watak yang bersesuaian
dengannya di hari kiamat akan mewujud dalam rupa yang kasat mata, seperti syahwat menjadi
babi, amarah menjadi anjing dan srigala, serta kesucian mewujud dalam rupa malaikat.
Pendisiplinan moral bertujuan membersihkan kalbu dari karat syahwat dan amarah sehingga
sebening cermin yang mampu memantulkan cahaya ilahi.
Mungkin ada orang yang berkeberatan dan menanyakan, “jika manusia diciptakan dengan sifat-
sifat hewan, setan dan malaikat, bagaimana kita bisa tahu bahwa sifat malaikat adalah esensi
kita, sementara sifat hewan dan setan hanyalah aksidensi ?.”
Jawabannya, esensi setiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi dan khas dalam dirinya.
Contohnya, kuda dan keledai adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul karena
ia dipergunakan juga untuk perang. Jika tidak, kuda terpuruk hanya menjadi hewan pengangkut
beban. Fakultas tertinggi dalam diri manusia adalah akal yang memampukannya merenung
tentang Tuhan. Jika akal mendominasi, maka ketika mati ia terbebas dari kecenderungan
syahwat dan amarah, sehingga dapat bergabung dengan para malaikat. Dibandingkan dengan
beberapa jenis hewan, manusia jauh lebih lemah. Berkat akal, ia dapat mengungguli mereka
sebagaimana dikatakan Al Quran : “Telah kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk
manusia.” [QS 45 : 13]
Sebaliknya, jika sifat hewani atau setan yang berkuasa, maka setelah mati ia akan selalu
menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan duniawi.
Betapa mengagumkan, jiwa rasional [akal] manusia berlimpah dengan pengetahuan dan
kekuatan. Berkat keduanya ia dapat menguasai seni dan sains, mampu bolak-balik dari bumi ke
angkasa secepat kilat, dapat memetakan langit dan mengukur jarak antarbintang. Berkat ilmu
dan kekuatan ia juga dapat menangkap ikan dari lautan dan burung di udara, bahkan kuasa
menundukkan binatang liar seperti gajah, unta dan kuda. Panca indranya bagaikan lima pintu
yang terbuka menghadap dunia luar. Namun yang paling menakjubkan dari semua itu adalah
kalbunya yang memiliki jendela terbuka ke dunia ruh yang gaib. Dalam keadaan tidur, ketika
saluran indranya tertutup, jendela ini terbuka menerima berbagai gambaran dari dunia gaib,
yang kadang-kadang mengabarkan isyarat tentang masa depan. Kalbunya bagaikan sebuah
cermin yang memantulkan segala sesuatu di Lauh Mahfuzh. Tetapi, bahkan di saat ia tidur,
pikiran-pikiran yang bersifat duniawi akan memburamkan cermin tersebut sehingga kesan-kesan
yang diterimanya tidak jelas. Bagaimanapun, saat kematian datang, semua pikiran seperti itu
akan sirna dan hakikat segala sesuatu tampak sejelas-jelasnya. Saat itulah yang dimaksud dalam
ayat Al Quran : “kamu lalai dari [hal] ini. Kami singkapkan tutup matamu sehingga
penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.” [QS 50 : 22]
Jendela dalam kalbu ini juga dapat terbuka dan mengarah ke dunia gaib di saat-saat yang
menyerupai ilham kenabian, yakni ketika intuisi muncul dalam pikiran tanpa melalui perangkat
indrawi. Makin seseorang memurnikan dirinya dari hasrat badani dan memusatkan pikiran
kepada Tuhan, semakin peka ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang yang tidak menyadari
intuisi semacam itu tak berhak menyangkal keberadaannya.
Dan tidak hanya para nabi yang bisa menerima intuisi seperti itu. Layaknya sebatang besi yang
terus dipoles akan berubah menjadi cermin, pikiran siapapun akan mampu menerima intuisi
seperti itu jika dilatih dengan disiplin yang keras. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi
ketika beliau bersabda : “setiap anak dilahirkan dengan fitrah [kecenderungan menjadi musli];
orang tuanya kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Setiap manusia di lubuk terdalam kesadarannya mendengar pertanyaan, “Bukankah Aku ini
Tuhanmu ?,” dan menjawab, “ya” [referensi QS 7 : 172]. Tetapi kebanyakan kalbu manusia
bagaikan cermin yang telah tertutup karat dan kotoran sehingga tidak dapat memantulkan
gambaran yang jernih. Berbeda dengan kalbu para nabi dan wali yang, meski mereka pun
memiliki nafsu serupa kita, sangat peka terhadap kesan-kesan ilahiah.
Sebagaimana dikatakan di atas, jiwa rasional dilimpahi pengetahuan dan kekuatan. Jadi, intuisi
seperti itu tidak hanya bisa diraih dengan pengetahuan, yang membuat manusia lebih unggul
dari semua makhluk lainnya, tetapi juga dengan kekuatan. Sebagaimana malaikat menguasai
pelbagai kekuatan alam, jiwa manusia pun berkuasa mengatur semua anggota badan. Jiwa yang
telah mencapai tingkat kekuatan tertentu, tidak saja dapat mengatur jasadnya sendiri,
melainkan juga jasad orang lain. Jika ia ingin agar seseorang yang sakit sembuh, si sakit akan
sembuh, atau jika ingin seseorang yang sehat agar jatuh sakit, sakitlah orang itu, atau jika ia
inginkan kehadiran seseorang, orang itu akan dating dihadapannya. Baik atau buruk akibat yang
ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini bergantung pada sumber kekuatannya, sihir ataukah
mukjizat.
Ada tiga hal yang membedakan jiwa yang sangat kuat ini dari jiwa orang kebanyakan.
Pertama, apa yang dilihat orang lain hanya dalam mimpi, mereka melihatnya di saat-saat jaga.
Kedua, sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka, jiwa ini, dengan
kekuatan kehendakNya, bisa pula menggerakkan jasad orang lain.
Ketiga, jika orang lain mesti belajar keras untuk mendapatkan suatu pengetahuan, ia
mendapatkannya melalui intuisi.
Tentu saja ada banyak hal lain yang membedakan jiwa mereka dari jiwa kebanyakan manusia.
Namun, ketiga tanda itulah yang dapat diketahui umum. Sebagaimana tidak ada sesuatupun
yang mengetahui hakikat sifat-sifat Tuhan kecuali Tuhan, sifat sejati seorang nabi pun hanya
diketahui oleh nabi. Tak perlu merasa heran, karena dalam kehidupan sehari-haripun kita tak
mungkin menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang tak peka terhadap rima dan irama,
atau menjelaskan keindahan warna kepada seorang yang buta. Selain ketidakmampuan, ada
perintang-perintang lain untuk mencapai kebenaran spiritual. Satu di antaranya adalah
pengetahuan capaian lahiriah. Jelasnya, hati manusia bisa digambarkan sebagai sumur dan
panca indra sebagai lima aliran yang terus mengaliri sumur itu. Untuk mengetahui kandungan
hati yang sebenarnya, kita harus menghentikan aliran-aliran tersebut dan membersihkan
sampah yang dibawanya. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang
murni, kita mesti membuang pengetahuan yang telah dicapai melalui proses indrawi dan yang
sering kali mengeras menjadi prasangka dogmatis.
Namun banyak juga orang yang salah kaprah menyikapi pengetahuan capaian lahiriah ini.
Banyak orang yang dangkal ilmunya, seraya mengutip beberapa ungkapan yang mereka dengar
dari guru-guru sufi, bercuap-cuap mencela dan menajiskan semua jenis pengetahuan. Ia tak
ubahnya seseorang yang tak tahu kimia lalu berkoar : “kimia lebih baik daripada emas,” seraya
menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tetapi alkemis
sejati amatlah langka,begitupun sufi sejati.
Setiap orang yang mengkaji persoalan in akan melihat bahwa kebahagiaan sejati tak bisa
dilepaskan dari makrifat, mengenal Tuhan. Tiap fakultas dalam diri manusia menyukai segala
sesuatu yang untuk itu dia diciptakan. Syahwat senang memenuhi hasrat nafsu, kemarahan
menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan indah, dan telinga senang mendengar
suara-suara merdu. Jiwa manusia diciptakan dengan tujuan agar ia mencerap kebenaran.
Karenanya, ia akan merasa senang dan tenang dalalm upaya tersebut. Bahkan dalam persoalan
yang remeh sekalipun, seperti permainan catur, manusia merasakan kesenangan. Dan, semakin
tinggi materi pengetahuan yang didapat, semakin besar rasa senangnya. Orang akan senang jika
dipercaya menjadi perdana menteri, tetapi ia akan jauh senang jika semakin dekat kepada raja
yang mungkin mengungkapkan berbagai rahasia kepadanya.
Seorang astronom yang dengan pengetahuannya bisa memetakan posisi bintang-bintang dan
menguraikan lintasan-lintasannya, pasti merasa jauh lebih senang ketimbang pemain catur.
Maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia saat mengetahui bahwa tak ada
sesuatupun yang lebih tinggi dari Allah. Pengetahuan tentang Allah merupakan satu-satunya
subyek pengetahuan tertinggi sehingga orang yang berhasil meraihnya pasti akan merasakan
puncak kesenangan.
Orang yang tak menginginkan pengetahuan ini tak beda dengan orang yang tak menyukai
makanan sehat; atau layaknya orang yang lebih suka lempung ketimbang roti. Ketika kematian
datang dan membunuh semua organ tubuh yang bisa diperalat nafsu, semua dorongan dan
hasrat badani musnah, tetapi jiwa manusia tidak. Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala
pengetahuannya tentang Tuhan, malah pengetahuannya semakin bertambah.
Satu bagian penting dari pengetahuan tentang Tuhan timbul dari kajian dan perenungan atas
jasad manusia yang menampilkan kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Penciptanya. Dengan
kekuasaanNya, Dia membangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa ini hanya dari setetes
air mani. Kerumitan jasad kita dan kemampuan setiap bagiannya untuk bekerja secara harmonis
menunjukkan kebijakanNya. CintaNya Dia perlihatkan dengan memberi organ tubuh yang mutlak
diperlukan manusia, seperti hati, jantung, dan otak, dan juga organ yang tidak mutlak
dibutuhkan, seperti tangan, kaki, lidah dan mata. Lalu Dia menyempurnakan ciptaanNya itu
dengan menambahkan rambut yang hitam, bibir yang memerah, dan bulu mata yang
melengkung.
Karena itu sangat pantas jika manusia disebut alam al shaghir [mikrokosmos]. Struktur jasadnya
mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang yang ingin menjadi dokter, melainkan juga oleh orang
yang ingin mencapai pengetahuan lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang
mendalam tentang keindahan dan gaya bahasa pada sebuah puisi yang indah akan
mengungkapkan lebih banyak kegeniusan penulisnya.
Namun dibandingkan pengetahuan tentang jasad beserta fungsi-fungsinya, pengetahuan
tentang jiwa lebih banyak berperan mengantar manusia pada pengetahuan tentang Tuhan. Jasad
bisa diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah penunggangnya. Jasad diciptakan untuk
jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seseorang tidak mengetahui jiwanya, sesuatu yang paling dekat
kepadanya, maka pengakuannya bahwa ia mengetahui hal-hal lain tidak berarti apa-apa. Ia tak
ubahnya pengemis yang tak punya persediaan makanan, lalu mengaku bisa memberi makan
seluruh penduduk kota.
Orang yang mengabaikan kebesaran jiwa manusia dan menodai kesuciannya dengan mengotori
atau bahkan merusaknya, pasti akan kalah di dunia dan di akhirat. Kebesaran manusia yang
sebenarnya terletak pada kemampuannya untuk terus maju dan berkembang. Tanpa
kemampuan itu ia akan menjadi makhluk lainnya, takluk oleh rasa lapar, haus, panas, dingin,
dan musnah oleh penderitaan. Sering kali apa yang disukai seseorang justru sangat
membahayakan dirinya. Dan segala hal yang memajukannya tidak bisa diperoleh kecuali dengan
kesusahan dan kerja keras. Intelektualitas manusia sesungguhnya sangat rapuh. Sedikit saja
kekacauan dalam otaknya sudah cukup untuk merusak atau membuatnya gila. Dan fisiknya pun
lebih lemah dibanding dengan hewan; bahkan sengatan tawon saja sudah mampu mengusik
ketenangan dan kesehatannya. Tabiatnya bahkan lebih lemah lagi. Satu rupiah hilang dari
kantongnya ia kelabakan dan gelisah tak keruan. Kecantikannya pun, berkat kulitnya yang
lembut, hanya sedikit lebih baik daripada makhluk lainnya. Jika tidak sering dicuci, manusia
akan tampak sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnya manusia merupakan makhluk yang teramat lemah dan hina di dunia ini.
Kebernilaian dan keutamaannya hanya akan mewujud di negeri akhirat. Melalui pendisiplinan
diri ia akan naik dari tingkatan hewan ke tingkatan malaikat. Karena itu, disertai kesadaran
sebagai makhluk terbaik dan paling unggul, ia harus berusaha mengetahui ketakberdayaannya,
karena pengetahuan itu menjadi salah satu kunci untuk membuka pengetahuan tentang Allah.
Wallahualam bishhowab
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar