Rabu, 12 Juni 2013

SYEKH ACHMAD KHOTIB SAMBASI IBN ABD GHAFFAR


Syekh Ahmad Khatib Sambasi dilahirkan di Sambas, Kalimantan
Barat. Beliau memutuskan untuk pergi menetap di Makkah pada
permulaan abad ke-19, sampai beliau wafat pada tahun 1875.
Diantara guru beliau adalah Syekh Daud ibn Abdullah al-Fatani,
seorang syekh terkenal yang berdomisili di Makkah, Syekh
Muhammad Arshad al-Banjari dan Syekh Abd al-Samad al-
Palimbani
Menurut Naquib al-Attas, Khatib Sambas adalah Syekh Qadiriyyah
dan Naqshabandiyyah. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa
beliau adalah salah satu guru dari Syekh Nawawi al-Bantani, yang
mahir dalam berbagai disiplin ilmu Islam.
Zamakhsari Dhafir menyatakan bahwa peranan penting Syekh Sambas adalah melahirkan Syekh-
Syekh Jawa ternama dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada
pertengahan abad ke-19. Kunci kesuksesan Syekh Sambas ini adalah bahwa beliau bekerja
sebagai fath al-Arifin, dengan mempraktekkan ajaran sufi di Malaysia yaitu dengan bay'a, zikir,
muraqabah, silsilah, yang dikemas dalam Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah.
Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syekh Sambasi melalui ajaran-ajarannya
setelah beliau kembali dari Makkah. Dikatakan, Syekh Sambasi merupakan ulama yang sangat
berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan
tafsir, di antaranya Syekh Abd al-Karim Banteni. Abd al-Karim terkenal sebagai Sulthan al-
Syekh, beliau menentang keras imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan kemudian
meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syekh Sambasi.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, mereka menyatakan sebagian besar
Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut Sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan
adalah bahwa Syekh Sambasi adalah sebagai seorang ulama, dimana tuduhan penulis Eopa
tersebut tidak tepat ditujukan kepada beliau. Syekh Sambasi dalam mengajarkan disiplin ilmu
Islam bekerja sama dengan Syekh-Syekh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti
Syekh Tolhah Kalisapu bin Tallabudi dari Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad
dari Madura, dimana mereka berdua pernah menetap di Makkah.
Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim
Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan pada akhir abad ke-19
Thariqat ini menjadi sangat terkenal. Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah tersebar luas
melalui Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalaam.
Pada tahun 1970, ada 4 tempat penting sebagai pusat Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah
di pulau Jawa yaitu: Rejoso (Jombang) di bawah bimbingan Syekh Romli Tamim, Mranggen
(Semarang) di bawah bimbingan Syekh Muslih, Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan
Syekh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Mbah Anom), dan Pagentongan (Bogor) di bawah
bimbingan Syekh Thohir Falak. Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah, Suryalaya
mewakili garis aliran Syekh Tolhah dan yang lainnya mewakili garis aliran Syekh Abd al-Karim
Banten dan penggantinya.
Pada prakteknya, ajaran Thariqat disampaikan melalui ceramah umum di masjid atau majelis
ta'lim di rumah salah satu anggota Thariqat. Sehingga tidak mengagetkan jika selama masa
ceramah umum, tidak ada materi yang terekam dengan cermat. Bagaimanapun juga, di bawah
bimbingan Mbah Anom, mempunyai kontribusi yang besar, dimana ajaran thariqat dibukukan
dalam sebuah kitab berjudul Miftah ash-Shudur. Tujuan dari kitab ini adalah untuk mengajarkan
teori dan praktek Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah sebagai usaha mencapai
kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Hasil usahanya yang lain terkemas dalam
kitab Uqud al-Juman, al-Akhlaq al-Karimah, dan buku Ibadah sebagai Metode Pembinaan
Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja.[]
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi penting empat dasawarsa pasca Paderi. Justeru
sejak dasawarsa ke-4 abad ke-19, Paderi menyisakan traumatik orang Minang bahkan ulama
kecewa dengan kaum adat. Kekecewaan itu tidak saja karena lumpuh menghadapi tekanan
penjajah, secara internal tak kurang dahsyatnya tantangan pengkhianatan sebagian orang
Minang sendiri terhadap Islam. Imam Bonjol sendiri mengeluh seperti terungkap dalam drama
kolosal Imam Bonjol-nya Wisran Hadi, yakni mengalahkan penjajah tidak terlalu susah, tetapi
mempertahankan persatuan di antara kita, aku terluka karenanya. Bagi ulama fenomena tadi
rasanya jalan di dunia sudah dipagar, meskipun orang adat punya dalih yang katanya way of
life (falsafah hidup) orang Minang tapi identik hela yakni adat basandi syara`, syara` basandi
Kitabullah yang belum pernah punya bentuk implementatif. Untung saja para tokoh agama plus
perjuang Paderi tidak pessimis, mereka masih yakin jalan ke langit masih tetap terbuka lebar.
Makanya untuk menelusuri jalan kelangit serta merambah kembali jalan dunia dan membongkar
pagarnya, dalam pengertian lain untuk membangun Islam dan kebangsaanQuo vadis masyarakat
dan Islam Minang?, meskipun sudah diketahui Ahmad Chatib kemudian telah melahirkan para
ulama pembaharu Islam dan pejuang penyambung mata rantai perjuangan yang terputus, tidak
saja untuk Minangkabau tetapi Indonesia secara keseluruhan.
Nama lengkap beliau Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al Minangkabawi as Syafii. Peranan
ulama yang berasal dari dunia Melayu di Masjid al-Haram Mekah sudah berjalan begitu lama
dan bersambung daripada satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai contoh ulama dunia
Melayu yang pernah menjadi imam dan khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah
yang dapat diketahui ada tiga orang, iaitu Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Lebih kurang
seratus tahun kemudian ialah Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (lahir Senin, 6 Zulhijjah
1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) di Kota Gedang Bukittinggi
Sumatera Barat dan Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277 H/1860 M, riwayat
lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M). Eksistensi Ahmad Chatib selama
hayatnya di Makah (wafat Senen, 2 Jumadil Awal 1334/ 1917) tidak saja mengangkat citra bangsa
Indonesia di mata dunia dalam bidang ilmu ke-Islaman, tetapi tidak sedikit mendidik para
ulama sebagai pejuang Islam di tanah airnya. Citra Indonesia yang diangkat pertama sebagai
orang Indonesia ia mampu menunjukkan kepada dunia luar mampu menandingi kefasihan
orang Arab sendiri dalam berbahasa Al-Qur’an, kedua membuka isolasi konsep mawalli Arab
yang memandang rendah orang asing termasuk orang Indonesia dan mengangkat derajat yang
sama dari peringkat kelas dua di mata Arab dan tidak boleh menjadi imam selain Arab. Justeru
Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy dipercaya menjadi imam umat Islam se-dunia ketika itu di
Masjid Al-Haram Al-Syarif.
Ahmad Chatib di Mekkah sampai dasawarsa ke-2 itu merupakan tiang tengah penegak mazhab
Syafi’iy. Ia belajar dan mengajarkan fiqh Syafi`iy seperti Kitab Manhaj Al-Thalibin karya Imam
Syafi’iy, Thuhfah karangan Imam Ibnu Hajar Haitami, Nihayah karang Imam Ramli dll. Ia belajar
dengan banyak guru dan para pakar di bidangnya di berbagai negara Arab. Ia pun banyak
mempunyai murid datang dari berbagai penjuru dunia Islam dan banyak pula ulama yang ia
didik. Muridnya itu kembali ke tanah air masing-masing, merdeka mengembangkan paham
keagamaan yang dianut. Setidaknya ada muridnya yang mengelompok ulama modernis (kaum
muda) dan ada yang ulama tradisional (kaum tua). Ulama-ulama yang berhasil dididik Syeikh
Ahmad Chatib itu di antaranya, ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H.Abdul
Karim Amarullah (Maninjau - Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syeikh Jamil Jambek Al-
Falaki (Bukittinggi) dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) dan ulama tua
(tradisional) dua serangkai ialah Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan
ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang abad ke-20 Burhan Al-Haq, dan
Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Bayang- Pesisir Selatan) pimpinan ulama tua
moderat pengarang buku kepustakaan pejuang penuh moral abad ke-20 Taraghub ila
Rahmatilllah (Mencari Rahmat Alla), Syeikh Taher Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik
Malaysia asal Bukittinggi ayah dari Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syeikh Sulaiman Al-Rasuli
(Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syeikh Muhammad Jamil
Jaho, Syeikh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syeikh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh
Abdullah Abbas Padang Japang, Syeikh Musthafa Padang Japang, Syeikh Musthafa Husen Purba
Baru, Syeikh Hasan Maksum Medan Deli, Syeikh KH. Muhammad Dahlan dll. dari Jawa – Madura,
Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.
Ulama murid dari Ahmad Chatib inilah yang melanjutkan perjuangan Islam sekaligus
mempunyai saham memupuk rasa kebangsaan hubb al-wathan (cinta tanah air) sebagai ciri
nasionalis sejati. Di Minangkabau muridnya menyambung mata rantai yang terputus perjuangan
pengembangan Islam dan kebangsaan pada gelombang pertama. Secara kategoris gerakan yang
paling dahsyat dalam pengembangan Islam, gelombang pertama adalah perang paderi. Pasca
Paderi disusul pergolakan agama diisi polemik Tuanku Muhammad ayah dari Taher Jalaludin
yang terlibat langsung dalam menentang paham Wahdat al-Wujud yang dalam filsafat
ketuhanan disebut dengan istilah Pantaisme. Tuanku Muhamad ini adalah tokoh pembela
paham Wahdat al-Syuhud di Cangking. Fenomena susulan pasca paderi ini merupakan
konpensasi awal kecenderungan mengalihkan perhatian kepada tashawwuf dari kejenuhan
gemuruh dunia melawan kolonialisme. Beberapa Negeri para pemuka tarekat mendirikan
kegiatan-kegiatan tarekat seperti di wilayah Darat, tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah
mendirikan suluk. Sementara di pantai barat bagian utara seperti di Pariaman, Batuhampar
(Payakumbuh), Kumango, Maninjau, Pariangan, Ulakan, Malalo dll, berkembang kegiatan tarekat
Satariyah. Kecendrungan ini menurut Buya Prof. Dr. Hamka timbul karena kegagalan perjuangan
menuntut kedaulatan duniawi oleh Paderi yang menyebabkan perhatian tertumpah kepada
urusan kerohanian (fiqh bathin) dalam pengertian lain mengalihkan perhatian ke jalan menuju
langit yang masih tetap terbuka lebar itu, di samping jalan di muka bumi telah berpagar.
Gelombang kedua adalah era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim
belajar ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871)
diteruskan dengan era gerakan murid-muridnya. Muridnya yang terkemuka di kalangan ulama
tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil
bin Muhammad Fatawi (Bayang, pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis)
dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh
Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh
Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini merupakan ulama penyambung
mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal abad ke-20.
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam gelombang kedua Minangkabau semakin mengambil
bentuk awal abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang
menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh
Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang
radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional)
dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh
Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat serta memberi PR kepada dua golongan
ulama tadi dengan 40 masalah khilafiyah. Pembaharuan tampak menggelorakan semangat
ulama-ulama kaum muda yang menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar
Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara
sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr.
Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu mendapat pujian
besar dan kaum tua (tradisional) giat menyusun kekuatan dan penulisan buku polemik dan
apologetik pembelaan paham yang dianut. Kaum muda terus melanjutkan pengaderan
(pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, antara lain di Thawalib Padang Panjang,
Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers
Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang ulama yang paling banyak melakukan
polemik dalam pelbagai bidang. Sebagai catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan
golongan pemegang adat Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka. Syeikh Ahmad Khatib
al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan
matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan
pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu. Sehubungan ini, Syeikh Ahmad
Khatib al-Minankabawi sangat menentang ajaran Kristian terutama tentang `triniti'. Dalam
permasalahan mendirikan masjid untuk solat Jumaat, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi
berkontroversi dengan Sayid Utsman (Mufti Betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari
Palembang dan ulama-ulama Betawi lainnya. Polemik yang paling hebat dan kesan yang
berkesinambungan ialah pandangannya tentang Thariqat Naqsyabandiyah. Syeikh Ahmad Khatib
al-Minankabawi telah disanggah oleh ramai ulama Minangkabau sendiri terutama oleh seorang
ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka yang berasal dari
Mungkar Tua, Minangkabau.
Sehubungan dengan sanggahannya terhadap thariqat Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
menyanggah pula teori ”Martabat Tujuh” yang berasal daripada Syekh Muhammad bin
Fadhlullah al-Burhanfuri. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian
keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap
berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikah dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah
mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah.
Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang berbeza pendapat. Yang seorang
berpihak kepada `Kaum Tua', beliau ialah Syeikh Hasan Ma'sum (1301 H/1884 M-1355 H/1974
M) yang berasal dari Deli, Sumatera Utara. Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda',
beliau ialah Haji Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka). Syeikh Ahmad Khatib
Minangkabau berpihak kepada Syeikh Hasan Ma'sum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu
kenyataannya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul
Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh dengan pemikiran Ibnu
Taimiyah (661 H/1263 M - 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan yang berpegang dengan
mazhab.
Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat terkenal menyanggah thariqat, namun
dalam penelitian saya didapati bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara yang
terdapat dalam Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya terhadap
thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat Qadiriyah, Thariqat Ahmadiyah dan
lainnya. Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan sejarah yang diperoleh
ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau yang mendahului pertikaian. Mengenainya dimulai
sepucuk surat yang menanyakan kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis :
"Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu was salam datang
kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif, Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari
negeri Jawi menyatakan beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada
masa kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ? Kerana telah bersalah-
salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba lihat, menjawab soal ini ialah terlampau
masyaqqah atas hamba, kerana pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga
menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita. Dan orang yang mungkir
akan dia ialah memungkiri akan agama Islam. Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada
muthabaqah dengan waqi'...''
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memiliki banyak murid di Indonesia yang kemudian
dikenal sebagai ulama-ulama pembaharu Islam ”garda depan” pada zaman mereka. Di antara
murid-murid beliau dari Indonesia tersebutitu dapat dicatat, yaitu Syeikh Sulaiman Ar Rasuli
Candung Bukittinggi. Kemudian terdapat Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syeikh
Abbas Qadhi Ladang Lawa Bukittinggi, Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syeikh
Khatib Ali Padang, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Mustafa Husein Purba Baru
Mandahiling, Syeikh Hasan Maksum Medan Deli dan banyak lagi ulama di Jawa, Madura,
Sulawesi, Kalimantan yang merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ini.
Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan terhadap thariqat. Beliau menulis
dalam kitab yang berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai
ditulis pada malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M. Kitab tersebut telah mengundang
kemarahan seluruh penganut Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut
tasawuf daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka
menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah kitab berjudul Irghamu Unufi
Muta'annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam
tahun 1325 H/1907 M.
Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin itu
hanya beberapa bulan saja mendahului kitab Mir-atul a-'ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani
menjawab pertanyaan Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M.
Syeikh Muhammad Sa'ad bin Tanta' Mungka itu tidak membantah karya gurunya Syeikh Ahmad
al-Fathani, tetapi secara serius karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat
perlu ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-Quran, hadis dan
pandangan para ulama shufiyah. Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Muti'annitin oleh Syeikh
Muhammad Sa'ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan
kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba'dhil
Muta'ashshibin. Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka dengan
karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba'dhil Anam. Sesudah karya ini tidak
terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau.
Karya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau yang telah ditemui hanya 17 judul. Ada yang ditulis
dengan bahasa Arab dan ada juga dengan bahasa Melayu. Kerana kekurangan ruangan, yang
dapat disenaraikan dalam artikel ini hanya lapan judul yaitu : Al-Jauharun Naqiyah fil A'mali
Jaibiyah (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Isnin, 28 Zulhijjah 1303 H. Kandungannya
membicarakan ilmu miqat. Dicetak oleh Mathba'ah al- Maimuniyah, Mesir, Rejab 1309 H.
Hasyiyatun Nafahat `ala Syarhil Waraqat (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Khamis, 20
Ramadan 1306 H. Kandungannya mengenai ilmu ushul fiqh. Dicetak oleh Mathba'ah Darul
Kutub al-'Arabiyah al-Kubra, Mesir, 1332 H. Raudhatul Hussab fi A'mali `Ilmil Hisab (bahasa
Arab), diselesaikan peringkat pertama hari pada Ahad, 19 Zulkaedah 1307 H di Mekah.
Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba'ah al-
Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1310 H. Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa
Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushl wal Furu' (bahasa Melayu). Diselesaikan pada 14 Muharam
1309 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan
membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah,
Mesir, Zulkaedah 1311 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul Al-Manhajul Masyru'
Tarjamah Kitab Ad-Da'il Masmu' (bahasa Melayu). `Alamul Hussab fi `Ilmil Hisab (bahasa
Melayu), diselesaikan pada 6 Jamadilakhir 1310 H. di Mekah. Kandungannya mengupas dengan
mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba'ah al-'Amirah al-Miriyah, Mekah, akhir
Zulkaedah 1313 H. Bahagian tepi dicetak karya beliau berjudul An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah
Khulashatil Jawahirin Naqiyah fil A'malil Jabiyah (bahasa Melayu), selesai mengarang pada
malam Sabtu, 6 Jamadilakhir 1313 H. Al-Manhajul Masyru' Tarjamah Kitab Ad-Da'il
Masmu' (bahasa Melayu), diselesaikan pada hari Khamis, 26 Jamadilawal 1311 H. di Mekah.
Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka
menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah
1311 H. Bahagian tepi dari buku nomor 6 diatas, dicetak karya beliau berjudul Ad-Da'il Masmu'
fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushul wal Furu' Dhau-us
Siraj (bahasa Melayu), diselesaikan pada malam 27 Rabiul Akhir 1312 H. di Mekah.
Kandungannya membahas mengenai seluk beluk israk dan mikraj. Dicetak oleh Mathba'ah al-
Miriyah al-Kainah, Mekah, 1325 H. Shulhul Jama'atain bi Jawazi Ta'addudil Jum'atain (bahasa
Arab), diselesaikan pada malam Selasa, 15 Rejab 1312 H. di Mekah. Kandungannya
membicarakan Jumaat, merupakan sanggahan sebuah karya Habib `Utsman Betawi. Cetakan
pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1312 H.
Satu hal yang menjadi suri teladan dan panutan sebagai tokoh tiang tua pembela paham
Syafi`iy dan Ahli Sunnah wa l-Jama`ah ini ialah Ahmad Chatib tidak pernah memihak pada
salah satu kelompok muridnya baik ulama modernis (kaum muda) mau pun ulama tradisional
(kaum tua). Keadilannya itu sudah menjadi sikapnya sewaktu mulai mengajar di Masjid Al-
Haram Makah dan setelah muridnya dilepas ke tengah umat masing-masing, meski ia sendiri
harus memberontak atas sistem perkawinan dan kewarisan yang dinominasi hukum adat di
negerinya. Di antara polemik muridnya ia berjalan di tengah. Sikapnya itu terlihat dalam fiqh al-
bathin (kode prilaku bathin), perinsip, tindakannya, maupun dalam pandangannya secara oral
dan dalam tulisan lepas dan dalam bentuk buku baik ditulis dalam bahasa Malayu
menggunakan huruf Arab – Malayu maupun dalam bahasa Arab. Syeikh Ahmad Chatib Al-
Minangkabawiy menjadi bintang di langit Minang bahkan menghiasi langit dunia menandingi
ulama penulis 34 buku Islam dari Banten ialah Syeikh Nawawi Banten (wafat 1315 H), karena ia
berhasil dan ia anak emas zamannya. Ia mengangkat citra Indonesia di mata dunia, ia dipercaya
pemberi fatwa (mufti) dunia, ia terangkat dari mawalli dipercayai mengimami dunia di Masjid
al-Haram. Ia bandyak melahirkan pandangan dan pemikiran yang jernih, baik dalam bentuk
fatwa oral (langsung secara lisan) maupun tertulis lewat risalah (surat kiriman) yang diminta
muridnya ketika kandas dan tertarung di batu kecil dalam polemik ke-Islaman. Ia banyak
menulis memproduk buku-buku keagamaan dan pengetahuan menghimpun pemikirannya yang
tidak ternilai harganya di dunia Islam. Lebih dari itu, ia melahirkan ulama kader pembaharu
abad ke-20 serta pelanjut dan penyambung mata rantai perjuangan Islam.
Sebuah refleksi untuk zaman sekarang, tokoh Ahmad Chatib ini dan muridnya hidup di zaman
penjajah yang serba sulit di bawah tekanan dan fasilitas terbatas serta peluang sempit, mampu
melahirkan pemikiran dan karya tulis yang bernas serta melahirkan kader pelanjut, kenapa
sekarang hidup di zaman merdeka, berkarya tak gairah, produktifitas pemikiran tidak terbaca di
peta tanah air apalagi di dunia dan amat riskan tidak mampu melahirkan kader ulama pelanjut,
nama besar Minang seperti lenyap ditelan dunia maju sekarang. Fenomena ini mendalangi
munculnya tanda tanya besar yang tak pernah berjawab, kalau dulu Minang gudang ulama,
sekarang langka ulama, kalau pun ada ulama satu atau dua, pemikiranntnya tidak pula
dipertimbangkan untuk kepentingan Islam dan kebangsaan di kawasan ini bahkan ironisnya
tidak dipandang sebelah mata. Ila aidna (quo vadis – hendak kemana) dan bagaimana
masyarakat dan Islam Minang, kini?. Solusi terpenting adalah kesadaran baru semua komponen
Minang harus ditumbuhkan, tak harus banyak bernostalgia dan berapologia. Belajar terus
berlajar berperan lagi dan punya identitas yang kuat serta berfikir dan berkarya.

Sumber : Sohibulmanfaat
: Tim Peneliti FIBA IAIN Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar