Rabu, 10 Juli 2013

Tawasul dan Wasilah

Tawasul dan Wasilah ~ TQN MARGADANA
                                                  

                                                     Pengertian Tawassul

Secara etimologi tawassul berasal dari kata "tawassala - yatawassalu - tawassulan "
yang berarti mengambil perantara (wasilah), taqarrub atau mendekat.
Sedangkan secara terminologi: tawassul adalah usaha mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan menggunakan wasilah (perantara). Wasilah sendiri berarti
kedudukan di sisi Raja, jabatan, kedekatan dan setiap sesuatu yang dijadikan
perantara pendekatan dalam berdo'a. Imam An-Nasafiberkata: "Wasilah adalah
semua bentuk di mana seseorang bertawassul atau mendekatkan dirinya
dengannya."
Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini
adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik
perantara tersebut berupa amal baik ataupun melalui orang sholeh yang kita
anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah.
Hal-hal yang perlu diperhatikan orang yang bertawassul
1. Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan
berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT
juga mencintai perantaraan tersebut.
2. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada
Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya . Jika ia berkeyakinan
bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi
manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang
bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
3. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.
Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT.
Banyak sekali cara untuk berdo'a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga
malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya
dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang
sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do'a yang kita
panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan demikian, tawasul adalah
alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.
Tawasul adalah berdoa kepada Allah dengan melalui wasilah (perantara). Salah
satu landasannya adalah :
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah jalan
(wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, .... (QS.Al-Ma'idah 5:35)
Misalnya dalam doa Dluha : .... Allahuma in kaana rizka fis samaa fa anzilhu, wa
inkaana fil ardli fa akhrijhu.... bihaqi dhuha-ika, wa quwatika, wal qudratika ... ( Ya
Allah jika rizki di langit turunkanlah, jika di bumi keluarkanlah ... dengan haq
dhuha-Mu, kekuatan-Mu, kekuasaan-Mu, .....)
Dalam shalawat badar : .... tawassalna bi bismillah wa bil hadi rasulillah, wa kulli
mujahidin lillah bi ahlil badri, Ya Allah (... Kami bertawasul dengan bismillah dan
petunjuk rasulillah, dan seluruh mujahidin di jalan Allah pada perang Badar)
Hukum tawassul adalah sunah, kecuali kepada orang yang sudah meninggal (dalam
contoh di atas Mujahidin badar) terdapat ikhtilaf. Ada yang melarang, sedang yang
lain memperbolehkan/sunah.
Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam
Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian
yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya,
maka inilah tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-
apa yang diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan
RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264)
“Do’a apabila disertai dengan bertawassul kepada Allah lewat perantara seorang
makhluk adalah khilaf far’I dalam tatacara berdo’a dan bukan merupakan masalah
aqidah” (Asy-Syahid Hasan Al-Banna)
MACAM-MACAM TAWASSUL
1. Tawassul dengan Iman kepada Allah dan RasulNya.
Tawasul kepada Allah dengan nama-nama Allah yang baik dan sifat-sifat-Nya yang
tinggi. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
ُﺀﺎَﻤْﺳَﻷﺍ ِﻪﻠﻟِ َﻭ ﻰَﻨْﺴُﺤْﻟﺍ ﻩْﻮُﻋْﺩﺎَﻓ ﺎَﻬِﺑ
“Dan hanya milik Allah nama-nama yang baik. Maka berdo’alah kalian dengan
(wasilah) nama-nama tersebut”. (Al A’raaf : 180)
Asy Syaikh Abdurrahaman As Sa’di rahimahullah menafsirklan ayat ini dengan
ucapan beliau: “Dan diantara kesempurnaan nama-nama Allah yang baik tersebut
adalah tidaklah Dia diseru melainkan dengan (wasilah) nama-nama-Nya dan seruan
(do’a) tersebut mencakup do’a ibadah dan do’a permintaan. Dia diseru di dalam
setiap permintaan dengan nama yang sesuai dengan permintaan tersebut.
Contohnya seseorang berdo’a: “Ya Allah ampunilah aku dan rahmatilah aku.
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Terimalah taubatku
wahai Dzat yang Maha Memberi taubat. Berilah aku rizki wahai Dzat yang Maha
Memberi rizki. Berilah kelembutan padaku wahai Dzat yang Maha Lembut dan lain-
lain”.
Tidaklah diragukan bahwa sifat-sifat Allah yang tinggi juga termasuk di dalam
wasilah tersebut karena nama-nama-Nya yang baik sekaligus mengandung sifat-
sifat bagi-Nya. Terlebih lagi Rasululullah amalkan di dalam do’anya yang shohih:
َّﻢُﻬﻠﻟﺍ َﻚِﻤﻠِﻌِﺑ َﺐْﻴَﻐْﻟﺍ َﻭ َﻚِﺗَﺭْﺪُﻗ ﻰﻠﻋ ِﻖْﻠَﺨْﻟﺍ ﻲِﻨِﻴْﺣَﺃ ﺎَﻣ َﺖْﻤِﻠَﻋ َﺓﺎَﻴَﺤﻟﺍ ﺍًﺮْﻴَﺧ ﻲﻟ ﻲِﻨَّﻓَﻮَﺗَﻭ ﺍَﺫَﺇ ِﺖَﻧﺎَﻛ
ُﺓﺎَﻓَﻮﻟﺍ ﻲﻟ ﺍًﺮْﻴَﺧ
“Ya Allah dengan ilmu-Mu tentang yang ghaib dan kekuasaan-Mu terhadap
makhluk-Mu, hidupkanlah aku yang Engkau telah ketahui bahwa hidup itu lebih
baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku”. ( H.R An
Nasa’i dan Al Hakim serta dishohihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam “Shohih An
Nasa’i no. 1304).
Disini beliau bertawasul kepada Allah dengan wasilah dua sifat-Nya yaitu “Al Ilmu”
dan “Al Qudrah” (kekuasaan).
Allah tetapkan perkara ini di dalam firman-Nya:
ﺎَﻨَّﺑَﺭ ﺎَﻨَّﻧِﺇ ﺎًﻳَﺩﺎَﻨُﻣ ﺎَﻨْﻌِﻤَﺳ ِﻥﺎَﻤْﻳِﻺِﻟ ﻱِﺩﺎَﻨُﻳ ﺍْﻮُﻨِﻣﺁ ْﻥَﺃ ْﻢُﻜِّﺑَﺮِﺑ ﺎَﻨَّﺑَﺭ ﺎَّﻨَﻣﺂَﻓ ﺎَﻨَﻟْﺮِﻔْﻏﺎَﻓ َﻭ ﺎَﻨَﺑْﻮُﻧُﺫ ْﺮِّﻔَﻛ ﺎَّﻨَﻋ ﺎَﻨِﺗﺎَﺌِّﻴَﺳ
ﺎَﻨَّﻓَﻮَﺗ َﻭ َﻊَﻣ ِﺭﺍَﺮْﺑَﻷﺍ
“Wahai Rabb kami sesungguhnya kami telah mendengar seruan orang yang
menyeru (Muhammad ) kepada keimanan yaitu: “Berimanlah kalian kepada Rabb
kalian”. Maka kami pun beriman. Wahai Rabb kami ampunilah dosa-dosa kami,
hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-
orang yang baik”.(Ali Imran : 193)
Maka lihatlah mereka menyebutkan keimanan terlebih dahulu sebelum berdo’a !
Bahkan iman dan amalan sholih sendiri merupakan sebab dikabulkannya sebuah
do’a sebagaimana firman Allah :
ُﺐْﻴِﺠَﺘْﺴَﻳَﻭ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ َﻦْﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻮُﻠِﻤَﻋَﻭ ﻦﻣ ْﻢُﻫْﺩِﺰَﻳِﻭ ِﺕﺎَﺤِﻟﺎَّﺼﻟﺍ ِﻪِﻠْﻀَﻓ
“Dan Dia memperkenankan do’a orang-orang yang beriman dan beramal sholih
serta menambah balasan kebaikan kepada mereka dari keutamaan-Nya”. (Asy
Syura :26). Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam “Al Qo’idah
Al Jalilah” hal. 97 dan 241.
Tawasul dengan menyebutkan keadaannya yang sangat membutuhkan sesuatu
kepada Allah, sperti misal Do’a Nabi Zakariya ? yang Allah kisahkan di dalam
firman-Nya menunjukkan bolehnya perkara ini. Dia berfirman:
ِّﺏَﺭ َﻝﺎَﻗ ﻲِّﻧِﺇ َﻦَﻫَﻭ ُﻢْﻈَﻌْﻟﺍ ﻲِّﻨِﻣ ﺎًﺒْﻴَﺷ ُﺱْﺃَّﺮﻟﺍ َﻞَﻌَﺘْﺷﺍَﻭ ْﻦُﻛَﺃ ْﻢَﻟَﻭ َﻚِﺋﺎَﻋُﺪِﺑ ﺎًّﻴِﻘَﺷ ِّﺏَﺭ
“Wahai Rabbku sesungguhnya tulangku telah melemah, rambutku telah ditumbuhi
uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada-Mu, wahai Rabbku”.
(Maryam : 4)
Kemudian beliau pun meminta kepada Allah untuk dianugerahi seorang putera
yang sholih. Dan Allah pun mengabulkannya.
2. Tawassul dengan amal sholeh kita
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan
perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa,
membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi.
Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang
menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama
bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya,
yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui
perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga
bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat
terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT
memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah
ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal
160)
Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya
tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap
sholeh dan mempunyai amrtabat dan derajat tinggi dei depan Allah. sebagaimana
ketika seseorang mengatakan : ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-
Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama
mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi
kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah
sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada
dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul
pada amal perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang
diperbolehkan oleh ulama’.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar berkata,”Saya telah
mendengar Rasulullah saw bersabda,’Pernah terjadi pada masa dahulu sebelum
kamu. Tiga orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam didalam sebuah goa.
Tiba-tiba ketika mereka sedang berada didalam goa itu jatuhlah sebuah batu besar
dari atas bukit dan menutupi pintu goa itu hingga mereka tidak dapat keluar.
Berkatalah mereka,’Sungguh tiada sesuatu yang dapat menyelamatkan kalian dari
bahaya ini kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan (perantara) amal-amal
shaleh yang pernah kalian lakukan dahulu. Maka berkata seorang dari
mereka,’Wahai Allah dahulu saya mempunyai ayah dan ibu dan saya biasa tidak
memberi minuman susu pada seorang pun sebelum keduanya (ayah-ibu), baik
pada keluarga atau hamba sahaya. Pada suatu hari saya menggembalakan ternak
ditempat yang agak jauh sehingga tidaklah saya pulang pada keduanya kecuali
sesudah larut malam sementara ayah ibuku telah tidur.
Maka saya terus memerah susu untuk keduanya dan saya pun segan untuk
membangunkan keduanya dan saya pun tidak akan memberikan minuman itu
kepada siapa pun sebelum ayah ibu. Lalu saya menunggu keduanya hingga terbit
fajar, maka bangunlah keduanya dan minum dari susu yang saya perah itu.
Padahal semalam anak-anakku menangis didekat kakiku meminta susu itu. Wahai
Allah jika saya melakukan itu semua benar-benar karena mengharapkan keridhoan-
Mu maka lapangkanlah keadaan kami ini. Lalu batu itu pun bergeser sedikit namun
mereka belum dapat keluar darinya.
Orang yang kedua berdoa,’Wahai Allah saya pernah terikat cinta kasih pada anak
gadis pamanku, karena sangat cintanya saya selalu merayu dan ingin berzina
dengannya akan tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia
menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku maka saya memberikan
kepadanya seratus duapuluh dinar akan tetapi dengan perjanjian bahwa ia akan
menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya.
Kemudian ketika saya telah berada diantara dua kakinya, tiba-tiba ia
berkata,’Takutlah kepada Allah dan jangan kau pecahkan ‘tutup’ kecuali dengan
cara yang halal. Saya pun segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap
menginginkannya dan saya tinggalkan dinar mas yang telah saya berikan
kepadanya itu. Wahai Allah jika saya melakukan itu semata-mata karena
mengharapkan keredhoan-Mu maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini. Lalu
batu itu pun bergeser sedikit namun mereka belum dapat keluar.
Orang yang ketiga berdoa,’Wahai Allah dahulu saya seorang majikan yang
mempunyai banyak buruh pegawai dan pada suatu hari ketika saya membayar
upah buruh-buruh itu tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar
menunggu dan ia segera pergi meninggalkan upah, terus pulang ke rumahnya dan
tidak kembali.
Maka saya pergunakan upah itu sehingga bertambah dan berbuah menjadi
kekayaan. Setelah beberapa waktu lamanya buruh itu pun datang dan
berkata,’Wahai Abdullah berilah kepadaku upahku dahulu itu?’ Saya
menjawab,’Semua kekayaan yang didepanmu itu adalah dari upahmu yang berupa
onta, lembu dan kambing serta budak penggembalanya itu.’ Orang itu
berkata,’Wahai Abdullah kau jangan mengejekku.’ Saya menjawab,’Saya tidak
mengejekmu.’ Lalu diambilnya semua yang disebut itu dan tidak meninggalkan
satu pun daripadanya. Wahai Allah jika saya melakukan itu semua karena
mengharapkan keredhoan-Mu maka hindarilah kami dari kesempitan ini. Tiba-tiba
batu itu pun bergeser hingga mereka dapat keluar darinya dengan selamat.” (HR.
Bukhori Muslim)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kisah diatas merupakan contoh
berdoa dengan perantara amal-amal shaleh. Setiap mereka menyebutkan suatu
amal besar yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah karena amal tersebut
diantara perbuatan-perbuatan yang dicintai dan disenangi oleh Allah swt dengan
harapan mendapat pengabulan-Nya. Ada yang berdoa dengan menyebutkan
perbuatan baiknya kepada kedua orang tuanya, ada yang berdoa dengan
menyebutkan sifat iffahnya dan ada yang berdoa dengan menyebutkan sifat
amanah dan ihsannya.
Karena itulah Ibnu Mas’ud mengatakan di waktu sahur,”Wahai Allah Engkau telah
memerintahkanku maka aku menaati-Mu dan Engkau telah menyeruku maka aku
pun menyambut-Mu. Dan (dengan) sahur ini maka ampunkanlah (dosa) ku.”
Hadits Ibnu Umar yang mengatakan di bukit Shafa,”Wahai Allah sesungguhnya
Engkau pernah mengatakan dan perkataan-Mu adalah benar,”Berdoalah kepada-Ku
(maka) Aku kabulkan (doa) mu.’ Dan sesungguhnya Engkau tidaklah menyalahi
janji.” Kemudian dia menyebutkan doa yang ma’ruf dari Ibnu Umar… (Majmu al
Fatawa
Dan tidak ada pelarangan terhadap seseorang untuk meminta kepada Allah swt
berbagai permintaan yang dikehendakinya baik terkait dengan urusan-urusan
dunia maupun akherat melalui berdoa dengan perantara suatu amal shaleh yang
paling afdhal yang pernah dilakukannya. Firman Allah swt :
ﺎَّﻨَﻣﺁ ﺎَﻨَّﺑَﺭ ﺎَﻤِﺑ ْﺖَﻟَﺰﻧَﺃ ﺎَﻨْﻌَﺒَّﺗﺍَﻭ َﻝﻮُﺳَّﺮﻟﺍ ﺎَﻨْﺒُﺘْﻛﺎَﻓ َﻊَﻣ َﻦﻳِﺪِﻫﺎَّﺸﻟﺍ
Artinya : “Ya Tuhan kami, kami Telah beriman kepada apa yang Telah Engkau
turunkan dan Telah kami ikuti rasul, Karena itu masukanlah kami ke dalam
golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". (QS. Al Imron :
53)
ﺎَﻨَّﺑَّﺭ ﺎَﻨَّﻧِﺇ ﺎًﻳِﺩﺎَﻨُﻣ ﺎَﻨْﻌِﻤَﺳ ِﻥﺎَﻤﻳِﻺِﻟ ﻱِﺩﺎَﻨُﻳ ْﺍﻮُﻨِﻣﺁ ْﻥَﺃ ْﻢُﻜِّﺑَﺮِﺑ ﺎَﻨَّﺑَﺭ ﺎَّﻨَﻣﺂَﻓ ْﺮِﻔْﻏﺎَﻓ ﺎَﻨَﻟ ﺎَﻨَﺑﻮُﻧُﺫ ْﺮِّﻔَﻛَﻭ ﺎَّﻨَﻋ ﺎَﻨِﺗﺎَﺌِّﻴَﺳ
َﻊَﻣ ﺎَﻨَّﻓَﻮَﺗَﻭ ﴾١٩٣﴿ ِﺭﺍَﺮْﺑﻷﺍ
ﺎَﻨَّﺑَﺭ ﺎَﻨِﺗﺁَﻭ ﺎَﻣ ﻰَﻠَﻋ ﺎَﻨَّﺗﺪَﻋَﻭ َﻚِﻠُﺳُﺭ ﺎَﻧِﺰْﺨُﺗ َﻻَﻭ َﻡْﻮَﻳ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ َﻚَّﻧِﺇ َﻻ ُﻒِﻠْﺨُﺗ َﺩﺎَﻌﻴِﻤْﻟﺍ ١٩٤﴿ ﴾
Artinya : “Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru
kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka kamipun
beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang
yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang Telah Engkau janjikan
kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau
hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." (QS. Al
Imron : 193 – 194)
3. Tawassul kepada Allah dengan (perantaraan) para waliNya ada beberapa
macam.
1 . Pertama.
Seseorang memohon kepada wali yang masih hidup agar mendoakannya supaya
mendapatkan kelapangan rezeki, kesembuhan dari penyakit, hidayah dan taufiq,
atau (permintaan-permintaan) lainnya. Tawassul yang seperti ini dibolehkan.
Termasuk dalam tawassul ini adalah permintaan sebagian sahabat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam agar beristsiqa (meminta hujan) ketika hujan lama
tidak turun kepada mereka. Akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memohon kepada Allah agar menurunkan hujan, dan Allah mengabulkan doa
beliau itu dengan menurunkan hujan kepada mereka.
Begitu pula, ketika para sahabat Radhiyallahu 'anhum beristisqa dengan
perantaraan Abbas Radhiyallahu 'anhu pada masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu
'anhu. Mereka meminta kepadanya agar berdoa kepada Allah supaya menurunkan
hujan. Abbas pun lalu berdoa kepada Allah dan diamini oleh para sahabat
Radhiyallahu 'anhum yang lain. Dan kisah-kisah lainnya yang terjadi pada masa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelahnya berupa permintaan seorang
muslim kepada saudaranya sesame muslim agar berdoa kepada Allah untuknya
supaya mendatangkan manfaat atau menghilangkan bahaya.
2. Kedua.
Seseorang menyeru Allah bertawassul kepadaNya dengan (perantaraan) rasa cinta
dan ketaatannya kepada nabiNya, dan dengan rasa cintanya kepada para wali Allah
dengan berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu agar Engkau
memberiku ini (menyebutkan hajatnya)'. Tawassul yang seperti ini boleh karena
merupakan tawassul dari seorang hamba kepada rabbnya dengan (perantaraan)
amal-amal shalihnya. Termasuk tawassul jenis ini adalah kisah yang shahih tentang
tawassul tiga orang, yang terjebak dalam sebuah goa, dengan amal-amal shalih
mereka. [Hadits Riwayat Imam Ahmad II/116. Bukhari III/51,69. IV/147. VII/69. dan
Muslim dengan Syarah Nawawi XVII/55]
3. Ketiga.
Seseorang meminta kepada Allah dengan (perantaraan) kedudukan para nabi atau
kedudukan seorang wali dari wali-wali Allah dengan berkata -misalnya- 'Ya Allah,
sesunguhnya aku meminta kepadaMu dengan kedudukan nabiMu atau dengan
kedudukan Husain'. Tawassul yang seperti ini tidak boleh karena kedudukan wali-
wali Allah dan lebih khusus lagai kekasih kita Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam, sekalipun agung di sisi Allah, bukanlah sebab yang disyariatkan dan bukan
pula suatu yang lumrah bagi terkabulnya sebuah doa.
Karena itulah ketika mengalami musim kemarau, para sahabat Radhiayallahu
'anhum berpaling dari tawassul dengan kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika berdoa meminat hujan dan lebih memilih ber-tawassul dengan doa
paman beliau, Abbas Radhiyallahu 'anhu, padahal kedudukan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam berada diatas kedudukan orang selain beliau.
Demikian pula, tidak diketahui bahwa para sahabat Radhiyallahu 'anhum ada yang
ber-tawassul dengan (perantraan) Nabi setelah beliau wafat, sementara mereka
adalah generasi yang paling baik, manusia yang paling mengetahui hak-hak Nabi
Shallalalhu 'alaihi wa sallam, dan yang paling cinta kepada beliau.
Keempat.
Seorang hamba meminta hajatnya kepada Allah dengan bersumpah (atas nama)
wali atau nabiNya atau dengan hak nabi atau wali dengan mengatakan, 'Ya Allah,
sesungguhnya aku meminta ini (menyebutkan hajatnya) dengan (perantaraan)
waliMu si-Fulan atau dengan hak nabiMu Fulan', maka yang seperti ini tidak boleh.
Sesungguhnya bersumpah dengan makhluk terhadap makhluk adalah terlarang, dan
yang demikian terhadap Allah Sang Khaliq adalah lebih keras lagi larangannya.
Tidak ada hak bagi makhluk terhadap Sang Khaliq (pencipta) hanya semata-mata
karena ketaatannya kepadaNya Subahanhu wa Ta'ala sehingga dengan itu dia boleh
bersumpah dengan para nabi dan wali kepada Allah atau ber-tawassul dengan
mereka. Inilah yang ditampakkan oleh dalil-dalil, dan dengannya aqidah Islamiyah
terjaga dan pintu-pintu kesyirikan tertutup.
Tawasul jenis ini pernah dipraktekkan baik di jaman Nabi masih hidup maupun
setelah sepeninggal beliau . Di dalam riwayat Muttafaqun ‘Alaihi dari hadits Anas
bin Malik ? menceritakan tentang tawasul orang Arab Badui dengan do’a Nabi agar
Allah menurunkan hujan ketika terjadi kekeringan dan menahan hujan ketika
terjadi banjir. Maka Allah mengabulkan do’a beliau .
Demikian juga apa yang diriwayatkan Al Bukhori di dalam “Shohih”-nya dari Umar
bin Al Khoththob ? bahwa beliau pernah bertawasul dengan do’a Abbas bin Abdul
Muththolib ? agar Allah menurunkan hujan.
Di dalam tawasul jenis kelima ini terdapat satu kaidah yang sangat penting bahwa
yang dijadikan sebagai wasilah adalah do’a seorang yang sholih. Sehingga kalaupun
orang sholih tersebut tidak memanjatkan do’anya atau mendo’akan sesuatu yang
tidak mungkin dikabulkan maka tentunya tidaklah mungkin untuk ditunaikan
tawasul jenis ini. Walillahil Hamdu.
Penyebutan macam-macam tawasul yang diperbolehkan secara syariat ini apabila
dipadukan dengan kaidah bahwa penentuan tawasul syar’iyah itu hanya dengan
keterangan Al Qur’an dan As Sunnah maka mengeluarkan segala bentuk tawasul
yang tidak termasuk di dalamnya, walaupun dengan berbagai dalih dan alasan.
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah di dalam “At Tawasul” hal. 50 memberi nasehat
mulia kepada kita dengan ucapannya: “Dan diantara perkara yang sangat aneh,
engkau melihat mereka (orang-orang yang bertawasul dengan wasilah yang tidak
disyari’atkan) itu berpaling dari macam-macam tawasul yang disyariatkan. Hampir-
hampir mereka tidak lagi melakukan satupun darinya di dalam do’a ataupun
tatkala membimbing manusia untuk melakukan tawasul.
Padahal itu telah ditetapkan di dalam Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan umat
ini. Engkau melihat mereka menggantinya untuk kemudian sengaja membuat do’a-
do’a dan tawasul-tawasul sendiri yang tidak pernah disyariatkan Allah . Tidak pula
pernah dipraktekkan Rasulullah dan ternukilkan dari pendahulu umat ini dari
kalangan tiga generasi terbaik. Minimal yang mereka katakan bahwa tawasul yang
diluar tawasul syar’i itu diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Maka betapa
pantas keadaan mereka dengan firman-Nya :
َﻥْﻮُﻟِﺪْﺒَﺘْﺴَﺗَﺃ ﻰَﻧْﺩَﺃ َﻮُﻫ ﻱِﺬَّﻟﺍ ﻱِﺬَّﻟﺎِﺑ َﻮُﻫ ٌﺮْﻴَﺧ
“Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih
baik?”.(Al Baqarah : 61)
Dan nampaknya pemandangan amaliah mereka memperkuat kebenaran ucapan
seorang tabi’in yang mulia Hassan bin Athiyyah Al Muhasibi rahimahullah tatkala
berkata: “Tidaklah suatu kaum membuat kebid’ahan di dalam agama mereka
kecuali Allah cabut sunnah setimpal dengan perbuatan bid’ah itu. Kemudian Allah
tidak mengembalikannya kepada mereka sampai hari kiamat”. (Diriwayatkan Ad
Darimi 1/45 dengan sanad shohih)”.
Beliau pun juga mengajak kita untuk berpikir jernih tentang permasalahan besar
itu di dalam “Silsilah Adh Dha’ifah” 1/94. Beliau berkata: “Kalaulah tawasul bid’ah
itu dianggap tidak keluar dari lingkup khilafiyah, maka jika manusia mau bersikap
adil pastilah mereka akan berpaling darinya dalam rangka hati-hati dan
mengamalkan ucapan beliau :
ْﻉَﺩ ﻲَﻟﺇ َﻚُﺒْﻳِﺮَﻳ ﺎَﻣ َﻚُﺒْﻳِﺮَﻳ َﻻﺎَﻣ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu”.
Untuk kemudian engkau beramal dengan apa yang kami isyaratkan dari bentuk-
bentuk tawasul yang disyariatkan. Namun ternyata mereka – ironis sekali –
berpaling dari perkara ini. Lalu berpegang teguh dengan tawasul yang
diperselisihkan tadi seakan-akan tawasul bid’ah tersebut sebagai suatu keharusan
yang mereka tekuni sebagaimana halnya perkara yang wajib !”.
Setelah itu kita pun harus mengerti bagaimana bentuk tawasul bid’ah yang
sebenarnya telah diperingatkan para ulama sebelum munculnya nama besar Asy
Syaikh Al Albani rahimahullah sekalipun !.
Bentuk tawasul bid’ah yang sering diterangkan para ulama di dalam banyak karya
mereka adalah seperti apa yang Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
ﺎَﻣ ْﻢُﻫُﺪُﺒْﻌَﻧ َّﻻِﺇ ﻲﻟِﺇ ﺎَﻧﻮُﺑِّﺮَﻘُﻴِﻟ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَﻔْﻟُﺯ
“Tidaklah kami (orang-orang musyrik) beribadah kepada mereka (orang-orang
sholih) melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya”.(Az Zumar: 3)
Hakekat bentuk tawasul mereka ini adalah menjadikan dzat dan kedudukan orang-
orang sholih sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah ataupun wasilah
untuk dikabulkannya suatu do’a. Hanya saja Asy Syaikh Sholih bin Fauzan bin
Abdillah Al Fauzan hafizhohullah di dalam “Al Muntaqo” dari fatwa beliau 1/89
memberikan rincian yang bagus tentang bentuk tawasul bid’ah ini yang masing-
masingnya memiliki hukum yang berbeda.
Beliau berkata: “Kemudian bila dia (orang yang bertawasul bid’ah yang masih
beriman kepada rububiyah Allah ) ini bertaqarrub kepada orang-orang sholih
dengan sesuatu dari bentuk-bentuk ibadah seperti menyembelih untuk wali-wali
atau orang sholih, nadzar untuk mereka, meminta hajat dari orang-orang mati dan
beristighotsah kepada mereka maka ini adalah syirik besar yang mengeluarkan dia
dari agama.
Namun apabila dia bertawasul dengan orang-orang sholih karena kedudukan
mereka yang tinggi di sisi Allah tanpa memberikan satupun bentuk ibadah kepada
mereka maka ini termasuk bid’ah yang diharamkan dan perantara untuk sampai
kepada syirik”.
Alasan mereka (orang-orang musyrik) berbuat demikian karena memandang orang-
orang sholih memiliki ilmu dan ibadah sehingga berkedudukan tinggi di sisi Allah .
Kemudian mereka mengkiaskan keadaan Allah dengan seorang raja di dunia.
Seorang raja tidak mungkin ditemui rakyatnya melainkan melalui para
pembantunya.
Demikian juga tidak mungkin mereka mendekatkan diri kepada-Nya dan
dikabulkannya sebuah do’a melainkan harus melalui orang-orang sholih tadi.
Subhanallah ! Tidaklah mereka sadar bahwa alasan dan dalil yang mereka bawakan
itu sebenarnya sebuah celaan kepada Allah . Kias yang mereka kemukakan
merupakan sejahat-jahat kias yang mengandung unsur penyamaan Allah yang
Maha Kuasa dengan makhluk yang sarat dengan berbagai kelemahan. Padahal
seorang yang memilki mata hati yang paling lemah pun masih mengerti adanya
perbedaan yang sangat terang antara keadaan Rabbul ‘Alamin dengan segenap
alam semesta ini.
Diantara perbedaan yang mencolok sekali antara seorang raja di dunia dengan
Allah bahwasanya seorang raja memang tidak mungkin memenuhi segala keinginan
rakyatnya karena kemampuannya yang sangat terbatas. Sedangkan Allah Maha
Kuasa untuk memenuhi kebutuhan setiap makhluk yang ada di alam semesta ini
dan Dia pun Maha Tidak Butuh kepada segenap makhluk-Nya. Walillahil Hamdu.
Ironis memang tatkala kita melihat dan menengok kenyataan bahwa bentuk dan
alasan mereka bertawasul ternyata diwarisi para generasi yang mengaku paling
mengerti tentang agama ini di jaman sekarang. Bahkan mereka telah melengkapi
alasan dan dalih rusak nenek moyang mereka terdahulu dengan dalih dan alasan
terbaru ataupun sekedar “menghias” keyakinan dan aqidah jahiliyyah masa silam.
Mereka menjadikan tawasul bid’ah ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
do’a dan dzikir mereka setiap hari. Kita pun sering mendengar dan melihat mereka
berkata: ( ِﻩﺎَﺠِﺑ ٍﺪَّﻤَﺤُﻣ … ) atau ( ِﺔَﻛَﺮَﺒِﺑ ﺦﻴﺸﻟﺍ ِﺪْﺒَﻋ ِﺭِﺩﺎَﻘْﻟﺍ ﻲﻧﻼْﻴَﺠﻟﺍ …) sebelum berdo’a
kepada Allah dan seterusnya di masjid-masjid Allah.
Mereka pun tidak sekedar mengamalkan tawasul bid’ah namun lebih daripada itu
mendidik, mendakwahkan dan menulis karya-karya yang tidak mustahil akan
dibaca di setiap tempat dan jaman. Wallahul Musta’an.
Seandainya mereka mendatangkan sejuta alasan dengan sejuta pula tingkat
“keilmiahan” dari alasan-alasan sebelumnya, atau sekokoh dan setinggi apapun
bangunan syubuhat yang mereka tegakkan maka terpatahkanlah alasan dan hancur
pula bangunan tersebut secara serempak tatkala menghadapi tegaknya kaidah yang
telah kita miliki, sebelum kita datangkan jawaban dari tiap-tiap alasan tersebut
secara terperinci. Allah berfirman:
َﻻَﻭ َﻚَﻧْﻮُﺗْﺄَﻳ ٍﻞَﺜَﻤِﺑ ِّﻖّﺤْﻟﺎِﺑ َﻙﺎَﻨْﺌِﺟ َّﻻﺇ َﻦَﺴْﺣَﺃَﻭ ﺍًﺮْﻴِﺴْﻔَﺗ
“Dan tidaklah mereka mendatangkan sesuatu yang janggal melainkan Kami
mendatangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.
(Al Furqan : 33)
Dalil-Dalil Tentang Tawassul
Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan
adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak
mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para
ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil
tentang diperbolehkannya tawassul baik dari nash al-Qur’an maupun hadis,
sebagai berikut:
A. Dalil dari alqur’an.
1. Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah, 35 :
ﺎﻬﻳﺃﺎﻳ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍﺍﻮﻘﺗﺍﺍﻮﻨﻣﺁ ﻪﻴﻟﺇ ﺍﻮﻐﺘﺑﺍﻭ ﺔﻠﻴﺳﻮﻟﺍ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan."
Suat Al-Isra', 57:
َﻚِﺌـَﻟﻭُﺃ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻥﻮُﻋْﺪَﻳ َﻥﻮُﻐَﺘْﺒَﻳ ﻰَﻟِﺇ ُﻢِﻬِّﺑَﺭ َﺔَﻠﻴِﺳَﻮْﻟﺍ ْﻢُﻬُّﻳَﺃ ُﺏَﺮْﻗَﺃ َﻥﻮُﺟْﺮَﻳَﻭ ُﻪَﺘَﻤْﺣَﺭ َﻥﻮُﻓﺎَﺨَﻳَﻭ ُﻪَﺑﺍَﺬَﻋ َّﻥِﺇ
َﺏﺍَﺬَﻋ َﻚِّﺑَﺭ َﻥﺎَﻛ ًﺍﺭﻭُﺬْﺤَﻣ
17.57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada
Tuhan mereka [857] siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu
adalah suatu yang (harus) ditakuti. [857] Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat
dan 'Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri
kepada Allah.
Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup tawassul
terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun
yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik.
2. Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum
Nabi Muhammad SAW. QS 12:97 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS
yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang
juga Nabi dan Rasul, yakni N. Ya'qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah
ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan
ampunan untuk putera-puteranya (QS 12:98).
ْﺍﻮُﻟﺎَﻗ ﺎَﻳ ﺎَﻧﺎَﺑَﺃ ْﺮِﻔْﻐَﺘْﺳﺍ ﺎَﻨَﻟ ﺎَﻨَﺑﻮُﻧُﺫ ﺎَّﻧِﺇ ﺎَّﻨُﻛ .َﻦﻴِﺌِﻃﺎَﺧ َﻝﺎَﻗ َﻑْﻮَﺳ ُﺮِﻔْﻐَﺘْﺳَﺃ ْﻢُﻜَﻟ َﻲِّﺑَﺭ ُﻪَّﻧِﺇ َﻮُﻫ ُﺭﻮُﻔَﻐْﻟﺍ
ُﻢﻴِﺣَّﺮﻟﺍ
97. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap
dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".
98. N. Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah
SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah
SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan "ayyuhum aqrabu", yakni
memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.
3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT
dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk
mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan N. Musa AS (sebagai Nabi
dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan
QS 7:134 dengan istilah ﺎَﻤِﺑ َﺪِﻬَﻋ َﻙَﺪﻨِﻋ Dengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui
Allah ada pada sisimu (kenabian).
Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37
ﻰَّﻘَﻠَﺘَﻓ ﻦِﻣ ُﻡَﺩﺁ ِﻪِّﺑَّﺭ ٍﺕﺎَﻤِﻠَﻛ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺏﺎَﺘَﻓ ُﻪَّﻧِﺇ َﻮُﻫ ُﺏﺍَّﻮَّﺘﻟﺍ ﻲِﺣَّﺮﻟﺍ ُﻡ
"Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang."Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli
tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW,
yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT,
sebagai nabi akhir zaman.
4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji
taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke
hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan
Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.
ﺎَﻣَﻭ ﺎَﻨْﻠَﺳْﺭَﺃ ٍﻝﻮُﺳَّﺭ ﻦِﻣ َّﻻِﺇ َﻉﺎَﻄُﻴِﻟ ِﻥْﺫِﺈِﺑ ِﻪّﻠﻟﺍ ْﻢُﻬَّﻧَﺃ ْﻮَﻟَﻭ ﺫِﺇ ْﺍﻮُﻤَﻠَّﻇ ْﻢُﻬَﺴُﻔﻧَﺃ َﻙﻭُﺅﺂَﺟ َﻪّﻠﻟﺍ ْﺍﻭُﺮَﻔْﻐَﺘْﺳﺎَﻓ
َﺮَﻔْﻐَﺘْﺳﺍَﻭ ُﻢُﻬَﻟ ُﻝﻮُﺳَّﺮﻟﺍ َﻪّﻠﻟﺍ ْﺍﻭُﺪَﺟَﻮَﻟ ﺎًﺑﺍَّﻮَﺗ ﺎًﻤﻴِﺣَّﺭ
"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu,
lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang."
B. Dalil dari hadis.
a. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW sebelum lahir
Sebagaimana nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada nabi Muhammad
SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi
bersabda :
ﻝﺎﻗ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ : ﻢﻠﺳﻭ ﻑﺮﺘﻗﺍ ﺎﻤﻟ ﻡﺩﺁ ﺔﺌﻴﻄﺨﻟﺍ : ﻝﺎﻗ ﻰﺑﺭ ﺎﻳ ﻰﻧﺇ ! ﻚﻟﺄﺳﺃ ﻖﺤﺑ
ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻤﻟ ﻰﻨﺗﺮﻔﻏ ﻝﺎﻘﻓ ﻪﻠﻟﺍ : ﺎﻳ ﻡﺩﺁ ﻒﻴﻛ ﺖﻓﺮﻋ ﺍﺪﻤﺤﻣ ﻢﻟﻭ ﻪﻘﻠﺧﺃ ﻝﺎﻗ : ﺎﻳ ﻰﺑﺭ ﻚﻧﻷ ﺎﻤﻟ
ﻰﻨﺘﻘﻠﺧ ﻙﺪﻴﺑ ﺖﺨﻔﻧﻭ ّﻲﻓ ﻦﻣ ﻚﺣﻭﺭ ﺖﻌﻓﺭ ﻰﺳﺃﺭ ﺖﻳﺃﺮﻓ ﻰﻠﻋ ﻢﺋﺍﻮﻗ ﺵﺮﻌﻟﺍ ﺎﺑﻮﺘﻜﻣ ﻪﻟﺇﻻ ﻻﺇ
ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺪﻤﺤﻣ ﻪﻠﻟﺍ ﻚﻧﺃ ﺖﻤﻠﻌﻓ ﻢﻟ ﻰﻟﺇ ﻒﻀﺗ ﻚﻤﺳﺇ ﺐﺣﺃ ﻻﺇ ﻖﻠﺨﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ﻚﻴﻟﺇ : ﻪﻠﻟﺍ ﺖﻗﺪﺻ
ﺎﻳ ﻡﺩﺁ ﻪﻧﺇ ﺐﺣﻷ ﻖﻠﺨﻟﺍ ﻰﻨﻋﺩﺍ ،ﻲﻟﺇ ﻪﻘﺤﺑ ﺪﻘﻓ ،ﻚﻟ ﺕﺮﻔﻏ ﺪﻤﺤﻣ ﻻﻮﻟﻭ ﺎﻣ ﻚﺘﻘﻠﺧ ﻪﺟﺮﺧﺃ) ﻢﻛﺎﺤﻟﺍ
ﻰﻓ ﻪﺤﺤﺻﻭ ﻙﺭﺪﺘﺴﻤﻟﺍ 2 : ﺝ :ﺹ 615 )
"Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni
diriku". Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad
padahal belum aku jadikan?" Adam menjawab:"Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan
diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu,
maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis
"Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau
tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang
paling Engkau cintai". Allah menjawab:"Benar Adam, sesungguhnya ia adalah
mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah
mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku
menciptakanmu"
Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian
juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah, Imam Qostholany dalam
kitabnya Almawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Almawahib
Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti
dalam kitabnya Khosois Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis ini
adalah shohih.
Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan
redaksi :
ﻻﻮﻠﻓ ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻣ ﺖﻘﻠﺧ ﻡﺩﺁ ﺔﻨﺠﻟﺍ ﻻﻭ ﻻﻭ ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻪﺟﺮﺧﺃ) ﻰﻓ ﻢﻛﺎﺤﻟﺍ ﻙﺭﺪﺘﺴﻤﻟﺍ :ﺝ :ﺹﻭ 2615 )
Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih segi sanad, demikian juga Syekh
Islam Albulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh
Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya Alwafa’ , dan dinukil oleh Ibnu
Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180.
Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan
ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat
dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa
tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.
b. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya.
Diriwatyatkan oleh Imam Hakim :
ﻦﻋ ﻥﺎﻤﺜﻋ ﻦﺑ ﺖﻌﻤﺳ ﻝﺎﻗ ﻒﻴﻨﺣ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻢﻠﺳﻭ ﻞﺟﺭ ﻩﺀﺎﺟﻭ ﺮﻳﺮﺿ
ﺎﻜﺸﻓ ﻪﻴﻟﺇ ﺏﺎﻫﺫ ،ﻩﺮﺼﺑ ﻝﺎﻘﻓ : ﺎﻳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ! ﺲﻴﻟ ﻰﻟ ﺪﺋﺎﻗ ﺪﻗﻭ ﻖﺷ ﻲﻠﻋ ﻝﺎﻘﻓ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ
ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ : ﺖﺋﺍ: ﺓﺎﻀﻴﻤﻟﺍ ﺄﺿﻮﺘﻓ ﻢﺛ ﻞﺻ ﻦﻴﺘﻌﻛﺭ ﻢﺛ ﻞﻗ : ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻰﻧﺇ ﻚﻟﺄﺳﺃ ﻪﺟﻮﺗﺃﻭ ﻚﻴﻟﺇ
ﻚﻴﺒﻨﻟ ﺪﻤﺤﻣ ﻲﺒﻧ ﺔﻤﺣﺮﻟﺍ ﺎﻳ ﺪﻤﺤﻣ ﻰﻧﺇ ﻪﺟﻮﺗﺃ ﻚﺑ ﻰﻟﺇ ﻚﺑﺭ ﻰﻟ ﻰﻠﺠﻴﻓ ﻦﻋ ،ﻯﺮﺼﺑ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻪﻌﻔﺷ
ّﻲﻓ ﻰﻨﻌﻔﺷﻭ ﻰﻓ ﻝﺎﻗ ،ﻰﺴﻔﻧ ﻥﺎﻤﺜﻋ : ﻪﻠﻟﺍﻮﻓ ﺎﻣ ﺎﻨﻗﺮﻔﺗ ﻻﻭ ﻝﺎﻃ ﺎﻨﺑ ﺚﻳﺪﺤﻟﺍ ﻰﺘﺣ ﻞﺧﺩ ﻞﺟﺮﻟﺍ
ﻪﻧﺄﻛﻭ ﻢﻟ ﻪﺑ ﻦﻜﻳ .ﺮﺿ ﻪﺟﺮﺧﺃ) ﻰﻓ ﻢﻛﺎﺤﻟﺍ ﻙﺭﺪﺘﺴﻤﻟﺍ )
Dari Utsman bin Hunaif: "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada
Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang
menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata"Ambillah air wudlu, lalu
beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:"bacalah doa (artinya)" Ya
Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu
yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap
kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah
ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah kami
belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang
kembali dengan segar bugar". (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)
Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam
Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi
mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi
dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan
shohih ghorib. Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438,
mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam
Khuzaimah dalam kitab shohihnya.
c. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW setelah meninggal.
Diriwayatkan oleh Imam Addarimi :
ﻦﻋ ﻰﺑﺃ ﺀﺍﺯﻮﺠﻟﺍ ﺃ ﺱﻭ ﻦﺑ ﺪﺒﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﺎﻗ : ﻂﺤﻗ ﻞﻫﺃ ﺔﻨﻳﺪﻤﻟﺍ ﺎﻄﺤﻗ ﺍﺪﻳﺪﺷ ﺍﻮﻜﺸﻓ ﻰﻟﺇ ﺔﺸﺋﺎﻋ
ﺖﻟﺎﻘﻓ : ﺮﺒﻗ ﺍﻭﺮﻈﻧﺍ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﺍﻮﻠﻌﺟﺎﻓ ﺍﻮﻛ ﻪﻨﻣ ﻰﻟﺇ ﻰﺘﺣ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﻥﻮﻜﻳ ﻻ ﻦﻴﺑﻭ ﻪﻨﻴﺑ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﻒﻘﺳ
ﻝﺎﻗ : ﺍﻮﻠﻌﻔﻓ ﺍﻭﺮﻄﻤﻓ ﺍﺮﻄﻣ ﻰﺘﺣ ﺖﺒﻧ ﺐﺸﻌﻟﺍ ﺖﻨﻤﺳﻭ ﻞﺑﻹﺍ ﻰﺘﺣ ﻂﻘﺘﻔﺗ ﻦﻣ ﻢﺤﺴﻟﺍ ﻲﻤﺴﻓ
ﻡﺎﻋ ) ﻖﺘﻔﻟﺍ ﻪﺟﺮﺧﺃ ﻰﻣﺭﺍﺪﻟﺍ ﻡﺎﻣﻹﺍ 1 : ﺝ : ﺹ 43 )
Dari Aus bin Abdullah: "Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu
datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang
kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: "Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu
bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat
langsung", maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat
sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun
gemuk" (Riwayat Imam Darimi)
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
ﻦﻋ ﺲﻧﺃ ﻦﺑ ﻚﻟﺎﻣ ﺮﻤﻋ ﻥﺇ ﺏﺎﻄﺧ ﻦﺑ ﻥﺎﻛ ﺍﺫﺇ ﻰﻘﺴﺘﺳﺍ ﺍﻮﺤﻄﻗ ﺱﺎﺒﻌﻟﺎﺑ ﻦﺑ ﺪﺒﻋ ﻝﺎﻘﻓ ﺐﻠﻄﻤﻟﺍ :
ﻢﻬﻠﻟﺍ ﺎﻧﺇ ﺎﻨﻛ ﻞﺳﻮﺘﻧ ﻚﻴﻟﺇ ﺎﻨﻴﺒﻨﺑ ﺎﻨﻴﻘﺴﺘﻓ ﺎﻧﺇﻭ ﻞﺳﻮﺘﻨﻧ ﻚﻴﻟﺇ ﻢﻌﺑ ﺎﻨﻴﺒﻧ ﺎﻨﻘﺳﺎﻓ ﻝﺎﻗ : ﻥﻮﻘﺴﻴﻓ
ﻪﺟﺮﺧﺃ) ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﻰﻓ :ﺝ ﻪﺤﻴﺤﺻ 137:ﺹ 1 )
Riwayat Bukhari: dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi
kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu
Abbas berkata:"Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara)
kepadamu melalui nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul
dengan paman nabi kami maka turunkanlau hujan kepada, lalu turunlah hujan.
d. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul .
ﻦﻋ ﺪﻴﻌﺳ ﻰﺑﺃ : ﻝﺎﻗ ﻱﺭﺬﺤﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻴﻠﻋ : ﻢﻠﺳﻭ ﻦﻣ ﻦﻣ ﺝﺮﺧ ﻪﺘﻴﺑ ﻰﻟﺇ ،ﺓﻼﺼﻟﺍ
ﻝﺎﻘﻓ : ﻰﻧﺇ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻚﻟﺄﺳﺃ ﻖﺤﺑ ﻦﻴﻠﺋﺎﺴﻟﺍ ﻚﻴﻠﻋ ﻖﺤﺑﻭ ﻯﺎﺸﻤﻣ ﺍﺬﻫ ﻰﻧﺈﻓ ﻢﻟ ﺝﺮﺧﺃ ﺍﺮﺷ ﻻﻭ ﺍﺮﻄﺑ
ﻻﻭ ﺍﺀﺎﻳﺭ ﻻﻭ ،ﺔﻌﻤﺳ ﺖﺟﺮﺧ ﺀﺎﻘﺗﺇ ﻚﻄﺨﺷ ﻚﻟﺄﺳﺄﻓ ﻚﺗﺎﺿﺮﻣ ﺀﺎﻐﺘﺑﺍﻭ ﻰﻧﺬﻴﻌﺗ ﻥﺃ ،ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﻥﺃﻭ ﺮﻔﻐﺗ
ﻰﻟ ،ﻰﺑﻮﻧﺫ ﻪﻧﺇ ﻻ ﺮﻔﻐﻳ ﺏﻮﻧﺬﻟﺍ ﻻﺇ ،ﺖﻧﺃ ﻪﻠﻟﺍ ﻞﺒﻗﺃ ﻪﻬﺟﻮﺑ ﺮﻔﻐﺘﺳﺍﻭ ﻪﻟ ﻥﻮﻌﺒﺳ ﻒﻟﺃ ﻚﻠﻣ ﻪﺟﺮﺧﺃ)
ﻦﺑ ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﻭ ﺪﻤﺣﺃﻭ ﺔﻤﻳﺰﺣ ﻮﺑﺃﻭ ﻦﺑﻭ ﻢﻴﻌﻧ ﻰﻨﺳ ).
Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa keluar dari
rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah
sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui
langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya
dan sombong, aku keluar karena takut murkaMu dan karena mencari ridlaMu,
maka aku memintaMu agar Kau selamatkan dari neraka, agar Kau ampuni dosaku
sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diriMu", maka Allah akan
menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya". (Riwayat Ibnu
Majad dll.).
Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah
dengan sanad yang ma'qool, akan tetap Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa
hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/ 119).
Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Alafkar
1/272).
Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis ini dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan
bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).
Imam Bushoiri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu
Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).
Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul
Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada
baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu. Kadang sebagian orang masih
kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat
ulama’, walaupun sebetulnya dengan dalil saja tanpa harus menyartakan pendapat
ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih
memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan
pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.
Lewat ulasan para waliyulloh kamil, mereka banyak memberi suatu pendapat,
di antaranya:
Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani ,
Pernah berujar, “Bila aku mati kelak, ruhku akan terus hadir di sela orang-orang
yang setiap malamnya mengistiqomahkan, bertawassul kepadaku dengan
keikhlasannya, sambil tak pernah henti-hentinya membaca surat Al-fatihah
sebanyak 20.000 x setiap malamnya”
Menurut Imam Ibnul Aroby,
“Barang siapa yang bertawassul kepadaku secara istiqomah dengan hitungan 7 jam
lamanya (dari jam 21.00 s.d. 04.00) niscaya aku akan hadir tanpa perantara /
suruhan / khodam, di manapun kamu menginginkannya”.
Menurut imam Abu Hasan Asy-Syadili r.a.,
“aku kan bertanggung jawab demi keselamatanmua di dunia dan akherat, dan aku
akan terus memohonkan kepada-Nya atas segala permohonanmu, dan aku akan
menyambangimu / menjumpai di setiap malammu dan aku akan membawamu
hidup-hidup di antara kenikmatanku (surga) apabila kamu terus beristiqomah
bertawassul kepadaku di setiap malamnya, dengan memudawamkan 5000x surat
Al-Fatihah dan 4500x asma Hasbunalloh wa ni’mal wakil”.
Menurut imam Abu Sufyan Atssaury,
“Berbahagialah wahai ummatku, sesungguhnya aku diberikan keluasan ilmu
sebagai hamba yang mempunyai derajat syafa’at di kemudian hari. Istiqomahkan
bertawassul kepadaku di setiap malamnya dengan terus membaca surat Al-Fatihah
7700 x dan solawat nabi (Allohumma Sholli ala sayidina Muhammad) 7000x niscaya
ruhku akan selalu hadir setiap kau membutuhkanku, dan percayalah kepadaku,
karena sesungguhnya aku takkan tinggal diam untuk selalu mendoakanmu sampai
mencapai derajat mulia (surga)”.
Menurut Syarifah Robiatul Adawiyah,
”sesungguhnya aku diciptakan antara hidup dan setelah mati hanya punya satu
tujuan, mengabdi kepada Alloh SWT. Dan barang siapa yang bertawassul kepadaku
secara istiqomah setiap malamnya dengan membaca surat Al-Fatihah 3333x dan
membaca istighfar sebanyak 30.000x niscaya aku akan terus hadir menjumpaimu
sampai dirimu tanpa sadar menjadi seorang derajat waliyulloh kamil”.
Menurut imam Asy-Sya’roni,
“Jangan kau sesekali meninggalkan istiqomah bertawassul kepada para nabi,
malaikat dan wali lainnya. Sesungguhnya bertawassul adalah suatu kebajikan hati
dalam mencari syafa’at dan rahmat para Ahlillah yang menjadi kekasih-Nya”.
Tambahnya lagi, “sesungguhnya derajat yang paling mudah didapat adalah,
kedekatan hati kita dengan para Ahlillah yang menjadi kekasih-Nya, maka tiada lain
dan tiada bukan, istiqomahkan bertawassul kepadanya!”.
Menurut imam Ibnu Athoillah,
“Keluasan dan penghayatan ilmu sangat diperlukan oleh setiap ummat di dunia.
Namun, sebagai rasa takdzim akan penghormatan kepada para kekasih Alloh SWT.
Lebih sangat diutamakan. Karena sesungguhnya batu loncatan kita sebagai
manusia hidup tak lain adalah bantuan rahmat dari para Ahlillah yang sudah
mendahului kita, kuncinya perbanyaklah bertawassul untuknya”.
Menurut pendapat para walijawa (walisongo) ,
“Gunakanlah waktumu untuk kebajikan di jalan-Nya. Sesungguhnya sifat manusia
terbagi dalam kelebihan dan kekurangan. Sebagai seorang mahluk yang serba
kekurangan akan ilmu dan pengetahuan, dekatkanlah dirimu kepada-Nya lewat
jalan para kekasih-Nya (bertawassul) sesungguhnya hanya lewat jalan inilah kamu
sekalian akan mendapat derajat mulia di sisi-Nya”.
Pandangan Ulama Madzhab
Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan
bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:"Kalau aku berziarah ke kubur
nabi, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab:"Bagaimana
engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara
bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah
syafaat maka Allah akan memberimu syafaat". (Al-Syifa' karangan Qadli 'Iyad al-
Maliki jus: 2 hal: 32).
Demikian juga ketika Imam Ahmad Bin Hambal bertawassul kepada Imam Syafi’i
dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya
kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab :"Syafii ibarat matahagi bagi
manusia dan ibarat sehat bagi badan kita"
( ﻖﺤﻟﺍ ﺪﻫﺍﻮﺷ ﻒﺳﻮﻴﻟ ﻞﻴﻋﺎﻤﺳﺇ ﻦﺑ ﻰﻧﺎﻬﺒﻨﻟﺍ 166:ﺹ )
Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:
ﻝﺁ ﻰﺘﻌﻳﺭﺫ ﻰﺒﻨﻟﺍ # ﻪﻴﻟﺇ ﻢﻫﻭ ﻰﺘﻠﻴﺳﻭ
ﻢﻬﺑ ﻮﺟﺭﺃ ﺍﺪﻏ ﻰﻄﻋﺃ # ﻦﻤﻴﻟﺍ ﻯﺪﻴﺑ ﻰﺘﻔﻴﺤﺻ
ﺔﻗﺮﺤﻤﻟﺍ ﻖﺻﺍﻮﻌﻟﺍ) ﺪﻤﺣﻷ ﻦﺑ ﺮﺠﺣ 180:ﺹ ﻰﻜﻤﻟﺍ )
"Keluarga nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad), aku
berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat
nanti dengan tangan kananku"
Pandangan Imam Taqyuddin Assubuky
Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah
sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para
ulama,’ serta kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari
perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa
tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom hal 160)
Pandangan Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada
nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah
meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada
nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Turmudzi :
ﻥﺃ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻢﻠﻋ ﺎﺼﺨﺷ ﻥﺃ ﻝﻮﻘﻳ : ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻰﻧﺇ ﻚﻟﺄﺳﺃ ﻞﺳﻮﺗﺃﻭ ﻚﻴﻟﺇ ﻚﻴﺒﻨﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻲﺒﻧ ﺔﻤﺣﺮﻟﺍ ﺎﻳ
ﺪﻤﺤﻣ ﻰﻧﺇ ﻚﺑ ﻪﺟﻮﺗﺃ ﻰﻟﺇ ﻰﻠﺠﻴﻓ ﻚﺑﺭ ﻰﺘﺟﺎﺣ ﻪﻌﻔﺸﻓ ﺎﻬﻴﻀﻘﻴﻟ ّﻲﻓ ﻪﺟﺮﺧﺃ) ﻪﺤﺤﺻﻭ ﻯﺬﻴﻣﺮﺘﻟﺍ ).
Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)"Ya Allah sesungguhnya aku
meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang
penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada
Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya'faat". Tawassul seperti
ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)
Pandangan Imam Syaukani
Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada
yang lain ( orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal
adalah merupakan ijma’ para shohabat.
Pandangan Muhammad Bin Abdul Wahab.
Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur
ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan
musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga
qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada
orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap Al-Bushoiri atas
perkataannya YA AKROMAL KHOLQI dan membakar dalailul khoirot.
Maka beliau membantah : “ Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan
ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah ( surat
pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12
dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas
Muhammad Bin Suud Riyad bagian ketiga hal 68)
Dalil-dalil yang melarang tawassul
Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah
sebagai berikut:
1. Surat Zumar, 2:
ﺎَﻟَﺃ ِﻪَّﻠِﻟ ُﻦﻳِّﺪﻟﺍ ُﺺِﻟﺎَﺨْﻟﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ ﺍﻭُﺬَﺨَّﺗﺍ ﻦِﻣ ِﻪِﻧﻭُﺩ ﺀﺎَﻴِﻟْﻭَﺃ ﺎَﻣ ْﻢُﻫُﺪُﺒْﻌَﻧ ﺎَّﻟِﺇ ﺎَﻧﻮُﺑِّﺮَﻘُﻴِﻟ ﻰَﻟِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﻔْﻟُﺯ َّﻥِﺇ
ُﻢُﻜْﺤَﻳ َﻪَّﻠﻟﺍ ﻲِﻓ ْﻢُﻬَﻨْﻴَﺑ ﺎَﻣ ْﻢُﻫ َﻥﻮُﻔِﻠَﺘْﺨَﻳ ِﻪﻴِﻓ َﻪَّﻠﻟﺍ َّﻥِﺇ ﺎَﻟ ٌﺏِﺫﺎَﻛ َﻮُﻫ ْﻦَﻣ ﻱِﺪْﻬَﻳ ٌﺭﺎَّﻔَﻛ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-
orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang pendusta dan sangat ingkar.
Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah,
dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang
dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir
seperti disebutkan dalam ayat tersebut: tawassul semata dalam berdoa dan tidak
ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir
telah menyembah perantara; tawassul juga dengan sesuatu yang dicintai Allah
sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.
2. Surah al-Baqarah, 186:
ﺍَﺫِﺇَﻭ َﻚَﻟَﺄَﺳ ﻱِﺩﺎَﺒِﻋ ﻲِّﻨَﻋ ﻲِّﻧِﺈَﻓ ٌﺐﻳِﺮَﻗ ُﺐﻴِﺟُﺃ َﺓَﻮْﻋَﺩ ِﻉﺍَّﺪﻟﺍ ﺍَﺫِﺇ ِﻥﺎَﻋَﺩ ْﺍﻮُﺒﻴِﺠَﺘْﺴَﻴْﻠَﻓ ﻲِﻟ ْﺍﻮُﻨِﻣْﺆُﻴْﻟَﻭ ﻲِﺑ
ْﻢُﻬَّﻠَﻌَﻟ َﻥﻭُﺪُﺷْﺮَﻳ
.2 186 . Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.
Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah
maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita
dan Allah.
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa
melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan
untuk menuju Allah dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui
tawassul.
3. Surat Jin, ayat 18:
َّﻥَﺃَﻭ َﺪِﺟﺎَﺴَﻤْﻟﺍ ِﻪَّﻠِﻟ ﺎَﻠَﻓ ﺍﻮُﻋْﺪَﺗ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻊَﻣ ًﺍﺪَﺣَﺃ
.72 18 . Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah)
Allah.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan
dan mendampingkan siapapun selain Allah.
Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta
sesuatu kepada selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah,
hanya saja melalui perantara.
Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan
menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w.
juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi
Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak
ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai,
dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.
Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak
ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai
perantara) adalah yang yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi
madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberi dan
menolak doa hambaNya. Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan
diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru
dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada
umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka
tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan hadist.
Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang
memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah
dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling
menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan.
Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu
bid'ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan
mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid'ah dan sesat,
apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka
mempunyai landasan dan dalil yang kuat. Tidak hanya dalam masalah tawassul,
sebelum kita mengangkat isu bid'ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah,
sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah
tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan
yang sekarang sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.
Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam
melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai
kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada orang yang dijadikan perantara
tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh
masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu beragama Islam, atau
bertawassul dengan kuburan orang-orang terdahulu, meminta-minta ke makam
wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada para para ulama dan kekasih Allah. Itu
semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai dengan konsep
tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.

Wallahu a'lam bissowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar