Jumat, 23 Oktober 2015

Guru Suci Tanah Jawa Sunan Kalijaga bag 3


Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah sampai di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam tercenung lama sekali di tepi samodera memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.

Kocap kacarita tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Mahyuningrat, mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya dengan sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali kalau mendapatkan kanugrahan Allah yang haq.

Syekh Malaya ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah samudra, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudra. Beliu kehabisan tenaga untuk merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ia berusaha mempertahankan diri jangan sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini. Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan laut berjuang menyelamatkan nyawanya.

Ternyata disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup dan mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya. Seketika itu pula, tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang diatas air.

Orang yang mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Kanjeng nabi Khidir yang menyapa Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa! Tidak ada yang ditemubuktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua itu?”.

Sunan Kalijaga heran mengetahui penjelasan ini. Kanjeng Nabi Khidir berkata lagi kepada Sunan Kalijaga, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini. Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungking mendapat apa yang kau maksudkan!”.

Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan Kanjeng Nabi Khidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian! “Syekh Malaya pasrah diri kepada Kanjeng Nabi Khidir , katanya terasa memilukan”. Sang guru Kanjeng Nabi Khidir menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan hidayatullah Allah?”.

Akhirnya Kanjeng Nabi Khidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”. “Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau belum tahu rasanya yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian. Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah!”.

“Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung, akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya  ketika mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan Kanjeng Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta kasih sayang, memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian? Sang Mahyuningrat menjawab, “sesungguhnya saya ini Kanjeng Nabi Khidir”.

Syekh Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat”.

Maka berkata dengan manisnya Sang Kanjeng Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga. “Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju ke Mekah itu. Ketahuilah mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenernya dari ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunyaiman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”.

Kanjeng Nabi Khidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi, keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata halu. “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?.

Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak cukup masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Kanjeng Nabi Khidir, namun bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Kanjeng Nabi Khidir, ini jalan di telingaku ini”.

Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.

Kanjeng Nabi Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”. Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Kanjeng Nabi Khidir malayang di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaringf matahari, tenang rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khidir, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.

Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawad, “Ada warna empat macam yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”.

Berkata Kanjeng Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membingbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta gembira.

Kanjeng Nabi Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia. Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom Baqo atau abadi. Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan.

Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya mengahalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian”.

Kanjeng Nabi Khidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi. Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati (bohong). Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hala itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan eret antara manusia dan Penciptanya”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.

Kanjeng Nabi Khidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata, “Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”.

Sang Kanjeng Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirmu sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia. Didunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada dalam dirimu dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk  yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”. Syekh Malaya mengamati, “yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”

Kanjeng Nabi Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan, yang dapat mmenguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat, tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran (simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya.

Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirmu sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu. Tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjdi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh badanmu, sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh di sekitar raga.

Hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati ikut menggung, namun bila bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.

Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?” kanjeng Nabi Khidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya menyela pembicaraan< “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil”.

Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan sindiran, “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada di sifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati. Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan neqdu”.

Sambil menghela nafas Kanjeng Nabi Khidir berkata pelan, “Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati! Apa daranya? Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi. Pengertian jisim Latif ialah Jisim Angling yang sudah ada terdahulu kala yaitu Alif yang disebut Angling. Padahal alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang artinya, menjadi Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu bagian Dzatullah”?.

Setelah mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang menjadi inti pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidir berkata, “Adapun wujud sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu. Yang dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah untuk menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri! Adapu sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya”.

Kanjeng Nabi Khidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya, bunyi firman-Nya sebagai berikut : kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.

Dan untuk menjelaskan jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik (Asmaul Husna)”. Selanjutnya Kanjeng Nabi Khidir bertanya, “Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya Tuhanku……”.

Kanjeng Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi Jati sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah. Alif tercipka karena sudah menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan tempo dulu yang betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar awal ibarat bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak akan kita laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia. Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar awal.

Dari keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah disesuaikan dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga berdiri tegak, bersidakep mencipkatakan keheningan hati, bersidekep menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasa sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rhasia iman dapat kau resapi. Setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat melihat Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segala gerak kita (pelajaran tentang ikhsan). Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala diletakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini. Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.

Dan janganlah sekali-kali dirimu menggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliu sering menjalankan puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau mengeluarkan shodagoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji. Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat

Kamis, 22 Oktober 2015

Kepekaan Rasa dan Kekuatan Rasa

 Kepekaan Rasa dan Kekuatan Rasa

Olah rasa berhubungan dengan kepekaan rasa batin dan indra ke 6 manusia. 

Dengan rasa, orang akan lebih peka terhadap sesuatu yang bersifat gaib, dapat mendeteksi / merasakan keberadaan sesuatu yang gaib, dapat mendeteksi apakah sakit yang diderita oleh seseorang merupakan sakit biasa ataukah karena adanya pengaruh negatif dari sesosok mahluk halus (ketempelan, kesambet, disantet, guna-guna, dsb), dapat mengetahui cara penyembuhannya dan dapat merasakan sesuatu yang akan terjadi (feeling / intuitif). Dan dalam tingkatan kemampuan kebatinan yang tinggi kekuatan rasa ini digunakan untuk segala perbuatan yang berhubungan dengan kegaiban, untuk mengobati seseorang, mengusir / menyerang / menundukkan mahluk halus tingkat rendah sampai yang kelas atas, atau untuk memusnahkan keilmuan gaib, khodam dan tenaga dalam seseorang, dan untuk menerima pengetahuan spiritual tingkat tinggi yang mengantarkan seseorang menjadi linuwih dan waskita.

Di dalam semua jenis keilmuan, ada satu hal mendasar yang seringkali pengertiannya dikesampingkan orang, yaitu adanya unsur kebatinan. Unsur kebatinan hadir pada semua aspek kehidupan manusia, termasuk di dalam aktivitas manusia dalam mempelajari dan menekuni berbagai jenis keilmuan. Unsur kebatinan itu adalah apa yang biasa disebut sebagai penjiwaan atau penghayatan yang sangat erat hubungannya denganrasa dan sugesti.

Di dalam aktivitas manusia berolah raga, kanuragan, mengolah tenaga dalam, maupun ilmu gaib dan ilmu khodam, atau olah spiritual, sampai ilmu modern fisika, matematika, biologi, sistem komputer dan pekerjaan-pekerjaan teknis modern sekalipun selalu terkandung di dalamnya unsur kebatinan berupa penjiwaan dan penghayatan pada masing-masing hal yang dijalani, yang seringkali kualitas penjiwaan dan penghayatanseseorang itu akan sangat membedakan hasil dan prestasi yang diraihnya dibandingkan orang lain yang sama-sama melakukan aktivitas yang sama. 

Secara umum unsur kebatinan hadir pada semua aspek kehidupan manusia, tidak hanya dalam hal keilmuan, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan manusia, termasuk di dalam pekerjaan-pekerjaan teknis di jaman modern ini, tetapi istilah kebatinan sendiri seringkali secara dangkal dikonotasikan sebagai kegiatan klenik.Namun di luar itu memang ada orang-orang tertentu yang secara khusus mempelajari keilmuan kebatinan, bukan hanya pada aspek yang bersifat umum, tetapi juga secara khusus dan mendalam mengenai keilmuan kebatinan itu sendiri.

Semua laku yang bersifat kebatinan di dalamnya selalu disebutkan tujuannya (termasuk tujuan sugestinya) dan selalu mengedepankan penghayatan, baik itu laku kebatinan yang bersifat kerohanian / ketuhanan / keagamaan, maupun yang bersifat keilmuan, bukan mengedepankan kepintaran berpikir dan berlogika, bukan sebatas terlaksananya bentuk laku formalitasnya, bukan juga mengedepankan amalan doa dan mantra. Pemahaman seseorang akan tujuan lakunya dan kualitas penghayatan dan penjiwaannya dalam lakunya itu, selain ketekunannya, akan sangat membedakan hasil dan prestasi yang mampu diraihnya dibandingkan orang lain yang sama-sama melakukan aktivitas yang sama.

Karena itu jika seseorang menjalani suatu laku yang bersifat kebatinan, baik kerohanian maupun keilmuan, selalu dituntut supaya orangnya memahami tujuan dari lakunya itu dan mampu menghayati lakunya, sehingga jika orang itu mengalami kesulitan dalam ia menjalani lakunya itu kemungkinan penyebabnya adalah karena ia belum bisa menghayati lakunya (atau belum tahu tujuan dari lakunya).

Jika seseorang sudah bisa menghayati lakunya, maka ia akan menemukan suatu rasa yang bersifat khusus, yang itu hanya ada dalam lakunya itu saja, tidak ada dalam aktivitasnya yang lain, yang kemudian setelah semakin didalami dan matang, maka itu akan menjadi kekuatan rasa

Kekuatan rasa setelah semakin didalami dan matang, jika seseorang menerapkan itu dalam semua aktivitas kehidupannya maka semua perbuatan-perbuatannya akan mengandung suatu kegaiban yang akan bisa dirasakan perbedaan kegaibannya dibanding jika ia melakukan perbuatan yang sama dengan sikap batin yang normal saja. 

Pada tahap selanjutnya untuk ia melakukan suatu perbuatan dalam lakunya itu ia melakukannya dengan carabersugesti, yaitu mengkondisikan sikap batinnya secara khusus , mendayagunakan penghayatan rasa untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, mendayagunakan kekuatan rasa.

Penghayatanolah rasa dan olah sugesti adalah dasar-dasar dalam keilmuan kebatinan dan dpiritual, selalu ada dalam semua laku yang bersifat kebatinan dan spiritual yang itu harus lebih dulu bisa dikuasai oleh para pelakunya sebelum menapak ke tingkatan yang lebih tinggi. 

Karena itu jika para pembaca ingin mempelajari dan menjalani suatu laku yang bersifat kebatinan dan spiritual, poin-poin di atas harus lebih dulu dimengerti dan harus diterapkan dalam laku-lakunya supaya laku-lakunya itu lebih bisa diharapkan keberhasilannya dibanding jika poin-poin itu belum dikuasai. Pemahaman anda atas tujuan lakunya akan menuntun laku anda ke arah tujuan yang benar, tidak mengambang mengawang-awang tak tentu arah, dan dalam proses lakunya, selain ketekunan anda, kualitas penghayatan dan penjiwaan anda akan sangat membedakan hasil dan prestasi yang mampu anda raih dibandingkan orang lain yang sama-sama melakukan aktivitas yang sama. 

Jika kita bisa menghayati lakunya, kita akan menemukan suatu rasa yang bersifat khusus, yang itu hanya ada dalam laku itu saja, tidak ada dalam aktivitas kita yang lain. Kualitas kita atas penghayatan atau penjiwaan itu akan sangat membedakan kondisi batin kita sebelum, selama dan sesudah kita melakukannya, akan ada pencerahan tersendiri dalam kerohanian kita dan itu akan membedakan kita dengan orang lain yang sama-sama melakukan aktivitas yang sama. Sesudahnya setiap kita menjalani laku yang sama diharapkan agar kita selalu mampu menghayati laku kita itu supaya juga dapat memperbaiki kualitas pencapaian kita. Kalau dengan cara itu sesudah menjalani lakunya kita tidak mendapatkan pencerahan apa-apa, kemungkinan besar penyebabnya adalah karena kita belum tahu tujuan lakunya atau belum bisa menghayati lakunya.

Kemampuan  menayuh gaib  (baca: Ilmu Tayuh / Menayuh Keris)  dan kemampuan olah rasa  adalah satu kesatuan kemampuan dasar yang seharusnya bisa dikuasai oleh orang-orang yang interest dengan kegaiban. Kami harapkan kemampuan-kemampuan itu juga dapat anda kuasai, karena itu akan berguna sekali sebagaikemampuan dasar dalam hal mempelajari kebatinan dan kegaiban, bisa menjadi alat kontrol anda dalam memantau hasil dan perkembangan latihan anda, dan akan menjadi dasar untuk kemampuan yang lebih tinggi lagi bagi anda yang ingin mengerti atau interest dengan hal-hal gaib, apalagi bila anda  memiliki benda-benda gaib dan khodam pendamping. 

Kalau kita ingin mempelajari dunia kebatinan dan spiritual, untuk awalnya sebaiknya dipelajari dulu isi dari tulisan-tulisan yang berjudul  Olah Rasa dan Kebatinan  dan  Ilmu Tayuh Keris. Sebaiknya pelajaran-pelajaran di dalamnya bisa dipelajari sampai matang dan mahir, jangan asal bisa, karena itu adalah satu kesatuan kemampuan dasar yang sebaiknya sudah kita kuasai lebih dulu sebelum mempelajari yang lain.

Kepekaan rasa dan kekuatan rasa adalah dasar dari kebatinan dan kekuatan batin / spiritual. 

Kekuatan yang dibangun dalam olah rasa adalah kekuatan rasa (bersifat gaib), dihasilkan oleh cakra tubuh di bagian dada. Tetapi pembukaan cakra energi di dada tidak ditujukan untuk yang bersifat gaib, biasanya untuk tujuan kanuragan. Begitu juga dengan pengolahannya. Untuk tujuan kebatinan dan kegaiban, cakra energi di dada tidak diolah dengan teknik pernafasan, tetapi dengan cara olah rasa dan kebatinan (ada juga yang menyebutnya sebagai ilmu rahsa atau ilmu rasa sejati).

Pada orang awam, kekuatan rasa biasanya muncul secara spontan, misalnya saat panik, histeris atau lari ketakutan. Dalam kondisi itu kekuatannya bisa berkali-kali lipat dibandingkan dalam kondisi normalnya.Dalam hal ini kekuatan rasa muncul sebagai kekuatan bawah sadar manusia. Kekuatan bawah sadar ini tidak sengaja terjadi, tetapi bagi yang sudah terbiasa olah rasa dan batin, kekuatan itu dapat dengan sengaja dimunculkan dan kekuatannya bisa berkali-kali lipat daripada kekuatan rasa orang-orang yang masih awam.

Pada orang awam, sebagian kekuatan rasa muncul tidak disengaja, misalnya dalam kondisi ketakutan yang sangat, panik, histeris, dsb. 

Kekuatan rasa juga bisa muncul dalam kondisi bergembira dan bersemangat, sehingga saat seseorang beraktivitas berat akan terasa lebih ringan dan tidak cepat lelah. Kondisi ini banyak dialami manusia pada masa kanak-kanak, yang pada saat bergembira bermain berlari-larian tidak cepat merasa lelah. Sekalipun lelah, akan cepat pulih kembali. Berbeda dengan yang sudah dewasa, biasanya akan cepat lelah dan kalau sudah lelah akan lebih lama pulihnya, karena di dalam aktivitasnya banyak menggunakan pikiran, bukan rasa.

Sebagian lagi kekuatan rasa muncul dalam kondisi marah dan benci, sehingga perbuatan yang dilambari rasa marah dan benci kekuatannya berlipat-lipat.

Inti dari kekuatan rasa adalah kekuatan yang dilambari rasa hati, spontan, tidak dipikir-pikir dulu, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan sepenuh rasa (sepenuh rasa, bukan sepenuh hati) akan berlipat-lipat kekuatannya (dan ada efek kegaibannya), tidak cepat lelah, dan kelelahannya akan cepat pulih kembali.  Kekuatan rasa bisa dengan sengaja dimunculkan. Pada orang-orang yang kekuatan rasa sudah dengan sengaja dilatihnya kekuatannya akan jauh lebih besar daripada kekuatan rasa orang biasa yang sifatnya spontan.

Seseorang yang sudah melatih olah nafas biasanya juga akan merasakan bagian dari olah rasa (kepekaan rasa), walaupun hanya dasarnya saja. Penggunaan energi dari olah pernafasan biasanya juga dilakukan dengan ‘rasa’, bukan lagi dengan pikiran atau perasaan. 

Dalam laku mempelajari olah rasa biasanya orang melakukannya dengan cara yang mirip dengan olah batin, yaitu banyak menyepi / tirakat, puasa, laku prihatin, meditasi, membaca amalan-amalan, dsb, bahkan sampai bertirakat di tempat-tempat yang wingit dan angker. Dalam kehidupan jaman sekarang cara-cara tersebut tidak praktis untuk dilakukan. Bila anda ingin mencoba mempelajarinya, ada beberapa cara praktis yang bisa anda lakukan tanpa perlu banyak mengganggu aktivitas anda sehari-hari sbb :

1. Menyepi.

Pengertian menyepi ini bukan berarti anda harus pergi menyepi ke tempat-tempat sepi di gunung, di tempat-tempat angker, dsb. Cukup anda luangkan waktu untuk berdiam diri, di rumah, di kantor atau dimanapun anda berada, untuk merasakan suasana batin anda (lebih baik bila dilakukan di tempat terbuka pada malam hari). Biarkan ide dan ilham mengalir dalam pikiran anda. Perhatikan, mungkin akan ada ide-ide tertentu atau jawaban-jawaban dari masalah anda yang tidak terpikirkan sebelumnya (secara sederhana laku ini mirip seperti orang melamun / merenung).

Menyepi ini juga bisa anda lakukan di tempat yang ramai. Artinya anda belajar menemukan suasana sepi (hening) di dalam keramaian tanpa harus pergi keluar dari keramaian. Tujuan dari menyepi ini adalah untuk membiasakan diri menciptakan suasana hening di dalam rasa dan pikiran, untuk belajar mengendorkan pikiran dan perasaan, dan belajar memisahkan pikiran dengan perasaan, sebagai dasar untuk peka rasa dan batin dan untuk memperhatikan munculnya ide / ilham, dsb, yang mengalir dari batin anda sendiri, dan untuk belajar tidak terbawa suasana untuk bisa mengendalikan diri (mengendalikan emosi, pikiran dan perasaan). 

2. Peka suasana batin.

Belajar peka terhadap bisikan-bisikan hati dan nurani, firasat, dsb. Jangan mengabaikan bisikan hati dan firasat, tetapi juga jangan mengada-ada, jangan ber-ilusi. Peka terhadap ilham yang mengalir di dalam pikiran dan rasa. Kalau bisa, carilah sumbernya darimana ilham itu berasal.

Cara ini bermanfaat untuk "mendengarkan" mengalirnya ide dan ilham yang dapat bermanfaat untuk membantu pemecahan masalah-masalah yang sedang anda hadapi, atau informasi tentang kondisi keluarga anda, dsb, yang sebelumnya anda tidak tahu atau sebelumnya tidak terpikirkan. 

3. Peka suasana alam.

Belajar peka terhadap suasana alam di manapun anda berada. Cobalah sesekali pergi ke tempat yang wingit atau angker, bisa juga di pasar atau mall. Di tempat itu berdiam dirilah sejenak. Rasakan suasana kegaiban di tempat tersebut. Bila merasakan keberadaan sesuatu roh halus atau energi gaib, dengan getaran rasa di dada atau dengan merasakan getarannya di telapak tangan, cobalah tentukan dimana posisinya berada. Kalau bisa coba rasakan / bayangkan seperti apa sosok wujudnya. 

Cara-cara di atas berguna untuk melatih kepekaan rasa dan ketajaman insting / naluri.

Bila anda sudah dapat merasakan suasana alam di suatu tempat, mungkin anda juga akan dapat merasakan bila ada sesuatu yang mengancam, dimana pun anda berada, misalnya ada mahluk halus atau binatang berbahaya, atau ada orang jahat yang sedang mengincar anda, dsb, akan menambah kebijaksanaan anda untuk bersikap hati-hati tidak sembrono di tempat-tempat yang "sensitif" dan rawan bahaya, atau anda juga akan dapat merasakan sesuatu kejadian yang akan terjadi di suatu tempat (misalnya di rumah anda, mungkin anda akan bisa merasakan bila akan ada anggota keluarga yang akan mengalami musibah, akan ada kebakaran, dsb).

Ke 3 cara di atas adalah contoh-contoh cara untuk anda "masuk" ke dalam diri anda sendiri dan belajar mendengarkan aliran ide dan ilham dan belajar tanggap firasat, dapat diterapkan bukan hanya di tempat sepi, tetapi juga di tempat ramai, di manapun anda sedang berada, tidak perlu banyak membuang ongkos, tenaga dan waktu. Bila anda sudah terbiasa melakukan ke 3 cara di atas, berarti anda sudah melakukan olah rasa dan dasar-dasar kebatinan. Belajarlah untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari anda dalam berbagai bidang. Rasa / feeling / intuisi anda akan lebih tajam, dapat mengkira-kira hasil (berhasil-tidaknya) dari sesuatu yang anda lakukan, atau merasakan sesuatu kejadian (baik atau buruk) yang akan terjadi, dan akan lebih mudah mendapatkan ide-ide / ilham atas jawaban permasalahan yang sedang anda hadapi.

Dalam semua proses meditasi dan perenungan usahakan supaya tidak mengedepankan pikiran. Biarkan ide / ilham / bisikan gaib mengalir sampai lengkap, jangan bereaksi dengan berpikir yang dapat menyebabkan aliran ide / ilham itu terputus.

Dalam kehidupan manusia sehari-hari, apalagi dalam kehidupan modern ini, rasa dan firasat seringkali diabaikan. Namun bila seseorang memperhatikan rasa dan firasatnya, ia sendiri yang akan mendapatkan manfaatnya. Rasa dan firasat seringkali muncul berupa perlambang rasa. Misalnya, seseorang yang akan bepergian ke luar kota, karena merasa tidak enak hati kemudian membatalkan keberangkatannya. Ternyata kemudian ia mendapatkan berita bahwa kendaraan yang seharusnya ditumpanginya mengalami kecelakaan. Untunglah dia tidak jadi berangkat. Apakah ini kebetulan saja ? 

Mungkin kita tidak akan terburu-buru berangkat kerja, walaupun sudah terlambat / kesiangan, seandainya saja sebelumnya kita tahu atau dapat merasakan bahwa pada hari itu ada anggota keluarga kita yang akan mengalami musibah.

Kadangkala mungkin kita "merasa" mengalami suatu kejadian yang persis sama seperti yang dahulu sudah pernah terjadi. Tetapi kita tidak tahu kejadian yang dahulu itu apakah itu kejadian nyata ataukah kejadian di dalam mimpi. Biasanya kejadian yang dahulu itu adalah kejadian di dalam mimpi. Sedulur Papat kita sendiri yang memberikan mimpi tersebut. Kita saja yang tidak tanggap. 

Kadangkala kita melamun atau ilham mengalir begitu saja, hanya kita saja yang tahu, atau mungkin secara spontan kita mengucapkan sesuatu tanpa dipikir dahulu, tentang sesuatu kejadian yang akan datang atau tentang seseorang (biasanya seorang tokoh manusia) yang akan mengucapkan / berbuat sesuatu, dan ternyata kemudian kejadian tersebut benar-benar terjadi. Dalam hal ini, Sedulur Papat kitalah (atau khodam) yang memberitahukan hal tersebut. Sayang sekali kalau kita tidak mengasah kedekatan dengan para sedulur tersebut. Kepekaan (rasa) itu merupakan suatu potensi besar kemampuan kebatinan yang sayang sekali jika tidak diasah dengan benar. Mungkin potensi untuk bisa meramal, atau merasakan suatu kejadian yang akan terjadi, atau potensi kemampuan mengobati / menyembuhkan, dsb, akan dilewatkan begitu saja.

Kepekaan rasa / insting seringkali sangat berguna sebagai alat radar kita untuk deteksi / peringatan awal, jangan sampai kita terlena / lengah ketika merasakan sesuatu yang berbahaya. Jangan sampai kita masuk ke dalam kesulitan tanpa sebelumnya menangkap peringatan apa-apa.

Beberapa tanda yang bila dilatih / dipertajam akan menjadi suatu potensi kemampuan tersendiri :
 - merasa tahu apa yang akan dikatakan seseorang saat mendengarkan seseorang sedang berbicara.
 - cepat mengenal kepribadian terdalam seseorang walaupun baru kenal.
 - banyak ilham tentang kejadian yang akan terjadi (kejadiannya kemudian benar-benar terjadi).
 - mengenal firasat, atau bisa membedakan suatu kejadian yang merupakan tanda dari akan terjadinya 
   kejadian lain entah baik atau buruk. Dan ketika kejadian itu terjadi ia tahu bahwa sebelumnya ia sudah 
   menerima tanda tentang akan terjadinya kejadian itu.

Kemampuan-kemampuan di atas, jika sudah terlatih, sering disebut sebagai daya linuwih  yang merupakan dasar-dasar dari kemampuan seseorang yang waskita

Kemampuan-kemampuan di atas dapat juga terjadi karena seseorang berkhodam atau dirinya ketempatan mahluk halus. Dalam hal ini orangnya merasa peka rasa atau merasa mendapat banyak ilham karena mahluk halus yang bersamanya itu memberitahunya dalam bentuk bisikan gaib dan rasa. Bila kemampuan peka rasa atas bisikan-bisikan gaib itu juga sudah terlatih orang itu dapat juga menjadi waskita.

Intinya adalah kepekaan rasa
Sesudah itu tinggal kemampuan orangnya sendiri untuk mendayagunakannya.

Untuk tahap awal belajarnya yang harus kita latih adalah belajar untuk bisa hening dan "memperhatikan".

Untuk belajar peka rasa dan firasat kita harus belajar hening dan memperhatikan, belajar merasakan adanya tanda rasa di dada tentang suatu kejadian yang akan terjadi dan belajar mendengarkan bisikan gaib / ilham yang mengalir di benak / pikiran kita mengenai informasi kejadian yang akan terjadi.

Untuk belajar melihat gaib kita harus belajar hening dan memperhatikan gambaran gaib yang muncul di benak / pikiran kita.

Untuk belajar berkomunikasi dengan gaib kita harus belajar hening dan memperhatikan / mendengarkan bisikan gaib yang mengalir di benak / pikiran kita. Kita harus fokus memperhatikan bisikan gaib yang asalnya dari gaib yang kita sedang berkomunikasi, bukan asal ada bisikan gaib. 

Di dalam halaman ini digunakan beberapa istilah sbb :

Rasa adalah sesuatu yang langsung dirasakan, berdasarkan kepekaan rasa / batin, tidak melalui proses perenungan atau analisa.
Batin lebih dalam lagi, ada proses mengendapkan, merenungkan dan menganalisa.

Rasa berhubungan dengan kepekaan rasa batin dan indra ke 6 manusia.
Secara awam rasa bisa diartikan sebagai feeling / insting.
Rasa adalah awal sebelum masuk ke proses yang lebih dalam untuk direnungkan atau dianalisa secara kebatinan.

Misalnya kita kedatangan orang sakit yang minta disembuhkan sakitnya.
Pada pertemuan pertama kita sudah langsung bisa me-rasa-kan bahwa sakitnya bukanlah sakit medis biasa, tetapi sakitnya berhubungan dengan gaib.
Sesudah itu barulah di-batin, direnungkan, dianalisa, apa yang menjadi penyebabnya, apakah benar sakitnya itu berhubungan dengan sesuatu yang gaib, apakah sakitnya yang karena pengaruh gaib itu adalah karena ketempelan mahluk halus, ataukah kesambet, ataukah karena diguna-guna. Kalau diguna-guna, apa penyebab awalnya, apakah karena orang itu menyalahi orang lain ?  Siapakah yang menjadi lawannya itu ?  Apakah obatnya ?

Contoh lain, ada orang yang sudah berbulan-bulan sakit kepala berat, vertigo,
Sudah bolak-balik ke dokter dan rumah sakit, tapi tidak sembuh juga.
Pada pertemuan pertama kita sudah ada rasa, sudah bisa mendeteksi, berdasarkan kepekaan rasa, bahwa sakitnya adalah karena pengaruh gaib.
Sesudah itu barulah dilakukan proses lebih lanjut, dianalisa dengan batin, yang kemudian diketahui ternyata sakitnya itu adalah karena adanya sesosok gondoruwo yang bersemayam di kepalanya. Dengan demikian sesudah diketahui sumber penyebab sakitnya maka tindak lanjut penyembuhannya menjadi lebih terarah.

Jadi rasa adalah proses awal yang dirasakan, sebelum masuk ke proses selanjutnya untuk dianalisa secara batin.

Begitu juga bedanya antara kekuatan rasa dan kekuatan kebatinan.
Misalnya penggunaan secara fisik :
Kekuatan rasa dilakukan secara spontan setelah merasakan adanya desakan kekuatan rasa di dada.
Kekuatan kebatinan dilakukan setelah menghimpun kekuatan kebatinan, sampai terasa energinya seperti aliran tenaga dalam atau tubuh terasa tebal berselimut energi, dan setelah mantap kekuatannya dan batinnya barulah kekuatan kebatinan itu digunakan.

Jadi, rasa adalah proses awal sebelum proses selanjutnya secara batin.

Ilham itu seperti ide-ide pemikiran yang terbersit di dalam pikiran, yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan. Ilham dan ide-ide pemikiran itu bisa juga merupakan jawaban dari suatu permasalahan.

Firasat adalah rasa tentang suatu kejadian yang merupakan pertanda akan terjadinya kejadian yang lain. Biasanya ditandai dengan rasa enak atau tidak enak di hati ketika kejadian pertanda itu terjadi. Jadi suatu kejadian yang merupakan pertanda / firasat ini bukanlah sekedar pengkultusan yang menyama-ratakan bahwa bila suatu kejadian terjadi pasti akan terjadi kejadian yang lain.

Misalnya kita akan berangkat ujian pendidikan. Ketika sedang berbenah, pulpen kita jatuh. Seketika itu juga muncul rasa tidak enak di hati. Ternyata terbukti kemudian bahwa kita memang tidak lulus ujian.

Dalam kasus itu rasa tidak enak di hati ketika pulpennya jatuh itu menjadi pertanda bahwa usaha kita akan gagal. Rasa tidak enak di hati itu  merupakan sebuah tanda / firasat bahwa kita akan mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Tetapi jangan dijadikan pengkultusan bahwa kalau pulpen kita jatuh berarti ujian kita akan gagal, sehingga kita akan berusaha supaya pulpen kita tidak jatuh.

Pada kejadian di atas yang menjadi inti perhatian adalah rasa tidak enak di hati, bukan kejadian pulpennya jatuh. Rasa tidak enak di hati itulah yang disebut firasat.

Firasat itu ditandai dengan rasa di hati, bukan sekedar pada kejadiannya. Diperlukan kepekaan rasa untuk bisa merasakan kejadian yang merupakan sebuah pertanda. Firasat ini menjadi bentuk peringatan supaya kita lebih berhati-hati dan waspada dan mengusahakan yang terbaik, supaya kejadian yang tidak mengenakkan tidak sampai benar-benar terjadi pada kita. Baik atau buruk suatu kejadian yang akan kita alami biasanya sebelumnya ditandai dengan adanya rasa di dada. " If it's going to get better or worse, it starts with a feeling ", begitu katanya orang barat.

Intuisi adalah keseluruhan ide dan ilham, firasat, feeling, insting, wangsit, prediksi, dsb, yang mengalir di dalam pikiran yang biasanya digunakan untuk mengambil keputusan tertentu. Ada tipe orang-orang tertentu yang dalam mengambil keputusan tertentu lebih mengandalkan feeling / insting, yang keseluruhannya disebut intuisi, tidak menekankan pada bukti-bukti lain atau analisa, rasio dan perhitungan tertentu sebagai dasar pertimbangan.

Wahyu, pengertiannya secara umum adalah diturunkannya restu Tuhan (Dewa) kepada seseorang yangkewahyon sesuai tujuan wahyunya. Wahyu hanya diturunkan kepada orang-orang tertentu saja yang para Dewa berkenan, bukan kepada sembarang orang, sehingga walaupun seseorang melakukan tapa brata atau bertirakat di tempat yang wingit dan angker, tidak pasti bahwa kemudian orang itu akan mendapatkan wahyu yang diharapkannya. Mungkin yang didapatkannya hanyalah sebatas wangsit / wisik saja dari gaib-gaib yang menghuni tempatnya bertirakat.

Wahyu, dalam bahasa sehari-hari di masyarakat ada yang diartikan sama dengan wangsit / wisik, yaitu suatu bentuk pemberitahuan / bisikan gaib kepada seseorang tentang akan terjadinya suatu kejadian tertentu.

Rasa dan firasat seringkali dianggap tahyul dan klenik, apalagi bila ada pengkultusan di dalamnya. Karena itu kita harus bisa membedakan sesuatu rasa, apakah itu hanya rasa biasa saja ataukah rasa yang merupakan suatu  pertanda  tentang suatu kejadian yang akan terjadi. Belajarlah peka terhadap bisikan-bisikan nurani. Jangan mengabaikan bisikan hati dan firasat, tetapi juga jangan mengada-ada, jangan melebih-lebihkan, jangan mengkultuskan, jangan ber-ilusi.

Ada juga manfaat lain jika kita peka rasa dan tanggap firasat. 

Misalnya, sudah umum sebenarnya, walaupun sering diabaikan atau dianggap tahayul, tapi sebenarnya sudah sering sekali terjadi di kehidupan manusia di manapun di dunia, yaitu kasus orang kesambet, ketempelan, atau ketempatan mahluk halus. Pengaruh negatifnya bisa berdampak pada kesehatan, psikologis dan pikiran (psikis), bisa juga berpengaruh negatif terhadap jalan hidup dan kerejekian dan rumah tangga.

Kalau kasus yang berhubungan dengan mahluk halus ini menyebabkan kita (atau anggota keluarga kita) sakit, baik pegal-pegal, pusing, sakit organ dalam, atau bahkan tumor dan kanker, karena ketidak-tahuan kita umumnya kita hanya mengupayakan pengobatannya secara medis saja, ke dokter, rumah sakit atau minum obat saja. Tapi kesembuhannya hanya sementara saja, nantinya akan kambuh lagi, atau muncul menjadi sakit / penyakit di bagian tubuh lain, apalagi kalau sakitnya parah yang bahkan bisa berujung kematian. Sakit-penyakit yang sumbernya karena gaib tidak semuanya bisa tuntas ditangani oleh medis.

Tapi kalau kita peka rasa mungkin kita akan bisa membedakan sakit-penyakit yang asli medis dengan yang asalnya adalah pengaruh gaib, sehingga yang sakitnya asli medis kita akan mengobatinya secara medis, dan yang asalnya dari pengaruh gaib kita akan menambahkan penyembuhannya dengan cara-cara kegaiban atau dengan pembersihan gaib. 

Dengan demikian kita menjadi lebih tahu bagaimana harus bersikap jika ada sesuatu yang negatif menimpa diri kita (atau keluarga kita), apakah penanganannya harus secara modern duniawi ataukah harus ditambahkan dengan cara-cara kegaiban. Begitu juga bila ada dampaknya yang negatif terhadap psikologis dan pikiran (psikis), atau terhadap jalan hidup dan kerejekian dan rumah tangga. Baca juga : Pengaruh Gaib Thd Manusia).

Atau mungkin kita tidak akan terburu-buru berangkat kerja, walaupun sudah terlambat / kesiangan, seandainya saja sebelumnya kita tahu atau dapat merasakan bahwa pada hari itu ada anggota keluarga kita yang akan mengalami musibah. 

Bila kita tanggap firasat biasanya ada beberapa tandanya yang bisa kita rasakan. Misalnya ada rasa berat meninggalkan rumah atau keluarga. Atau justru kita mengabaikan mereka. Atau kita merasa jengkel berlebihan ketika ada anak kita yang rewel meminta sesuatu. Mungkin sehari-harinya rasa-rasa itu sudah sering terjadi tapi biasanya kadarnya tidak sebesar dibanding ketika akan terjadi pengapesan.

Bila pengapesannya kita sendiri yang mengalami biasanya ada rasa-rasa yang kadarnya lebih besar daripada hari-hari biasanya. Misalnya ada lebih besar rasa semangat / senang, atau rasa berat meninggalkan rumah, atau pikiran terasa mengambang, banyak melamun, tidak fokus. Mungkin rasa-rasa itu sehari-harinya sudah sering juga terjadi tapi biasanya kadarnya tidak sebesar dibanding ketika akan terjadi pengapesan. Bila kita tanggap firasat kita akan dapat merasakan adanya ketidakwajaran di dalam rasa-rasa itu.

Mengenai pengapesan, semua orang mengalaminya, hanya bentuk kejadiannya saja yang tidak sama.

Sebaiknya kita peka rasa untuk bisa tanggap firasat, sehingga jika ada suatu kejadian yang tidak mengenakkan, kita sudah lebih dulu mengerti pemberitahuan / tandanya sehingga kita bisa menghindarinya dan bisa mengambil suatu tindakan untuk meminimalisir resiko negatifnya.

Kekuatan batin dan kepekaan rasa berguna juga untuk mendeteksi keberadaan mahluk halus, bukan untukmelihat gaib. Tetapi kalau sudah terbiasa mengasah kepekaan rasa batin, biasanya sukma kita juga akan bekerja, sehingga kita dapat mendeteksi sesuatu yang gaib dan bisa juga terbayang sosok wujudnya seperti apa (melihat gaib secara batin). Kalau fokus kita bisa kuat dan lama dengan kepekaan rasa, maka gambaran gaib yang kita terima juga akan lebih jelas. Dengan cara ini kita menjalin komunikasi dengan sukma kita (roh sedulur papat), sehingga pemberitahuan dari mereka berupa ide dan ilham dan gambaran-gambaran gaib bisa kita terima dengan baik sinyalnya.

Orang-orang yang menekuni kebatinan biasanya juga mengerti tentang kegaiban, memiliki kepekaan tertentu mengenai kegaiban, kegaiban hidup dan kegaiban alam, dapat membedakan suatu rasa yang merupakan pertanda dari akan terjadinya suatu kejadian, atau tentang kejadian-kejadian yang akan datang, dsb, yang selain berasal dari pengetahuannya sendiri, biasanya juga didapatkannya dari ilham atau bisikan gaib (wangsit).

Secara sederhana batin diartikan sebagai sesuatu yang dirasakan manusia pada hatinya yang paling dalam.
Istilah batin dalam konteks keilmuan tidak persis sama dengan kosa kata pengertian umum, karena pengertian batin dalam konteks keilmuan lebih banyak arahnya kepada kebatinan dan ilmu kebatinan.

Sebagai pemahaman dasar, keilmuan kebatinan adalah jenis keilmuan berdasarkan olah kebatinan, jangan disamakan dengan aliran ilmu gaib yang mengedepankan amalan gaib dan mantra, dan jangan disamakan konotasinya seperti cerita perdukunan di televisi. 

Ilmu kebatinan adalah jenis keilmuan yang mengolah potensi kebatinan manusia, mengolah potensi kegaiban sukmanya, rohnya. Dan itu tidak selalu mudah bagi semua orang, karena tidak semua orang mampu "masuk" ke dalam dirinya yang terdalam, lebih banyak orang yang hanya mampu mengolah apa yang ada di luar, kulitnya saja, bukan yang ada di dalam, isinya. Dan jangan berharap ada jalan pintas atau belajar cara mudah dengan hanya menghapalkan dan mewirid amalan gaib dan mantra atau mengedepankan keampuhan khodam jimat dan pusaka.

Dalam rangka mempelajari ilmu kebatinan seseorang harus bisa mengedepankan batinnya, bukan pikirannya, untuk bisa peka rasa merasakan apa yang ada di dalam batinnya yang terdalam, dan dengan olah kebatinan potensi kegaiban kebatinan / sukma manusia itu digali dan ditingkatkan kualitasnya, yang jika orangnya berhasil mencapai tingkatan yang tinggi kegaiban sukma orang itu akan dapat melebihi kegaiban roh-roh gaib yang ada di bumi ini.

Dalam rangka mempelajari ilmu kebatinan dan kegaiban jangan sekali-kali menyombongkan nalar dan logika, kepintaran dan kejeniusan berpikir. Tidak semua orang dengan pikirannya mampu mencerna sesuatu yang hanya bisa diinderai dengan rasa dan batin, sesuatu yang nyata ada tetapi tidak kelihatan mata, sehingga banyak hal-hal gaib dan kegaiban sering dikatakan orang sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, dan  dianggap mitos, pengkultusan atau klenik. 

Dalam olah kebatinan dan kegaiban yang lebih banyak berperan adalah rasa dan batin (olah rasa dan batin, bukan olah pikiran) dan kecerdasan batin (bukan kepintaran dan kejeniusan). Jika terlalu mengedepankan sikap berpikir, maka sesuatu yang mudah diinderai oleh orang yang peka rasa akan sulit sekali diinderai oleh orang yang terlalu mengedepankan sikap berpikirnya. Dalam hal ini semua kegaiban itu bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, tetapi akalnya saja yang tidak sampai, akalnya saja yang tidak mampu mencerna. Mampu mencerna saja tidak, apalagi menciptakan alat-alat modern untuk membuktikan kebenaran atas hal-hal gaib. 

Dalam hal ini sudah terjadi kesalahan metode dan sikap berpikir. Hal-hal kegaiban hanya bisa diinderai dengan rasa dan kecerdasan batin, bukan dengan pikiran atau kejeniusan berpikir atau sok berlogika. Semua fakta dan bukti-bukti empiris harus lebih dulu didapatkan dengan olah rasa dan batin, sesudahnya barulah dinalar dengan pikiran. Seharusnya orang bisa peka rasa untuk menginderai kegaiban, sesudahnya barulah dinalar dengan pikiran.

Sebenarnya tidak harus seseorang menjadi seorang yang mumpuni dalam hal kegaiban, karena semuanya tergantung pada unsur interest dan aspek manfaat bagi masing-masing orang, tetapi sebaiknya minimal bisa peka rasa supaya bisa merasakan dan mengetahui sesuatu yang sifatnya negatif yang akan atau sedang terjadi pada dirinya sendiri maupun keluarga dan orang-orang terdekatnya, supaya kemudian bisa melakukan tindakan preventif yang diperlukan. Jangan membodohi diri dengan menganggap semua kejadian di dunia manusia bisa dinalar dan bisa ditangani dengan cara-cara dan peralatan modern, apalagi cara-cara dan peralatan modern pun masih mempunyai keterbatasan, tidak mampu untuk digunakan mendeteksi, apalagi menangani, hal-hal yang terkait dengan kegaiban. Kebatinan / kegaiban dan cara-cara modern tidak saling menggantikan, tidak saling menghapuskan, tetapi saling melengkapi kekurangan masing-masing.

Darmo Ghandul 2

Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu
Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni
Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa Jawa, kuthane ana
sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut
kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jawa, kabeh
padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.
Buta Locaya panggonane ana ing Selabale, dene kiyai Tunggulwulung ana
ing gunung Kêlut, rumêksa kawah sarta lahar, yen lahar mêtu supaya
ora gawe rusaking desa sarta liya-liyane.

(Ketika Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu
Pagedhongan telah moksha, maka Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung
juga ikut moksha. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus
seluruh Jawa. Pusat kerajannya ada di laut selatan dan digelari Ni
Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan dan
daratan serta juga kanan kiri Tanah Jawa bersama-sama takluk pada Ni
Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya kediamannya ada di Selabale,
sedangkan Kyai Tunggulwulung ada di Gunung Kelut. Ia mengawasi dan
dan lahar agar supaya saat lahar keluar tidak merusak desa dan lain
sebagainya.)

Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi kêncana
kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring mêrak,
diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha
ngadhêp, kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji
Sarilaut.

(Waktu itu Kyai Buta Locaya sedang duduk di singgasananya yang
dialasi kasur permadani. Datang mengahadap patihnya bernama
Megamendhung dan dua putra tertuanya juga hadir. Yang lebih tua
bernama Panji Sektiguna dan adiknya bernama Sarilaut.)

Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget kasaru
têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah lor
Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka Tuban
kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Benang. Nyai
Plêncing ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.

(Buta Locaya sangat terkejut dengan laporan Nyai Plencing mengenai
tingkah polah Sunan Benang yang merusak tanah di utara Kediri. Ia
mengatakan bahwa Sunan Benang yang merusak itu orang dari Tuban yang
berkelana ke Kediri. Nyai Plencing mengisahkan penderitaan para
makhluk halus dan manusia.)

Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono mau bangêt dukane,
sarirane nganti kaya gêni, sanalika banjur nimbali putra-wayahe sarta
para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan Benang. Para
lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang, sarta lakune barêng karo
angin, ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing saêloring
desa Kukum, ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai
Sumbre, dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora
ngaton, kiyai Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring
wit sambi, ngadhang lakune Sunan Benang kang saka êlor.

(Buta Locaya mendengar laporan Nyai Plencing itu menjadi sangat
marah. Wajahnya menjadi merah padam bagaikan api. Ia segera memanggil
anak-anaknya dan juga para makhluk halus jin serta peri. Ia mengajak
mereka melawan Sunan Benang. Para makhluk halus itu bersiap-siap
untuk perang. Mereka berjalan secepat angin, tidak berapa lama mereka
tiba di utara desa Kukum, di sana Buta Locaya beralih wujud menjadi
manusia yang bernama Kyai Sumbre. Ia kemudian berdiri di tengah
jalan, di bawah pohon sambi, menghadang perjalanan Sunan Benang dari
utara.)

Ora antara suwe têkane Sunan Benang saka lor, Sunan Benang wis ora
kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku ratuning
dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya mawa. Dene
lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir adoh, ora bêtah
kêna prabawane Sunan Benang. Mangkono uga Sunan Benang uga ora bêtah
cêdhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene cêdhak mawa, kiyai Sumbre
mangkono uga.

(Tidak lama kemudian, Sunang Bonang datang dari arah utara. Ia sudah
mengetahui bahwa yang berdiri di bawah pohon itu rajanya makhluk
halus yang terlah bersiap-siap untuk menganggu dirinya. Dimana hal
itu diketahui dari hawa panas yang keluar dari makhluk halus
tersebut. Para makhluk halus yang berjumlah banyak tersebut bersama-
sama menyingkir jauh-jauh karena tidak tahan dengan hawa kekuatan
Sunan Bonang. Namun Sunan Bonang juga tidak tahan berada di dekat
Kyai Sumbre, karena kemanapun Sunan Bonang menyingkir, maka Kyai
Sumbre ada di tempat itu pula.)

Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisên, amarga
kêna daya prabawane kiyai Sumbre.

(Dua orang sahabat Sunan Bonang pingsan, karena kedinginan. Mereka
tidak tahan terkena hawa kekuatan Kyai Sumbre.)

Sunan Benang andangu marang kiyai Sumbre: "Buta Locaya! Kowe kok
mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre, kowe apa padha
slamêt?".

(Sunan Bonang menegur Kyai Sumbre, "Buta Locaya! Kamu menghadang
jalanku, serta menyamar sebagai Sumbre. Apa kamu cari mati?")

Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Benang ngrêtos jênênge dheweke,
dadi dheweke kawanguran karêpe, wusana banjur matur marang Sunan
Benang: "Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos manawi kula punika
Buta Locaya?".

(Buta Locaya terkejut bukan main, karena Sunan Bonang mengetahui
namanya, sehingga ia merasa ketahuan rahasianya. Lalu bertanyalah ia
pada Sunan Bonang, "Darimana Anda dapat mengetahui bahwa saya adalah
Buta Locaya?")

Sunan Benang ngandika: "Aku ora kasamaran, aku ngrêti yen kowe
ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya.".

(Sunan Bonang berkata, "Aku tidak tertipu, aku tahu bahwa engkau
adalah rajanya para makhluk halus di Kediri, namamu adalah Buta
Locaya.")

Kiyai Sumbre matur marang Sunan Benang: "Paduka punika tiyang punapa,
dene mangangge pating gêdhabyah, dede pangagêm Jawi. Kados wangun
walang kadung?".

(Kyai Sumbre menjawab pada Sunan Bonang, "Anda itu orang mana, kok
tingkah lakunya tidak sopan, beda dengan adat istiadat Jawa. Seperti
belalang saja [loncat sini loncat sana.")

Sunan Benang ngandika maneh: "Aku bangsa 'Arab, jênêngku Sayid
Kramat, dene omahku ing Benang tanah Tuban, mungguh kang dadi sêdyaku
arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone Sang Prabu
Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?".

(Sunan Bonang berkata lagi, "Aku orang Arab, namaku adalah Sayid
Kramat, sedangkan rumah saya ada di Bonang, Tuban. Aku ke Kediri
karena ingin melihat peninggalan istana Sang Prabu Jayabaya. Istana
tersebut dulunya berada di mana?")

Buta Locaya banjur matur: "Wetan punika wastanipun dhusun Mênang (9),
sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta pasanggrahanipun
inggih sampun botên wontên, kraton utawi patamanan Bagendhawati
ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan inggih sampun sirna,
pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna, namung kantun namaning
dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta lahar saking
rêdi Kêlut.

(Buta Locaya menjawab, "Di sebelah timur itu, yakni di desa Menang,
semua peninggalan telah musnah, istana serta tempat pesanggrahan juga
telah tiada lagi. Istana dan taman istana Bagendhawati milik Ni Mas
Ratu Pagedhongan juga telah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga telah
sirna, yang tertinggal adalah nama desa itu. Semua itu musnah
tertimbun tanah pasir dan lahar dari gunung Kelut.)

Kula badhe pitaken, paduka gêndhak sikara dhatêng anak putu Adam,
nyabdakakên ingkang botên patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngêlih
nami Kutha Gêdhah, ngêlih lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis
toya, punika namanipun siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa,
saiba susahipun tiyang gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên
gampil pêncaripun titahing Latawalhujwa, makatên wau saking sabda
paduka, sêpintên susahipun tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri
ngalih panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami
risak, ngriki paduka-sotakên, sêlaminipun awis toya, lepenipun asat,
paduka sikara botên surup, nyikara tanpa prakara"

(Sekarang saya hendak bertanya, Anda menyiksa anak cucu Adam,
mengucapkan sesuatu yang tidak patut diucapkan. [Mengutuk] orang
menjadi perawan dan perjaka tua, dan juga mengubah nama menjadi Kutha
Gedhah, memindah aliran sungai, dan selanjutnya mengutuk bahwa di
daerah ini akan susah air. Itu namanya tindakan yang tidak berguna,
menyiksa orang lain yang tak bersalah, menyebabkan susahnya kehidupan
orang lain. Lelaki susah menemukan jodohnya. Tindakan itu
bertentangan dengan titah dari Latawalhujwa. Semua itu berasal dari
kutukan Anda, begitu besarnya kesusahan orang yang kebanjiran. sungai
Kediri berubah alirannya dan menerjang desa, hutan, sawah, berapa
banyak yang rusak. Sedangkan di sini, Anda kutuk selamanya susah air,
sungainya surut. Anda itu hanya menyiksa orang lain yang tidak
bersalah.")

Sunan Benang ngandika: "Mula ing kene tak-êlih jênêng Kutha Gêdhah,
amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih, têtêpe agama biru,
sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku njaluk banyu
ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh tak sotake
larang banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka tuwa, amarga
kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg."

(Sunan Bonang berkata, "Tempat ini aku ganti namanya menjadi Kutha
Gedhah, karena orang di sini agamanya tidak hitam tidak putih,
tepatnya agama biru, yakni agama Kalang. Aku kutuk susah air, karena
saya minta air minum tidak boleh. Oleh karenanya, air sungainya saya
rubah alirannya. Semua yang berada di sini saya kutuk susah air. Saya
mengutuk agar orang di sini menjadi perawan dan perjaka tua, karena
tidak bersedia memberikan saya air minum, yaitu gadis perawan kurang
ajar itu.")

Buta Locaya matur maneh: "Punika namanipun botên timbang kaliyan sot
panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung tiyang satunggal
ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah sangêt, botên
timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun
tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih
dipunukum mlarat ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên tanah,
lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki
sagêda mirah toya malih, sagêd dados asil panggêsangan laki rabi
taksih alit lajêng mêncarakên titahipun Hyang Manon. Panjênêngan
sanes Narendra têka ngarubiru agami, punika namanipun tiyang dahwen".

(Buta Locaya berkata lagi, "Itu namanya orang yang tanpa
pertimbangan. Kesalahan tidak seberapa, dan selain itu hanya satu
orang yang bersalah, tetapi Anda telah membuat susah orang banyak
sekali. Tidak sesuai dengan hukumannya. Anda itu namanya membuat
susah orang banyak. Seandainya diketahui yang memiliki negara, maka
Anda akan dihukum melarat sekali, karenanya merusak tanah. Sudah
begini saja, Anda tarik kembali kutukan Anda. Di sini menjadi
melimpah air kembali, sehingga bisa untuk bercocok tanah. Pria dan
wanita dapat kembali menikah pada usia mudah, sesuai dengan titah
dari Hyang Manon. Anda itu bukan Narendra (gelar Wisnu, mungkin yang
dimaksud Tuhan - penterjemah), tetapi kok datang-datang mengharubiru
agama. Itu namanya orang berengsek.")

Sunan Benang ngandika: "Sanadyan kok-aturake Ratu Majalêngka aku ora
wêdi".

(Sunan Bonang berkata, "Meskipun kamu laporkan Raja Majalengka saya
tidak takut.")

Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang Ratu Majalêngka
banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: "Rêmbag paduka niki dede
rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing bambon,
ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan dumeh
dipunkasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng tumindak
sakarsa-karsa botên toleh kalêpatan, siya dahwen sikara botên ngangge
prakara, sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wontên ingkang
nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi sarta ajrih
sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya dhatêng
sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang tunggilipun
Aji Saka, muride Ijajil.

(Buta Locaya setelah mendengar bahwa Sunan Bonang tidak takut pada
Raja Majalengka menjadi makin marah, kata-katanya menjadi
keras, "Anda itu jelas sekali tidak mencerminkan seseorang yang
bijaksana dan berbudi luhur, melainkan lebih tepat lagi disebut
dengan gelandangan (bahasa asli apabila diterjemahkan secara harafiah
adalah orang yang tinggal dalam rumah bambu- penterjemah). Beraninya
hanya mengandalkan kesaktiannya. Bersikaplah rendah hati sehingga
dikasihi oleh Hyang Widdhi, dikasihi oleh sahabat, dan bukannya
bertindak semau-maunya sendiri dengan tidak melihat kesalahannya. Itu
namanya orang jahat yang tidak menimbang dulu permasalahannya. Di
tanah Jawa ini, khan banyak orang yang kesaktiannya melebihi Anda,
namun semuanya itu berbudi luhur dan tidak berusaha mengungguli para
dewa. Mereka sama sekali tidak menyiksa orang lain tanpa melihat
kesalahannya terlebih dahulu. Mengapa Anda meniru Aji Saka, muridnya
Ijajil?)

Aji Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajêng minggat
saking tanah Jawi, sumbêr toya ing Mêdhang saurutipun dipunbêkta
minggat sadaya, Aji Saka tiyang saka Hindhu, paduka tiyang
saking 'Arab, mila sami siya-siya dhatêng sêsami, sami damêl awising
toya, paduka ngakên Sunan rak kêdah simpên budi luhur, damêl wilujêng
dhatêng tiyang kathah, nanging kok jêbul botên makatên, wujud paduka
niki jajil bêlis katingal, botên tahan digodha lare, lajêng mubal
nêpsune gêlis duka, niku Sunan napa?

(Aji Saka menjadi raja tanah Jawa, tetapi tiga tahun kemudian pergi
meninggalkannya, sumber air yang ada di Medhang juga dibawanya pergi.
Aji Saka orang dari India, sedangkan Anda adalah orang Arab, karena
itu sama-sama tidak menghargai sesama manusia. Sama-sama membuat
sulit air. Anda itu mengaku-ngaku sebagai Sunan, khan seharusnya
berbudi luhur, menciptakan kebajikan bagi orang banyak, tetapi kok
malah tingkah lakunya seperti itu. Anda itu seperti iblis tingkah
lakunya. Tidak tahan digoda oleh anak kecil, lalu bangkit nafsu
angkara murkanya. Sunan macam apa itu?)

Yen pancen Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur. Paduka
niksa wong tanpa dosa, nggih niki margi paduka cilaka, tandhane
paduka sapunika sampun jasa naraka jahanam, yen sampun dados, lajêng
paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting kawah wedang ingkang umob
mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut, sanes alam kaliyan
manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng wilujêngipun manusa. Inggih
sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi mangsulakên
malih, lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya
kula-aturi mangsulakên kados sawaunipun, manawi panjênêngan botên
karsa mangsulakên, sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula-
têluh kajêngipun pêjah sadaya, kula tamtu nyuwun bantu wadya bala
dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin ingkang wontên samodra kidul".

(Kalau memang Anda sudah Sunan secara lahir bathin, maka seharusnya
berbudi luhur. Anda menyiksa orang tanpa dosa, yaitu karena Anda
dihina. Sehingga dengan demikian setelah ini Anda pantas masuk neraka
jahanam. Kalau sudah mati, Anda akan tinggal di sana. Dimasukkan
kawah air panas yang asapnya melimpah-limpah. Saya ini termasuk
golongan makhluk halus, dan berbeda dengan kalian yang manusia.
Karenanya saya ini masih ingat dengan kesejahteraan umat manusia. Ya
sudah, apa yang sudah rusak saya minta untuk diperbaikik kembali.
Sungai yang surut dan tempat yang rusak diterjang banjir, saya minta
dikembalikan seperti asal mulanya. Jika Anda tidak bersedia
mengembalikannya, semua orang Jawa yang sudah masuk Islam akan saya
santet agar mati semua. Saya tentu juga akan minta bala bantuan dari
Ratu Ayu Anginangin di laut selatan.")

Sunan Benang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya rumaos lupute, dene
gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula banjur
ngandika: "Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna mbaleni
caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun, kali iki
bisa bali kaya mau-maune".

(Sunan Bonang setelah mendengar nasehat Buta Locaya jadi menyadari
kesalahannya karena telah menyebabkan kesengsaraan banyak orang, maka
berkatalah ia, "Buta Locaya, saya ini Sunan, tidak dapat menarik
kembali ucapanku yang sudah keluar, besok jika telah genap lima ratus
tahun, maka sungai ini kembali seperti semula.")

Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Benang, banjur nêpsu
maneh, nuli matur marang Sunan Benang: "Kêdah paduka-wangsulna
sapunika, yen botên sagêd, paduka kula-banda".

(Buta Locaya setelah mendengar penolakan Sunan Bonang menjadi marah
kembali, ia mengancam Sunan Bonang, "Harus dikembalikan sekarang
juga, jika tidak bisa, maka Anda saya tahan di sini.")

Sunan Benang ngandika marang Buta Locaya: "Wis kowe ora kêna
mangsuli, aku pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak-jênêngake
cacil, dene kok kaya bocah cilik padha tukaran, dhêmit lan wong
pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara rusaking tanah, sarta
susahe jalma lan dhêmit, dak-suwun marang Rabbana, woh sambi dadi
warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane, asêm
dadi pasêmoning ulat kêcut, dene dhêmit padu lan manusa, lênga têgêse
dhêmit mlêlêng jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen aku padu
karo kowe, lan wiwit saiki panggonan têtêmon iki, kang lor jênênge
desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre, dene panggonane balamu kang
ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran".

(Sunan Bonang berkata pada Buta Locaya, "Sudah, kamu tidak perlu
mengajari aku, aku pamit mau ke Magetan, buah sambi ini aku sebut
cacil, karena kok seperti anak kecil berkelahi. Makhluk halus dan
manusia berkelahi mengadu pengetahuan masalah rusaknya tanah, serta
kesengsaraan manusia dan makhluk halus. Saya akan minta pada Tuhan,
buah sambi akan menjadi dua warna, dagingnya menjadi masam, bijinya
agar keluar minyaknya. Asam itu menjadi lambang ulat masam, karena
makhluk halus bertengkar dengan manusia. Minyak artinya makhluk halus
menghalangi perginya manusia. Pada masa mendatang jadilah saksi kalau
saya bertengkar dengan kamu. Dan mulai saat ini, tempat ini yang
utara namanya desa Singkah, sedangkan yang di sini namanya Sumbre.
Sedangkan tempat berkumpulnya pasukanmu di bagian selatan namanya
dewa Kawanguran.")

Sunan Benang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang wetan
kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah ana desa
aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse kawruhan,
Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.

(Setelah berkata demikian, Sunan Bonang lalu melompat ke timur
sungai. Hingga saat ini di Kutha Gedhah ada desa bernama Kawanguran,
Sumbre, dan Singkal. Kawanguran artinya pengetathuan. Singkah artinya
menemukan akal budi.)

Buta Locaya nututi tindake Sunan Benang. Sunan Benang tindake têkan
ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Benang mriksani rêca jaran, rêca
mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring wit
trênggulun, wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba nganti
amblasah, Sunan Benang ngasta kudhi, rêca jaran êndhase digêmpal.

(Buta Locaya mengikuti perginya Sunan Bonang. Sunan Bonang tiba di
desa Bogem, di sana ia melihat ada patung kuda yang berbadan satu
tetapi berkepala dua. Letaknya ada di bawah pohon trenggulun. Buah
trenggulun itu banyak sekali hingga menggunung tinggi. Sunan Bonang
lalu menghancurkan kepala patung kuda itu.)

Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Benang anggêmpal êndhasing
rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse: "Punika
yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing tekadipun wanita
Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang sumêrêp rêca punika,
lajêng sami mangrêtos tekadipun para wanita Jawi"

(Setelah melihat Sunan Bonang menghancurkan kepala patung kuda, maka
bangkit kembali kemarahan Buta Locaya. Ia berkata, "Itu adalah
peninggalan sang Prabu Jayabaya, sebagai lambang tekadnya wanita
Jawa. Besok di jaman Nusa Srenggi, siapa saja yang melihat patung itu
akan sama-sama memahami tekad para wanita Jawa.")

Sunan Benang ngandika: "Kowe iku bangsa dhêmit kok wani padu karo
manusa, jênênge dhêmit kêmênthus".

(Sunan Bonang menjawab, "Kamu itu bangsa makhluk halus, kok berani
bertengkar dengan manusia. Itu namanya makhluk halus sombong.")

Buta Locaya mangsuli: "Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula Ratu".

(Buta Locaya berkata, "Lalu kenapa memangnya? Anda Sunan, saya raja.")

Sunan Benang ngandika: "Woh trênggulun iki tak-jênêngake kênthos,
dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo dhêmit
kumênthus, prakara rusaking rêca".

(Sunan Bonang berkata, "Buah trenggulun ini aku namakan kenthos,
sehingga menjadi peringatan di masa mendatang kalau aku bertengkar
dengan makhluk halus sombong masalah rusaknya patung.")

Ki Kalamwadi ngandika: "Katêlah nganti saprene, woh trênggulun
jênênge kênthos, awit saka sabdane Sunan Benang, iku pituture Raden
Budi Sukardi, guruku".

(Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga sekarang, buah trenggulun namanya
kenthos, karena berasal dari sabda Sunan Bonang. Itu adalah
pemberitahuan dari guruku Raden Budi Sukardi.")

Sunan Benang banjur tindak mangalor, barêng wis wanci asar, kêrsane
arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana timbane,
sumure banjur digolingake, dene Sunan Benang sawise, nuli sagêd
mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.

(Sunan Bonang lalu pergi ke arah utara. Pada saat itu telah waktunya
salat asar dan ia hendak menunaikan ibadah salat. Di luar desa itu
ada sumur, tetapi tidak ada ember untuk menimba air, karena itu Sunan
Bonang menggulingkan sumur itu sehingga ia bisa menggambil air dari
dalamnya.)

Ki Kalamwadi ngandika: "Katêlah nganti saprene sumur mau karane sumur
Gumuling, Sunan Benang kang anggolingake, iku pituture Raden Budi
guruku, êmbuh bênêr lupute".

(Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga saat ini sumur itu disebut sumur
Gumuling. Sunan Bonang yang menggulingkannya. Itu katanya Raden Budi
guruku, entah benar entah tidak.")

Sunan Benang sawise salat banjur nêrusake tindake, satêkane desa
Nyahen (10) ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring wit
dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta akeh
kang tiba kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang mbêranang,
saka akehe kêmbange kang tiba, Sunan Benang priksa rêca mau gumun
bangêt, dene ana madhêp mangulon, dhuwure ana 16 kaki, ubênge
bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane, yen dijunjung
wong wolung atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune
têngên rêca mau disêmpal dening Sunan Benang, bathuke dikrowak.

(Setelah salat maka Sunan Bonang meneruskan perjalanannya, dan tiba
di desa Nyahen. Di sana ada patung raksasa wanita yang terletak di
bawah pohon dadap. Pada saat itu kebetulan pohon dadapnya sedang
banya bunganya dan banyak yang berjatuhan di kanan dan kirinya patung
raksasa itu sehingga nampak merah merona. Sunan Bonang melihat arca
yang tingginya 16 kaki dan lingkarnya 10 kaki. Apabila diangkat orang
800 juga masih belum terangkat. Bahu kanan patung tersebut
dihancurkan oleh Sunan Bonang dan selain itu dahinya juga dirusak.)

Buta Locaya wêruh yen Sunan Benang ngrusak rêca, dheweke nêpsu maneh,
calathune: "Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca buta bêcik-bêcik
dirusak tanpa prakara, sa-niki awon warnine, ing mangka punika
yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan
ngrisak rêca?"

(Buta Locaya mengetahui tindakan Sunan Bonang merusak patung itu,
timbul amarahnya kembali, "Anda itu benar-benar orang brengsek.
Patung bagus-bagus kok dirusak tanpa sebab. Patung itu adalah
peninggalan Sang Prabu Jayabaya, lalu mengapa Anda rusak?")

Pangandikane Sunan Benang: "Mulane rêca iki tak-rusak, supaya aja
dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen
wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar."

(Jawaban Sunan Bonang, "Arca ini saya rusak supaya jangan disembah-
sembah oleh orang banyak, supaya jangan dimantrai. Yang menyembah
patung itu namanya kafir. Lahir dan bathinnya tersesat.")


Sumber: Darmagandhul | IndoForum http://www.indoforum.top/threads/darmagandhul.32749/#ixzz3pCM2REJU 
Hak Cipta: www.indoforum.top 

Rabu, 21 Oktober 2015

Darmo Gandul 1

DARMAGANDHUL.
Carita adêge nagara Islam ing Dêmak bêdhahe nagara Majapahit kang
salugune wiwite wong Jawa ninggal agama Buddha banjur salin agama
Islam.
(Kisah mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak dan runtuhnya
Kerajaan Majapahit yang sebenarnya. Awal mulanya Orang Jawa
Meninggalkan Agama Buddha dan Beralih pada Agama Islam)
Gancaran basa Jawa ngoko.
Babon asli tinggalane
K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.
Cap-capan ingkang kaping sêkawan 1959
Toko Buku "Sadu-Budi" Sala.

BÊBUKA.
Sinarkara sarjunireng galih, myat carita dipangikêtira, kiyai
Kalamwadine, ing nguni anggêguru, puruhita mring Raden Budi,mangesthi
amiluta, duta rehing guru, sru sêtya nglampahi dhawah,panggusthine
tan mamang ing lair batin, pinindha lir Jawata.

Satuduhe Raden Budi êning, pan ingêmbun pinusthi ing cipta, sumungkêm
lair batine, tan etung lêbur luluh, pangesthine ing awal akhir,
tinarimeng Bathara, sasêdyanya kabul, agung nugraheng Hyang Suksma,
sinung ilham ing alam sahir myang kabir, dumadya auliya.
Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi, pan biyasa mituhu susêtya, mring
dhawuh wêling gurune, kêdah mêdharkên kawruh, karya suka pirêneng
jalmi, mring sagung ahli sastra, tuladhaning kawruh, kyai Kalamwadi
ngarang, sinung aran srat Darmagandhul jinilid, sinung têmbang

macapat.
Pan katêmben amaos kinteki, têmbang raras rum sêya prasaja, trêwaca
wijang raose, mring tyas gung kumacêlu, yun darbeya miwah nimpêni,
pinirit tinuladha, lêlêpiyanipun, sawusnya winaos tamat, linaksanan
tinêdhak tinurun sungging, kinarya nglipur manah.
Pan sinambi-sambi jagi panti, sasêlanira ngupaya têdha, kinarya cagak
lênggahe, nggennya dama cinubluk, mung kinarya ngarêm-arêmi,
tarimanireng badan, anganggur ngêthêkur, ngêbun-bun pasihaning Hyang,
suprandene tan kalirên wayah siwi, sagotra minulyarja.
Wus pinupus sumendhe ing takdir, pan sumarah kumambang karseng Hyang,
ing lokhilmakful tulise, panitranira nuju, ping trilikur ri Tumpak
manis, Ruwah Je warsanira, Sancaya kang windu, masa Nêm ringkêlnya
Aryang, wuku Wukir sangkalanira ing warsi: wuk guna ngesthi Nata
(taun Jawa 1830).

[Bagian Pembukaan tidak diterjemahkan karena penterjemah tidak paham
bahasa Jawa klasik]

DARMAGANDHUL.

Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene "Mau-
maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggal agama Buddha
salin agama Islam?"

(Pada suatu hari bertanyalah Darmagandhul pada Kalamwadi sebagai
berikut, "Asal mulanya bagaimana, kok orang Jawa meninggalkan Agama
Buddha dan berubah menganut Agama Islam?")

Wangsulane Ki Kalamwadi: "Aku dhewe iya ora pati ngrêti, nanging aku
wis tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya kêna dipracaya,
nyaritakake purwane wong Jawa padha ninggal agama Buddha banjur salin
agama Rasul".

(Jawabannya Ki Kalamwadi, "Saya sendiri juga tidak begitu mengerti,
tapi saya sudah pernah diberi tahu oleh guru saya, selain itu guru
saya itu juga bisa dipercaya, [Beliau] menceritakan asal mulanya
orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berganti menganut agama
Rasul (Islam).")

Ature Darmagandhul: "Banjur kapriye dongengane?"

(Darmagandhul bertanya, "Bagaimana kalau begitu ceritanya?")

Ki Kalamwadi banjur ngandika maneh: "Bab iki satêmêne iya prêlu
dikandhakake, supaya wong kang ora ngrêti mula-bukane karêben ngrêti".

(Ki Kalamwadi lalu berkata lagi, "Hal ini sesungguhnya juga perlu
diungkapkan agar orang yang tidak tahu asal mulanya menjadi tahu.")

Ing jaman kuna nagara Majapahit iku jênênge nagara Majalêngka, dene
ênggone jênêng Majapahit iku, mung kanggo pasêmon, nanging kang
durung ngrêti dêdongengane iya Majapahit iku wis jênêng sakawit. (1)
Ing nagara Majalêngka kang jumênêng Nata wêkasan jêjuluk Prabu
Brawijaya.

(Pada zaman kuno, Kerajaan Majapahit itu namanya Kerajaan Majalengka,
sedangkan nama Majapathit itu, hanya sebagai perumpamaan, tetapi bagi
yang belum tahu ceritanya, Majapahit itu telah merupakan namanya
semenjak awal. (1) Di Kerajaan Majapahit yang berkuasa sebagai Raja
adalah Prabu Brawijaya.)

Ing wêktu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang Prabu krama
oleh Putri Cêmpa, (2) ing mangka Putri Cêmpa mau agamane Islam,
sajrone lagi sih-sinihan, Sang Rêtna tansah matur marang Sang Nata,
bab luruhe agama Islam, sabên marak, ora ana maneh kang diaturake,
kajaba mung mulyakake agama Islam, nganti njalari katariking
panggalihe Sang Prabu marang agama Islam mau.

(Pada saat itu, Sang Prabu sedang dimabuk asmara, ia menikah dengan
Putri Cempa, (2) karena Putri Cempa itu beragama Islam, maka saat
sedang berdua-duaan, Sang Putri [selalu] berbicara pada sang Raja,
mengenai agama Islam. Tiap kali berkata-kata, tidak ada hal lain yang
dibicarakan, selain mengagung-agungkan agama Islam, sehingga
menyebabkan tertariknya hati Sang Prabu akan agama Islam.)

Ora antara suwe kaprênah pulunane Putri Cêmpa kang aran Sayid Rakhmat
tinjo mênyang Majalêngka, sarta nyuwun idi marang Sang Nata,
kaparênga anggêlarake sarengate agama Rasul.

(Tidak berama lama datanglah pengikut Putri Cempa yang bernama Sayid
Rakhmat ke Majalengka. Ia minta izin pada sang raja, untuk menggelar
penyebaran agama Rasul (Islam).)

Sang Prabu iya marêngake apa kang dadi panyuwune Sayid rakhmat mau.
Sayid Rakhmat banjur kalakon dhêdhukuh ana Ngampeldênta ing Surabaya
(3) anggêlarake agama Rasul. Ing kono banjur akeh para ngulama saka
sabrang kang padha têka, para ngulama lan para maulana iku padha
marêk sang Prabu ing Majalêngka, sarta padha nyuwun dhêdhukuh ing
pasisir.

(Sang Prabu juga mengabulkan apa yang diminta oleh Sayid Rakhmat itu.
Sayid Rakhmat lalu mendirikan sebuah desa kecil (dukuh) di
Ngampeldenta, Surabaya. Ia mengajar agama Islam di sana. Selanjutnya
makin banyak para ulama dari seberang yang datang. Para ulama dan
para maulana itu beramai-ramai menghadap sang raja di Majalengka,
serta sama-sama meminta desa kecil di daerah pesisir.)

Panyuwunan mangkono mau uga diparêngake dening Sang Nata. Suwe-suwe
pangidhêp mangkono mau saya ngrêbda, wong Jawa banjur akeh bangêt
kang padha agama Islam.

(Permintaan tersebut juga dikabulkan oleh Sang Raja. Lama-lama
perkampungan kecil semacam itu makin menjamur, orang Jawa makin
banyak yang beragama Islam.)

Sayid Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama Islam
kabeh, dene panggonane ana ing Benang (4) bawah Tuban. Sayid Kramat
iku maulana saka ing 'Arab têdhake Kanjêng Nabi Rasulu'llah, mula
bisa dadi gurune wong Islam. Akeh wong Jawa kang padha kelu maguru
marang Sayid Kramat. Wong Jawa ing pasisir lor sapangulon sapangetan
padha ninggal agamane Buddha, banjur ngrasuk agama Rasul. Ing
Blambangan sapangulon nganti tumêka ing Bantên, wonge uga padha kelu
rêmbuge Sayid Kramat.

(Sayid Kramat menjadi gurunya orang-orang yang sudah menganut agama
Islam. Tempat menetapnya berada di Benang (juga disebut Bonang -
penterjemah), Tuban. Sayid Kramat itu adalah pemuka agama yang
berasal dari Arab, atau tempat kelahirannya Nabi Muhammad, sehingga
dapat menjadi gurunya para penganut agama Islam. Banyak orang Jawa
yang berguru pada Sayid Kramat. Orang Jawa di pesisir utara, baik
bagian barat maupun timur, sama-sama meninggalkan agama Buddha dan
berpindah masuk Islam. Dari Blambangan ke arah barat hingga Banten,
banyak orang yang telah mematuhi perkataan Sayid Kramat.)

Mangka agama Buddha iku ana ing tanah Jawa wis kêlakon urip nganti
sewu taun, dene wong-wonge padha manêmbah marang Budi Hawa. Budi iku
Dzate Hyang Widdhi, Hawa iku karêping hati, manusa ora bisa apa- apa,
bisane mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake.

(Pada saat itu agama Buddha telah dianut di tanah Jawa selama seribu
tahun, para penganutnya menyembah pada Budi Hawa. Budi adalah Zat
dari Hyang Widdhi, sedangkan Hawa itu adalah kehendak hati. Manusia
itu tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menjalankan, tetapi
budi yang mengubah segalanya.)

Sang Prabu Brawijaya kagungan putra kakung kang patutan saka Putri
Bangsa Cina, miyose putra mau ana ing Palembang, diparingi têtêngêr
Raden Patah.

(Raja Brawijaya memiliki putra dari seorang putri berkebangsaan Cina.
Putranya itu lahir di Palembang, dan diberi nama Raden Patah.)

Barêng Raden Patah wis diwasa, sowan ingkang rama, nganti sadhereke
seje rama tunggal ibu, arane Raden Kusen. Satêkane Majalêngka Sang
Prabu kewran panggalihe ênggone arêp maringi sêsêbutan marang
putrane, awit yen miturut lêluri saka ingkang rama, Jawa Buddha
agamane, yen nglêluri lêluhur kuna, putraning Nata kang pambabare ana
ing gunung, sêsêbutane Bambang.

(Tatkala Raden Patah sudah dewasa, ia mengunjungi ayahnya. Ia
memiliki saudara lain ibu yang bernama Raden Kusen. Setibanya di
Majalengka Sang Prabu bingung hatinya untuk memberi nama pada
puteranya. Sebab menurut tradisi leluhur Jawa yang beragama Buddha,
putra raja yang lahir di gunung, disebut Bambang.)

Yen miturut ibu, sêsêbutane: Kaotiang, dene yen wong 'Arab sêsêbutane
Sayid utawa Sarib. Sang Prabu banjur nimbali patih sarta para nayaka,
padha dipundhuti têtimbangan ênggone arêp maringi sêsêbutan ingkang
putra mau. Saka ature Patih, yen miturut lêluhur kuna putrane Sang
Prabu mau disêbut Bambang, nanging sarehne ibune bangsa Cina, prayoga
disêbut Babah, têgêse pambabare ana nagara liya.

(Kalau menurut ibunya, namanya adalah Kaotiang, yaitu kalau dalam
bahasa Arab disebut Sayid atau Sarib. Sang Prabu lalu memanggip para
patih dan pegawai kerajaan. Mereka diminta pendapatnya di dalam
memberikan nama bagi putranya itu. Patih berkata bahwa kalau menurut
leluhur zaman dahulu, anak raja itu seharusnya diberi nama Bambang,
tetapi karena ibunya berkembangsaan Cina, maka seharusnya disebut
Babah, yang artinya lahirnya ada di negara lain.)

Ature Patih kang mangkono mau, para nayaka uga padha mupakat, mula
Sang Nata iya banjur dhawuh marang padha wadya, yen putra Nata kang
miyos ana ing Palembang iku diparingi sêsêbutan lan asma Babah Patah.
Katêlah nganti tumêka saprene, yen blastêran Cina lan Jawa sêsêbutane
Babah.

(Pendapat sang patih tersebut juga disepakati oleh para pegawai
kerajaan. Oleh karenanya sang raja mengumumkan bahwa putranya itu
yang lahir di Palembang, diberi nama Babah Patah. Hingga sampai
sekarang, orang yang berdarah campuran Cina dan Jawa diberi nama
Babah.)

Ing nalika samana, Babah Patah wêdi yen ora nglakoni dhawuhe ingkang
rama, mulane katone iya sênêng, sênênge mau amung kanggo samudana
bae, mungguh satêmêne ora sênêng bangêt ênggone diparingi sêsêbutan
Babah iku.

(Babah Patah, takut kalau tidak mematuhi sabda bapaknya, karena itu
bersikap seolah-olah senang. Padahal ia tidak benar-benar senang-
senang diberi nama Babah.)

Ing nalika iku Babah Patah banjur jinunjung dadi Bupati ing Dêmak,
madanani para bupati urut pasisir Dêmak sapangulon, sarta Babah Patah
dipalakramakake oleh ing Ngampelgadhing, kabênêr wayahe kiyai Agêng
Ngampel.

(Kemudian Babah Patah diangkat menjadi bupati di Demak, untuk
mengepalai para bupati di pesisir Demak ke arah barat. Babah Patah
lalu diperintahkan untuk berguru di Ngampelgadhing, yang kebetulan
dikepalai oleh Kyai Ageng Ngampel.)

Barêng wis sawatara masa, banjur boyong marang Dêmak, ana ing desa
Bintara, sarta sarehne Babah Patah nalika ana ing Palembang agamane
wis Islam, anane ing Dêmak didhawuhi nglêstarekake agamane, dene
Raden Kusen ing nalika iku jinunjung dadi Adipati ana ing Têrung (5),
pinaringan nama sarta sêsêbutan Raden Arya Pêcattandha.

(Ketika waktunya telah tiba, ia pindah ke Demak, yakni ke desa
Bintara. Sebetulnya Babah Patah telah beragama Islam saat di
Palembang. Oleh sebab itu, tatkala telah berada di Demak, ia
diperintahkan untuk melestarikan agamanya. Sedangkan Raden Kusen
diangkat menjadi adipati di Terung, dan diberi gelar Raden Arya
Pecattandha.)

Suwening suwe sarak Rasul saya ngrêbda, para ngulama padha nyuwun
pangkat sarta padha duwe sêsêbutan Sunan, Sunan iku têgêse budi,
uwite kawruh kaelingan kang bêcik lan kang ala, yen wohe budi ngrêti
marang kaelingan bêcik, iku wajib sinuwunan kawruhe ngelmu lair
batin. Ing wêktu iku para ngulama budine bêcik-bêcik, durung padha
duwe karêp kang cidra, isih padha cêgah dhahar sarta cêgah sare.

(Makin lama agama Rasul makin menyebar luas, para ulama menjadi ingin
memiliki gelar, dimana kemudian mereka digelari Sunan. Sunan itu
artinya budi, pohon pengetahuan kesadaran pada yang baik dan buruk.
Jika buah budi itu menyadari akan kebaikan, maka ia wajib menuntut
ilmu lahir dan bathin. Pada saat itu para ulama masih memiliki hati
yang baik, belum memiliki keinginan buruk, masih menahan diri dari
makan dan tidur.)

Sang Prabu Brawijaya kagungan panggalih, para ngulama sarake Buddha,
kok nganggo sêsêbutan Sunan, lakune isih padha cêgah mangan, cêgah
turu. Yen sarak rasul, sirik cêgah mangan turu, mung nuruti rasaning
lesan lan awak. Yen cêgah mangan rusak, Prabu Brawijaya uga banjur
paring idi. Suwe-suwe agama Rasul saya sumêbar.

(Sang Prabu Brawijaya jadi jatuh hati, para ulama itu dikiranya
Buddha, tetapi kok disebut Sunan. Tingkah laku mereka masih menahan
diri dari makan dan tidur. Apabila mengikuti rasul, maka mereka
[seharusnya] bukan menahan diri dari makan dan tidur, melainkan hanya
menuruti hawa nafsu keinginan. Tatkala kebiasaan menahan diri dari
makan dan tidur telah rusak, tetapi Prabu Brawijaya telah terlanjur
memberikan angin. Makin lama agama rasul makin menyebar.)

Ing wêktu iku ana nalar kang aneh, ora kêna dikawruhi sarana netra
karna sarta lesan, wêtune saka engêtan, jroning utêk iku yen diwarahi
budi nyambut gawe, kang maca lan kang krungu nganggêp têmên lan ora,
iya kudu ditimbang ing sabênêre, saiki isih ana wujuding patilasane,
isih kêna dinyatakake, mula saka pangiraku iya nyata.

(Pada saat itu ada peristiwa-peristiwa yang aneh yang tidak masuk
akal. Peristiwa-peristiwa tersebut diketahui dari ingatan semata.
Apabila membaca atau mendengar, maka perlu dipertimbangkan benar dan
tidaknya. Tetapi karena sampai sekarang masih ada peninggalannya,
maka menurut pendapatku hal tersebut benar-benar terjadi.)

Dhek nalika samana Sunan Benang sumêdya tindak marang Kadhiri, kang
ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing tanah
Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan Benang
sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali banjur niti-
niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi.

(Pada saat itu Sunan Benang bersiap-siap untuk mengunjungi Kediri,
yang mengantarnya hanya dua orang sahabat. Ketika tiba di utara
Kediri, yaitu di tanah Kertasana, mereka terhalang oleh air. Sungai
Brantas saat itu kebetulan sedang banjir. Sunan Benang dan dua orang
sahabatnya sama-sama menyeberang, dan ketika telah tiba di seberang
ia mencari tahu apakah orang di sana telah beragama Islam, ataukah
masih menganut agama Budi.)

Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung
sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono
akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung
dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan
mangan enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah. Sunan Benang
ngandika: "Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku
ora irêng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah".

(Menurut Ki Bandar, orang di sana agamanya Kalang, bukan Buddha namun
mirip, sedangkan agama Rasul masih sedikit sekali tersebarnya. Orang
di sana yang sebagian besar beragama Kalang memuliakan Bandung
Bandawasa. Bandung dianggap nabi mereka. Pada saat hari perayaan
keagamaan mereka bersama-sama makan enak dan bersenang-senang di
rumah. Sunan Benang berkata, "Jika begitu maka orang di sini sama-
sama beragama Gedhah, Gedhah itu tidak hitam ataupun putih. Tempat
ini pantas disebut Kutha Gedhah.")

Ki Bandar matur: "Dhawuh pangandika panjênêngan, kula ingkang
nêkseni". Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng Kutha Gêdhah,
nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang mangkono
mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.

(Ki Bandar menjawab, "Baik, yang mulia, saya yang menjadi saksi."
Tempat di bagian utara Kediri namanya mulai sekarang adalah Kutha
Gedhah." Hingga saat ini masih disebut dengan Kutha Gedhah, tetapi
orang jarang mengetahui asal mula nama tersebut.)

Sunan Benang ngandika marang sakabate: "Kowe goleka banyu imbon
mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen
diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu,
arêp salat".

(Sunan Benang berkata pada sahabatnya, "Carilah air minum di desa,
sungai masih banjir dan airnya keruh. Jika diminum maka akan
menyebabkan sakit perut. Selain itu sudah waktunya salat Lohor. Saya
mau wudhu untuk salat")

Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu, têkan
ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang, kang ana
mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing wêktu iku
lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: "mBok Nganten, kula
nêdha toya imbon bêning rêsik". mBok Prawan kaget krungu swarane wong
lanang, barêng noleh wêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan
salah cipta, pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang
dheweke, mula ênggone mangsuli nganggo têmbung saru: "nDika mêntas
liwat kali têka ngangge ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên
entên carane wong ngimbu banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bêning,
yen sampeyan ajêng ngombe".

(Salah seorang sahabatnya lalu pergi ke desa mencari air minum. Ia
sampai di desa Pathuk dan menjumpai rumah yang nampaknya tidak ada
prianya. Yang ada hanya seorang gadis perawan menjelang dewasa,
dimana saat itu ia sedang menenun. Sahabat Sunan Benang mendekat
serta berkata perlahan, "Mbok Nganten (panggilan terhadap wanita
dalam bahasa Jawa), saya minta air minum yang bening dan bersih."
Gadis perawan itu terkejut mendengar suara pria, ketika menoleh ia
melihat seorang pria yang nampaknya mirip santri. Gadis perawan
tersebut salah sangka, ia mengira orang tersebut ingin menggodanya,
maka dijawabnya dengan perkataan kotor, "Anda menyeberang sungai
datang kemari untuk minta air minum. Di sini tidak ada air minum,
selain air kencing saya yang bening, jika Anda ingin meminumnya.")

Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit lakune
dirikatake sarta garundêlan turut dalan, satêkane ngarsane Sunan
Benang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu. Sunan Benang
mirêng ature sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu pangandikane
nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang banyu, prawane aja
laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen durung dadi jaka
tuwa, barêng kêna dayaning pangandika mau, ing sanalika kali Brantas
iline dadi cilik, iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas desa alas
sawah lan patêgalan, akeh desa kang padha rusak, awit katrajang
ilining banyu kali kang ngalih iline, kali kang maune iline gêdhe
sanalika dadi asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang
banyu, jaka lan prawane iya nganti kasep ênggone omah-omah. Sunan
Benang têrus tindak mênyang Kadhiri.

(Sang santri yang mendengar ucapan kotor itu pergi tanpa pamit dan
jalannya dicepat-cepatkan. Ia menggerutu dalam hati dan menceritakan
pengalamannya di hadapan Sunan Bonang. Ketika mendengar hal itu Sunan
Bonang marah sekali, ia kemudian mengucapkan sumpah serapah pada
warga desa tersebut. Tempat itu dikutuk agar susah mendapatkan air,
para gadisnya akan terlambat menikah dan demikian pula kaum
perjakanya. Sesudah kutukan tersebut diucapkan aliran Sungai Brantas
menjadi kecil. Aliran sungai yang pada mulanya besar itu menyimpang
dan membanjiri desa, sawah, dan ladang. Banyak desa yang rusak karena
diterjang aliran sungai yang berpindah alirannya. Sungai yang pada
mulanya deras alirannya itu menjadi surut. Hingga saat ini tempat
tersebut menjadi susah air serta gadis dan perjakannya terlambat
menikah. Sunan Benang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.)

Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku dhêmit ing
sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen ana
wong arane Sunan Benang, gawene nyikara marang para lêlêmbut, ngêndêl-
êndêlake kaprawirane, kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat
sanalika, iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh
desa, alas, sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka
panggawene

(Pada waktu itu ada seorang makhluk halus bernama Nyai Plencing,
yakni makhluk halus yang berdiam di sumur Tanjungtani. Anak cucunya
para berkeluh kesah padanya, mereka melaporkan tindakan orang bernama
Sunan Benang yang kegemarannya menyiksa para makhluk halus serta
memamerkan kesaktiannya. Sungai yang mengalir di Kediri dijadikan
surut airnya serta berpindah alirannya ke arah lain yang tidak
seharusnya. Sehingga banyak desa, hutan, sawah, dan ladang yang
rusak. Semua itu akibat ulah Sunan Bonang.)

Sunan Benang, kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya
kasep ênggone omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta
diêlih jênênge tanah aran Kutha Gêdhah, Sunan Benang dhêmêne salah
gawe. Anak putune Nyai Plêncing padha ngajak supaya Nyai Plêncing
gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Benang, bisaa tumêka ing pati,
dadi ora tansah ganggu gawe. Nyai Plêncing krungu wadule anak putune
mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Benang, nanging
dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Benang, amarga rasane awake
padha panas bangêt kaya diobong.

(Sunan Bonang juga mengutuk orang di sana, gadis dan perjaka akan
terlambat kimpoi. Sunan Benang itu kegemarannya bertindak salah. Anak
cucu Nyai Plencing bersama-sama memohon Nyai Plencing agar bersedia
menyantet Sunan Benang sampai mati dan tidak menganggu mereka lagi.
Nyai Plencing yang mendengar keluh kesan anak cucunya itu, segera
pergi menjumpai Sunan Benang. Tetapi makhluk-makhluk halus tersebut
tidak dapat mendekati Sunan Benang, karena tubuh mereka serasa panas
terbakar.)

Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri, satêkane ing
Kadhiri, matur marang ratune, ngaturake kahanane kabeh. ratune
manggon ing Selabale. (6) Jênênge Buta Locaya, dene Selabale iku
dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya,
maune jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai daha
iki cikal-bakal ing Kadhiri, barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai
Daha dipundhut kanggo jênênge nagara, dheweke diparingi Buta Locaya,
sarta banjur didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.

(Makhluk-makhluk halus itu lalu lari ke Kediri. Ketika tiba di sana
mereka melaporkan pada rajanya segala hal yang mereka alami. Raja
makhluk halus itu berdiam di Selabale, namanya adalah Buta Locaya.
Selabale itu letaknya ada di kaki gunung Wilis. Buta Locaya itu
adalah patih Sri Jayabaya, dulu namanya adalah kyai Daha dan memiliki
adik bernama Kyai Daka. Kyai Daha itu asal usulnya ada di Kediri.
Pada saat Sri Jayabaya tiba di sana, nama Kyai Daha itu dijadikan
nama negara dan ia kemudian diberi nama Buta Locaya dan dijadikan
patih oleh Sang Prabu Jayabaya.)

Buta iku têgêse: butêng utawa bodho, Lo têgêse kowe, caya têgêse:
kêna dipracaya, kiyai Buta Locaya iku bodho, nanging têmên mantêp
sêtya ing Gusti, mulane didadekake patih. Wiwite ana sêbutan kiyai,
iya iku kiyai daha lan kiyai Daka, kiyai têgêse: ngayahi anak putune
sarta wong-wong ing kanan keringe.

(Buta itu artinya buteng atau bodoh, Lo itu artinya kamu, caya
artinya bisa dipercaya. Sehingga Kyai Buta Locaya itu artinya bodoh,
tetapi kawan yang setia dan patuh pada pimpinannya. Oleh karena itu
ia dijadikan patih. Yang pertama kali bergelar kyai adalah Kyai Daha
dan Kyai Daka. Kyai itu artinya mengayomi anak cucu dan orang-orang
yang berada di kanan-kirinya.)

Jêngkare Sri Narendra anjujug ing omahe kiyai Daka, ana ing kono Sang
Prabu sawadya-balane disugata, mula sang Prabu asih bangêt marang
kiyai Daka, jênênge kiyai Daka dipundhut kanggo jênêng desa, dene
kiyai Daka banjur diparingi jênêng kiyai Tunggulwulung, sarta dadi
senapatining pêrang.

(Sang raja lalu menuju ke rumah Kyai Daka. Di sana Sang Prabu
Jayabaya beserta seluruh pengikut dan pengawalnya disambut dengan
meriah, sehingga sang raja sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka
dijadikan nama desa dan selain itu ia diberi gelar Kyai Tunggulwulung
serta diangkat menjadi panglima perang.)





LomX23 Feb 2008

Sumber: Darmagandhul | IndoForum http://www.indoforum.top/threads/darmagandhul.32749/#ixzz3pCL5eJ17 
Hak Cipta: www.indoforum.top