Senin, 01 Juli 2013

Hukum Ghibah

         GHIBAH

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad yang telah bersabda:

ﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻛﺎﻥ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﻳﺆﻣﻦ ﺍﻵﺧﺮ ﻓﻠﻴﻘﻞ ﺧﻴﺮﺍ ﻟﻴﺼﻤﺖ ﺃﻭ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Amma ba’du.

Saudaraku sekalian, ghibah atau menggunjing adalah perbuatan yang pada asalnya dilarang oleh

Islam. Ghibah adalah perbuatan dosa besar, yang bahkan Allah menyamakan orang yang melakukan
ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, Allah ta’ala berfirman:

ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺎ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﺗَﺠَﺴَّﺴُﻮﺍ ﺇِﺛْﻢٌ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﻥَّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﺍ ﻭَﻻ ﺑَﻌْﻀُﻜُﻢْ ﻳَﻐْﺘَﺐْ ﻭَﻻ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺑَﻌْﻀًﺎ ﺃَﻳُﺤِﺐُّ ﺃَﻥْ
ﻳَﺄْﻛُﻞَ ﻟَﺤْﻢَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﻣَﻴْﺘًﺎ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓَﻜَﺮِﻫْﺘُﻤُﻮﻩُ ﺗَﻮَّﺍﺏٌ ﺇِﻥَّ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺭَﺣِﻴﻢٌ ﺍﻟﻠَّﻪ
َ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari
prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian
menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat:
12)
Meskipun demikian ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan. Karena
dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam
kesempatan ini kita akan sedikit mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat
dan mana ghibah yang terlarang.
Pengertian Ghibah
Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub
menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il
bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:
ﻗَﻻُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﻐِﻴﺒَﺔُ ﺃَﺗَﺪْﺭُﻭﻥَ ﻣَﺎ ﺫِﻛْﺮُﻙَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﻜْﺮَﻩُ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﺇِﻥْ ﺃَﻓَﺮَﺃَﻳْﺖَ ﻗِﻴﻞَ ﺑِﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺧِﻲ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﻣَﺎ ﺃَﻗُﻮﻝُ ﺇِﻥْ
ﻓِﻴﻪِ ﺗَﻘُﻮﻝُ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻢْ ﻭَﺇِﻥْ ﺍﻏْﺘَﺒْﺘَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﻣَﺎ ﺑَﻬَﺘَّﻪُ ﻳَﻜُﻦْ ﻓِﻴﻪِ ﻓَﻘَﺪْ
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau
bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu
ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya
sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu
sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai
dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR.
Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’ , hal. 26)
Keharaman Ghibah
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit maupun banyak. Di dalam
Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata:
َﺔَّﻴِﻔَﺻ ﻣِﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺬَﺍ ﺣَﺴْﺒُﻚَ ﻏَﻴْﺮُ ﻭَﻛَﺬَﺍ ﻣُﺴَﺪَّﺩٍ ﺗَﻌْﻨِﻲ ﻗَﺼِﻴﺮَﺓً ﻛَﻠِﻤَﺔً ﻟَﻘَﺪْ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺑِﻤَﺎﺀِ ﻣُﺰِﺟَﺖْ ﻟَﻮْ ﻗُﻠْﺖِ ﻟَﻤَﺰَﺟَﺘْﻪُ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ
“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat
demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah
bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh
engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka
niscaya akan merubahnya.”
Di dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat hadits dari jalan Abu Bakrah
yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْﻢُﻜَﻟﺍَﻮْﻣَﺃَﻭ ْﻢُﻛَﺀﺎَﻣِﺩ ﻳَﻮْﻣِﻜُﻢْ ﻫَﺬَﺍ ﻛَﺤُﺮْﻣَﺔِ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﺇِﻥَّ ﺷَﻬْﺮِﻛُﻢْ ﻫَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﺑَﻠَﺪِﻛُﻢْ
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian) semua itu
adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini
dan di negeri kalian yang suci ini.”
Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau
berkata:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang
lantang: “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum
meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan
mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang
siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-
ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka
pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum
dalam Shahihul Musnad, 1/508)

Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang
memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.” (Hadits ini Shahih) (Nashihati lin Nisaa’ , hal. 26-27)
Ghibah yang Dibolehkan

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir
beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan
darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana

dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan
semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu
dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”

Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika
Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang
yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan
tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.”
(Nashihati lin Nisaa’ , hal. 27-28)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh
syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:

1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang
dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya
dengan cara demikian.”

2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar
kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian
maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu
adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya
tetap haram.

3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku
menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah
menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan
mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian
dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”

4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati
mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.

5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau
bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa
dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan
kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.

6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer
dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain
sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau
melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihatRiyadhush Shalihin , dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin,
4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu
Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:

1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha , beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin

bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ﻟَﻪُ ﺑِﺌْﺲَ ﺍﺋْﺬَﻧُﻮﺍ ﺍﻟْﻌَﺸِﻴﺮَﺓِ ﺃَﺧُﻮ ﺍﻟْﻌَﺸِﻴﺮَﺓِ ﺃَﻭْ ﺍﺑْﻦُ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya
mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺃَﻇُﻦُّ ﻓُﻠَﺎﻧًﺎ ﻣَﺎ ﻳَﻌْﺮِﻓَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﻭَﻓُﻠَﺎﻧًﺎ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠَّﻴْﺚُ ﺩِﻳﻨِﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘِﻴﻦ ﻛَﺎﻧَﺎ ﺭَﺟُﻠَﻴْﻦِ

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari)
Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang
munafiq.”
3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha , beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:

َّﻥَﺇ ﻭ ﺟَﻬْﻢٍ ﻣُﻌَﺎﻭِﻳَﺔَ ﺃَﺑَﺎ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺧَﻄَﺒَﺎﻧِﻲ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣُﻌَﺎﻭِﻳَﺔُ ﺃَﻣَّﺎ ﻣَﺎﻝَ ﻓَﺼُﻌْﻠُﻮﻙٌ ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﻟَﺎ ﻟَﻪُ ﺃَﺑُﻮ
ﺟَﻬْﻢٍ ﻓَﻠَﺎ ﻋَﺼَﺎﻩُ ﻳَﻀَﻊُ ﻋﻠﻴﻪ). ﻋَﻦْ (ﻣﺘﻔﻖ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻋَﺎﺗِﻘِﻪِ ﻭﻓﻰ “ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺟَﻬْﻢٍ ﻟﻤﺴﻠﻢ: ﺿَﺮَّﺍﺏٌ ﻓَﺮَﺟُﻞٌ ﺃَﺑُﻮ ﻭﻫﻮ ﻟِﻠﻨِّﺴَﺎﺀِ” ﺗﻔﺴﻴﺮ
ﻳَﻀَﻊُ ﻟﺮﻭﺍﻳﺔ: ” ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺗِﻘِﻪِ”. ﻋَﺼَﺎﻩُ ﻓَﻠَﺎ ﻭﻗﻴﻞ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻷﺳﻔﺎﺭ

“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta.
Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari
pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki
yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan
tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah:
orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata:
ﻣﻊ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭَﺳُﻮﻝ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺧﺮﺟﻨﺎ ﻓﻲ ﺃﺻﺎﺏ ﻭَﺳَﻠَّﻢ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻪ ﺳﻔﺮ ﺷﺪﺓ ﺍﻟﻠَّﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺃﺑﻲ: ﺑﻦ ﻻ ﻋﻠﻰ ﺗﻨﻔﻘﻮﺍ
ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣﻦ ﺭَﺳُﻮﻝ ﺣﺘﻰ ﻋﻨﺪ ﻭﻗﺎﻝ: ﻟﺌﻦ ﻳﻨﻔﻀﻮﺍ، ﺭﺟﻌﻨﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻋﺰ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﺄﺗﻴﺖ ﺭَﺳُﻮﻝ ﻟﻴﺨﺮﺟﻦ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻷﺫﻝ، ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢ ﻓﺄﺧﺒﺮﺗﻪ ﺇﻟﻰ ﺑﺬﻟﻚ، ﻓﺄﺭﺳﻞ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺑﻦ ﻓﺎﺟﺘﻬﺪ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ: ﻣﺎ ﻓﻌﻞ، ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛﺬﺏ ﺭَﺳُﻮﻝ ﺯﻳﺪ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﻭَﺳَﻠَّﻢ، ﻗﺎﻟﻮﻩ ﻓﻲ ﻓﻮﻗﻊ ﻣﻤﺎ ﻧﻔﺴﻲ ﺣﺘﻰ ﺷﺪﺓ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺗﺼﺪﻳﻘﻲ (ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻙ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻘﻮﻥ)
ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻘﻴﻦ 1 (ﺛﻢ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺩﻋﺎﻫﻢ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻَﻠَّﻰ ﻟﻴﺴﺘﻐﻔﺮ ﻟﻬﻢ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓﻠﻮﻭﺍ ﻭَﺳَﻠَّﻢ (ﻣُﺘَّﻔَﻖٌ ﺭﺅﻭﺳﻬﻢ )
Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu
perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin
Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita
pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian
beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru
berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun
mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan
mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya
untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-
Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta
beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-
kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)
5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha , beliau berkata:
ﻗﺎﻟﺖ ﻫﻨﺪ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺃﺑﻲ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢ ﺻَﻠَّﻰ : ﺃﺑﺎ ﺇﻥ ﺷﺤﻴﺢ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻭﻟﻴﺲ ﺭﺟﻞ ﻣﺎ ﻳﻌﻄﻴﻨﻲ ﻳﻜﻔﻴﻨﻲ
ﻭﻭﻟﺪﻱ ﻣﺎ ﺇﻻ ﻣﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻻ ﺃﺧﺬﺕ ﻗﺎﻝ ﺧﺬﻱ ﻳﻌﻠﻢ، ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻚ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭﻭﻟﺪﻙ (ﻣُﺘَّﻔَﻖٌ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ )
Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu
Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku
dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas
bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-
anakmu.”  (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin , dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)

Praktek Ulama Salaf

Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat
hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk
menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala
apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits , hal. 228)
Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak
merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang
matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku
orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak
melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?” (Al-Baa’itsul Hatsiits , hal. 228)
Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin
Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada
beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka
kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits , hal. 228)

Tips MENGHINDARI GHIBAH

Kebiasaan satu ini begitu mudah menjangkit pada seseorang. Bisa datang melalui televisi, bisa
pula melalui kegiatan arisan, berbagai pertemuan, sekedar obrolan di warung belanjaan bahkan
melalui pengajian, untuk menghindarinya memang kita harus ekstra hati hati :

1. Isi waktu luang dengan kegiatan positif.

2. Bercobalah Berempati
Bayangkan bagaimana jika keburukan kita pun di bicarakan orang, ingatlah hadis bahwa ‘ Allah akan
menutupi cacat kita sepanjang kita tidak membuka cacat orang lain, sebaliknya tak perlu heran jika
allah pun akan membuka cacat kita di depan orang lain jika kita membuka cacat orang.

3. Cobalah untuk berpikir sebelum berbicara.
Tanyakan dalam diri, “perlukah saya mengatakan hal ini? dan kembangkan menjadi, ‘apa
manfaatnya? apa mudharatnya?’

4. Berbicara sambil berzikir
Berzikir di sini maksudnya selalu menghadirkan ingatan kita kepada Allah SWT, ingatlah betapa
buruknya ancaman dan kebencian Allah kepada orang yang berghibah.

5. Tingkatkan rasa percaya diri
Orang yang tidak percaya diri, suka mengikut saja perbuatan orang lain, sehinga ia mudah terseret
perbuatan ghibah temannya, bahkan dia pun berpotensi meneyebabkan ghibah, karena tak
memiliki kebangaan terhadap dirinya sendiri sehingga lebih senang memperhatikan membicarakan
dan menilai orang lain.

6. Buang penyakit hati
Kebanyakan ghibah tumbuh karena di dasari rasa iri dan benci, juga ketidak ikhlasan menerima
kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung dari pada kita. dan kalau dirinya
kurang beruntung, dia pun senang menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih sengsara daripada dirinya.

7. Hindari, Ingatkan dia atau Pergi.
Hindarilah segala sesuatu yang mendekatkan kita pada ghibah dimana saja dan kapan saja. Jika
terjebak dalam sistuasi ghibah seperti di komunitas arisan pengajian atau komunitas apapun,
ingatkanlah mereka akan kesalahan, jika tak mampu setidaknya diam dan tak menanggapi ghibah tersebut.

Atau anda memilih hengkang dan menyelamatkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar