Kamis, 15 Desember 2016

MBAH MUQOYYIM

Mbah Muqoyyim, Kiai Rakyat Pendiri Buntet Pesantren

Written by Admin.

Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren menggelar bedah buku Sang Kyai Rakyat karya Bintang Irianto. Kegiatan tersebut dilaksanakan

dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional dan Hari Pahlawan.

Bedah buku yang digelar di aula MANU Putra pada Sabtu (12/11) menghadirkan penulisnya dan pemerhati sejarah Buntet H Farid Wajdi sebagai pembandingnya. Kegiatan ini dipandu guru bahasa Arab MANU Putra, R. M. Zidni Ilman.

Buku tersebut berkisah tentang perjalanan hidup Mbah Muqoyyim, pendiri Pondok Buntet Pesantren. Dia merupakan cucu dari Ki Lebeh Mangku Negara Warbita yang merupakan santri Sultan Demak Abdul Fatah. Ki Lebeh juga pernah nyantri ke Sunan Ampel, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.

Ki Lebeh memiliki anak bernama Abdul Hadi dari pernikahannya dengan Nyi Gede Kerangkeng. Abdul Hadi yang disebut juga Anjasmara ini menikah dengan Anjasmani dan lahirlah Muqoyyim kecil.

Mbah Muqoyyim menggantikan ayahnya Abdul Hadi sebagai kadi di Keraton Kanoman. Namun pada akhirnya, ia keluar, meletakkan jabatannya karena VOC sudah mempengaruhi kebijakannya.

“Kiai Muqoyyim meletakkan jabatannya sebagai kadi dan keluar dari Keraton Kanoman dikarenakan VOC sudah mengubah dan mengganggu kebijakan-kebijakan keagamaan dan tradisi dengan menggunakan aturan-aturan mereka,” tulis Bintang dalam makalahnya.

Dari situlah, Mbah Muqoyyim kemudian mendirikan Pondok Buntet Pesantren pertama kali di Cimarati, Dawuhan Sela, Desa Buntet, sekitar 500 Meter dari Buntet Pesantren saat ini. Tak berapa lama, banyak orang berdatangan untuk mengaji berbagai ilmu ke Mbah Muqoyyim. Namun pesantrennya itu diketahui oleh Belanda.

Khawatir akan mengobarkan pemberontakan, Belanda pun menyerangnya. Tiba di pesantren, Belanda tak mendapati siapa pun di sana. Mbah Muqoyyim dan seluruh santrinya sudah mengetahui rencana penyerangan tersebut sehingga Mbah Muqoyyim berkelana lagi. Pesantren yang sudah tak berpenghuni itu lalu dibakar oleh Belanda.

Seusai berkelana ke berbagai daerah, yakni Tuk Cirebon, Pemalang, dan Aceh, Mbah Muqoyyim kembali lagi ke Buntet atas permintaan tamu dari kesultanan Cirebon untuk mengatasi penyakit yang mewabah di Cirebon. Mbah Muqoyyim mengajukan dua syarat untuk itu, yakni dipulangkannya kembali Pangeran Kanoman dan penguasa mendirikan masjid di wilayah Cirebon.

Dua syarat itu langsung dikabulkan Belanda. Akhirnya, ia kembali ke Buntet dan merintis kembali pesantren yang sempat ditinggalkannya selama beberapa tahun.

Para peserta sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya pertanyaan yang mengalir ke moderator. (Syakir Niamillah/Abdullah Alawi)

Selasa, 13 Desember 2016

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat: Puncak Ilmu Jawa

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat: Puncak Ilmu Jawa

Wahai saudaraku. Melanjutkan tulisan sebelumnya yang membahas tentang kebatinan Jawa, maka kali ini kita akan membahas puncak dari keilmuan Jawa tersebut. Nama dari ilmu itu adalah Sastra Jendra Hayuningrat. Satu ilmu yang menjelaskan tentang rahasia alam semesta, yang tidak bisa diketahui oleh sembarang makhluk, baik di daratan, lautan maupun angkasa raya.

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini sesungguhnya berasal dari Tuhan yang isinya merupakan wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Ilmu ini juga merupakan rahasia dari agama dan dapat menyelamatkan siapapun (manusia dan alam semesta) dari berbagai marabahaya. Lalu dari sudut pandang bahasa, maka kata Sastra Jendra Hayuningrat itu berasal dari kata “Sastra” berarti tulis, ilmu atau kitab, “Jendra” yang berarti milik raja atau diidentikan dengan Tuhan, dan “Hayuningrat” yang berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sehingga dari kata-kata itu maka bisa disimpulkan bahwa Sastra Jendra Hayuningratitu berarti ilmu dari Tuhan yang berguna untuk keselamatan manusia dan alam semesta.

Dari sudut pandang kebatinan Jawa, maka makna dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini di tuangkan dalam berbagai falsafah. Di antaranya:

1. Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah (ilmu rahasia dunia atau alam semesta yang dirahasiakan atau berasal dari Tuhan Yang Maha Esa).
2. Pangruwating barang sakalir (dapat membebaskan dan menyelamatkan segala sesuatu).
3. Kawruh tan wonten malih (tiada ilmu pengetahuan lain lagi yang dapat dicapai oleh manusia).
4. Pungkas-pungkasaning kawruh (ujung dari segala ilmu pengetahuan atau setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi).
5. Sastradi (ilmu yang luhur).

Jadi, ilmu Sastra Jendra Hayuningrat atau lebih lengkapnya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah ilmu yang menjadi kunci bagi seseorang untuk dapat memahami isi dari indraloka – pusat tubuh manusia – yang berada di dalam rongga dada, yaitu pintu gerbang atau kunci rasa sejati yang bersifat gaib. Maka dari itu, ilmu Sastra Jendera Hayuningrat ini adalah sebagai sarana “pemusnah” segala bahaya. Sebab segalanya sudah tercakup di dalam ilmu Sastra Utama ini, puncak dari segala macam ilmu.

Ya. Dahulu kala, saat raksasa atau segala hewan seisi hutan mengetahui arti dari Sastra Jendra, mereka akan terbebas dari segala petaka, sempurna kematiannya, sementara ruhnya pun akan berkumpul dengan ruh golongan manusia linuwih (mumpuni). Sementara manusia yang telah sempurna dalam menguasai ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini, apabila ia mati, maka ruhnya akan berkumpul dengan para dewa dan orang suci.

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat disebut juga dengan Sastra Cetho. Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, dan keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Karena itu, ilmu Sastra Jendraini disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya. Jadi, tugas dari Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ini ialah sebagai jalan atau cara untuk bisa mencapai kesempurnaan hidup yang sejati.

Wahai saudaraku. Dahulu, untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau perilaku khusus. Dalam hal ini berarti suksma, jiwa dan rahsa-nya juga harus bisa manunggal (menyatu). Adapun di antara caranya adalah sebagai berikut:

1. Ngrowot : Hanya makan sayuran tanpa garam atau gula dan cukup minum air putih.
2. Mutih : Hanya makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga, termasuk garam dan gula. Boleh minum air, itu pun harus terus dikurangi volumenya.
3. Sirik : Menjauhkan diri dari segala macam urusan keduniawian.
4. Ngebleng : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa) dan tidak tidur selama kurun waktu tertentu. Disini seseorang juga melakukan semedhi (meditasi)
5. Patigeni : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa), di tambah dengan tidak tidur dan tidak terkena cahaya (api, matahari) dalam kurun waktu tertentu. Lalu selama melakukan patigeni ini seseorang juga terus ber-semedhi (meditasi).
6. Tapa brata : Setelah ke lima laku tirakat di atas dijalani dengan tekun, selanjutnya seseorang baru akan siap melakukan tapa brata secara terus menerus tanpa makan, minum, dan bergerak di suatu tempat khusus – biasanya di alam bebas seperti goa, puncak gunung, hutan, dan air terjun. Pada saat semedhi itulah, jika ia berhasil seseorang akan mendapatkan ilham atau wisik goib.

Selain itu, ada beberapa hal yang juga harus dilakukan apabila seseorang ingin mencapai tataran hidup yang sempurna. Semuanya harus dilakukan dengan kerendahan hati dan penuh kesadaran, alias tanpa ada paksaan atau karena ajakan seseorang. Adapun di antara yaitu:

1. Tapaning jasad
Sikap ini berarti mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Disini seseorang seharusnya jangan merasa iri, dengki, sakit hati atau menaruh dendam kepada siapapun. Segala sesuatu itu, baik ataupun buruk, harus bisa diterima dengan kesungguhan hati dan sikap yang ikhlas.

2. Tapaning hawa nafsu
Sikap ini berarti mengendalikan hawa nafsu atau sifat angkara murka yang ada di dalam diri pribadi. Pada tahap ini seseorang itu hendaknya selalu bersikap sabar, ikhlas, murah hati, berperasaan mendalam (tenggang rasa, welas asih), suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ia juga sudah bisa memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta berada dalam kewaspadaan (hening).

3. Tapaning budi
Sikap ini berarti selalu mengingkari perbuatan yang hina, tercela dan segala hal yang bersifat tidak jujur (munafik). Pada tahap ini, seseorang itu harusnya sudah berbudi pekerti yang luhur, memiliki sopan santun, sikap rendah hati dan tidak sombong, tidak pamer dan pamrih, serta selalu berusaha untuk bisa berbuat baik kepada siapapun.

4. Tapaning suksma
Sikap ini berarti memenangkan jiwanya. Jadi pada tahapan ini hendaknya kedermawanan seseorang itu diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan khusus, sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi siapapun. Singkat kata, ia tidak lagi pernah menyinggung perasaan orang lain.

5. Tapaning cahyo
Sikap ini berarti seseorang itu selalu eling lan waspodho (ingat dan waspada) serta mempunyai daya meramal/memprediksikan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk, karena keadaan cemerlanglah yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar (tidak jelas) dan saru (tidak baik, tidak sopan, tidak tepat, tercela) menjadi jelas. Lagi pula setiap kegiatannya harus selalu ditujukan untuk kebahagiaan dan keselamatan umum. Jauh dari urusan materi duniawi.

6. Tapaning gesang
Sikap ini berarti selalu berusaha sekuat tenaga dan hati-hati untuk bisa menuju pada kesempurnaan hidup. Hal ini bisa terjadi, ketika seseorang sudah melalui ke lima jenis tapa sebelumnya. Dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa disini adalah yang paling utama, mengingat hanya dari Tuhanlah kebenaran yang mutlak itu berasal.

Wahai saudaraku. Di karenakan jalan atau cara dalam menguasai ilmu Sastra Jendra ini berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi, maka ilmu ini juga dinamakan sebagai “Benih seluruh alam semesta”. Itu terjadi karena ilmu puncak ini bisa dibilang juga sebagai kunci untuk dapat memahami isi dari Rasa Sejati. Dimana untuk bisa mencapainya, maka diperlukan sesuatu yang luhur dan perbuatan yang mutlak sesuai dengan kebenaran Tuhan. Silahkan juga baca artikel berikut: Proses penciptaan dalam kebatinan jawa dan Keseimbangan diri manusia dan pengaruhnya terhadap bencana alam dan perang kosmik.

Ya. Rasa Sejati itu melambangkan jiwa atau badan halus ataupun nafsu sifat di setiap manusia, yaitu keinginan, kecenderungan, dorongan hati yang kuat ke arah yang baik maupun yang buruk atau jahat. Di antara nafsu sifat itu ialah; Lauwamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya suatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan, korupsi dan lain sebagainya. Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya), dimana sifat ini akan selalu menghalang-halangi tindakan yang tidak baik.

1. Kisah turunnya ilmu Sastra Jendra Hayuningrat kepada manusia
Dahulu kala, tersebutlah seorang manusia pilihan yang bernama Wisrawa. Sosok ini menjadi lambang guru yang memberikan wejangan ngelmu Sastra Jendra kepada umat manusia. Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai makhluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerimanya sebagai isteri. Lalu Bhatari Uma di sumpah (di kutuk) menjadi raksesi oleh Bhatara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Bhatari Uma dengan Bhatara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “Bhatara Kala“ (kala berarti keburukan atau kejahatan).

Melalui ilmu Sastra Jendra ini, maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki oleh manusia akan diubah menjadi sifat-sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian makhluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran Diri-Nya. Filosof Timur Tengah seperti Al-Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari zat hara dan berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya, namun manusia memiliki sifat-sifat yang mampu menjadi khalifah (pemimpin di dunia).

Itulah keunggulan dari ilmu Santra Jendar ini. Namun oleh para dewata ilmu ini hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa, seorang satria berwatak resi yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna. Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga mereka memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Selain itu Wisrawa adalah sosok yang juga memiliki sifat yang mampu membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan gemar berbagi ilmu dengan cara yang bijak. Sebelum “madeg pandito“ (menjadi seorang resi), Wisrawa telah lengser keprabon dan menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya yang bernama Danaraja. Sejak itu sang resi gemar bertapa untuk bisa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi. Kebiasaan ini membuat Wisrawa tidak saja dicintai oleh manusia namun juga para dewata.

Begawan Wisrawa ini bukan orang sembarangan. Ia keturunan orang-orang hebat, bahkan sebenarnya masih ada hubungan langsung dengan Bhatara Guru, raja para dewa di kahyangan. Karena itulah, tidak heran jika ia bisa mendapatkan anugerah ilmu Sastra Jendra Hayuningrat yang luar biasa itu. Berikut ini silsilah keluarganya:

Kisah pun berlanjut. Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah ilmu Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Bhatara Guru, raja para dewa di Kahyangan. “Duh sang Bhatara agung, kalau boleh kami mengetahuinya, siapa yang akan menerima Sastra Jendra?” Bhatara guru menjawab: “Pilihanku adalah anak kita Wisrawa“. Serentak para dewata bertanya: “Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya? Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua?” Kemudian sebagian dewata juga berkata: “Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia?“.

Seolah menegur para dewata, sang Bhatara menjawab; “Hee para dewa, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan kepada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah?“. Serentak para dewata menunduk malu dan berkata; “Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Setelah itu, Bhatara Guru turun ke mayapada (Bumi) dan didampingi Bhatara Narada untuk memberikan serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

Sebelum memberikannya, sang Bhatara berkata: “Anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan untuk memberikan amanah Serat Sastra Jendra ini kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”. Mendengar hal itu, menangislah sang Begawan. Ia pun berkata: “Ampun sang Bhatara Agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini“. Yang di balas oleh Bhatara Narada dengan mengatakan: “Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu itu ada tiga. Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata, karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik“. Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata itu kembali ke khayangan.

Setelah menerima anugerah Sastra Jendra, maka sejak saat itu berbondong-bondonglah orang dari seluruh satria, pendeta, dan cerdik pandai mendatangi sang begawan untuk minta diberi wejangan tentang ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa untuk melamar sebagai cantrik disana. Tujuannya tentu untuk bisa mendapatkan ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa, karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para brahmana, sarjana, dan satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih saja yang mampu menerima ajaran itu.

Demikianlah pemaparan singkat tentang kisah turunnya ilmu Sastra Jendra Hayuningratkepada manusia, dalam hal ini Begawan Wisrawa. Ini adalah puncak ilmu Jawa yang adi luhung, tidak bersifat primordial karena bersifat universal. Ia juga berlaku bagi seluruh makhluk yang hidup di dunia ini sampai kapanpun.

2. Bencana akibat menyalahgunakan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat
Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke-19 atau tepatnya tahun 1820. Naskah itu dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan dalam kitab itu diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26 yang berbunyi:

“Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya, karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Hayuingrat itu adalah pangruwat segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, dan sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada di hutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Bhatara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra, maka nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia”

Jadi, ajaran “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik dan angker gaib kalau salah digunakan, bisa mendapat malapetaka yang besar. Dan konon diceritakan bahwa ilmu Sastra Jendra ini pernah dijabarkan oleh Begawan Wisrawa. Saat itu, karena ingin membahagiakan anaknya ia terpaksa mengikuti sebuah sayembara di kerajaan Alengka, yang ketika itu dipimpin oleh Prabu Sumali. Sayembara tersebut untuk bisa meminang seorang putri yang bernama Dewi Sukesi. Dalam sayembara itu diputuskan bahwa siapapun akan menikah dengan sang putri asalkan ia mampu mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti. Selain itu, ia juga harus bisa pula menjabarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu secara lengkap.

Singkat cerita, ilmu Sastra Jendra ini tidak bisa sembarang dijabarkan, ia harus disampaikan secara rahasia kepada seorang saja, yang dalam hal ini adalah Dewi Sukesi sendiri. Tapi sebelum wejangan ilmu Sastra Jendra mulai diajarkan kepada Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa memberikan sekilas penjelasan tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali. Begawan Wisrawa berkata lembut; “Bahwa seyogyanya tak usah terburu-buru, kehendak Sang Prabu Sumali pasti terlaksana. Jika dengan sesungguhnya menghendaki keutamaan dan ingin mengetahui arti Sastra Jendra, maka ajaran ilmu Sastra Jendra itu adalah barang siapa yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung di dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak (nafsu-nafsu) diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur di bawah pimpinan kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu, yang bersifat buruk jahat dilenyapkan dan yang bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya itu di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur”.

Mendengar penjelasan itu, Prabu Sumali terperangah, hatinya menjadi sangat terpengaruh, tertegun dan dengan segera mempersilahkan Resi Wisrawa masuk ke dalam sanggar bersama Dewi Sukesi. Saat itu, wejangan dilakukan di dalam sanggarpemujaan, berduaan tanpa ada makhluk lain kecuali Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi saja.

Tapi, saat wejangan tersebut dimulai, para Dewa di Kahyangan marah terhadap Begawan Wisrawa yang berani mengungkapkan ilmu rahasia alam semesta yang selama ini merupakan ilmu yang di monopoli para dewa. Para Dewa sangat berkepentingan untuk tidak membeberkan ilmu itu ke manusia. Karena apabila hal itu terjadi, apalagi jika pada akhirnya manusia melaksanakannya, maka sempurnalah kehidupan manusia. Semua umat di dunia akan menjadi makhluk sempurna dimata Penciptanya. Dewata tidak dapat membiarkan hal itu terjadi, karena manusia harus tetap pada kodratnya, yaitu makhluk yang harus menjalankan tugas dan amanah dengan membuktikan kemampuan sejatinya, yaitu berjuang keras menerima ujian hidup. Maka digoncangkanlah oleh mereka seluruh penjuru dunia. Bumi terasa mendidih, dan alam pun terguncang-guncang. Prahara besar melanda seisi alam. Apapun mereka (para dewa) lakukan agar ilmu kesempurnaan itu tidak dapat di jabarkan terang-terangan. Ingat! Sebelumnya ilmu itu hanya diturunkan kepada Begawan Wisrawa dengan catatan untuk disebarkan hikmahnya saja, bukan perkalimat yang ada dalam seratnya. Itupun tidak bisa semuanya sekaligus kepada satu orang.

Semakin lama ajaran itu semakin meresap di tubuh Dewi Sukesi dan itu tidak bisa lagi dihindari. Karena itu, agar tidak terungkap di alam manusia, maka Bhatara Guru langsung turun tangan dan berusaha agar ilmu tersebut tetap menjadi rahasia para dewa. Sebagiannya saja boleh dimiliki oleh manusia.

Dengan niat tersebut, Bhatara Guru pun turun ke Bumi dan masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi. Dibuatnya Dewi Sukesi menjadi tergoda pada Resi Wisrawa. Dalam waktu singkat, Dewi Sukesi mulai tergoda untuk mendekati Wisrawa. Namun Wisrawa yang terus menguraikan ilmu itu tetap tidak berhenti. Bahkan kekuatan dari uraian itu menyebabkan Sang Bathara Guru terpental keluar dari raga Dewi Sukesi. Tetapi Bathara Guru tidak menyerah begitu saja. Dipanggilnya Dewi Uma yang merupakan permaisurinya untuk ikut turun ke Bumi. Bhatara Guru lalu masuk (menyatu raga) dalam tubuh Begawan Wisrawa, sedang Dewi Uma masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi.

Tepat pada waktu ilmu itu hendak selesai diwejangkan oleh Begawan Wisrawa, datanglah satu cobaan atau ujian hidup. Sang Bhatara Guru yang menyelundup masuk ke dalam tubuh sang Begawan dan Bhatari Uma yang ada di dalam tubuh Dewi Sukesi membangkitkan nafsu keduanya. Godaan saat itu demikian dahsyatnya. Membuat kedua insan manusia ini lalu terserang api asmara dan keduanya dirangsang oleh nafsu birahi. Dan rangsangan itu semakin lama semakin tinggi. Sehingga pada akhirnya, tembuslah tembok pertahanan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dan terjadilah hubungan badan yang nantinya akan membuahkan kandungan. Begawan Wisrawa lupa bahwa ia pada hakekatnya hanya berfungsi sebagai wakil dari anaknya saja. Dan akibat dari godaan tersebut, sebelum wejangan Sastra Jendra selesai, maka terjadilah hubungan intim terlarang antara Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Hal ini langsung merusak dan menodai kesucian dari ilmu Sastra Jendar Hayuningrat yang telah ia dapatkan.

Setelah berhasil menggagalkan untuk sempurnanya penjabaran ilmu Sastra Jendra, Bathara Guru dan Dewi Uma segera meninggalkan Bumi. Sadar akan segala perbuatannya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi menangis tersedu, menyesali yang telah terjadi. Namun segalanya sudah terjadi. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyugagal diselesaikan, bahkan ternodai perzinahan. Dan hasil dari segala uraian yang gagal diselesaikan itu adalah sebuah noda, aib dan cela yang akan menjadi malapetaka besar bagi dunia dikemudian hari. Tetapi apapun hasilnya harus dilalui. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi menjelaskan apa adanya kepada Prabu Sumali. Awalnya sang prabu sangat kecewa, tapi dengan arif ia bisa menerima kenyataan yang sudah terjadi. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi lalu dinikahkan, dan seluruh sayembara pun ditutup.

Jadi, dari kisah itu maka Begawan Wisrawa telah melanggar kesakralan ngelmu Sastra Jendra. Ia tidak kuat menahan nafsu syahwat kepada Dewi Sukesi. Dan akibat dari dosa-dosanya itu, maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni; Dasamuka/Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka. Sementara anak bungsunya kelak yang diberi nama Gunawan Wibisana lahir sempurna sebagai manusia. Itu bisa terjadi karena setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa melakukan penebusan dengan bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat kesungguhan tapa bratanya itu, maka lahir anak kedua, ketiga dan ke empat yang semakin sempurna. Laku hidup Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya itu, akhirnya menghasilkan anak-anak yang semakin sempurna dan menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yang tidak mudah, yakni Syariat, Tarikat, Hakekat, dan Makrifat.

Lebih jelasnya, ke empat anak Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda dan unik. Di antaranya:

1. Rahwana/Dasamuka (raksasa). Ia mempunyai perangai yang jahat, bengis, serakah dan angkara murka ini sebagai simbol dari nafsu lauwamah.

2. Sarpakenaka (raksasa wanita setengah manusia). Ia memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, senang mengumbar syahwat, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.

3. Kumbakarna (raksasa). Ia mempunyai karakter raksasa yakni bodoh tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka yang serakah. Kumbakarna menjadi lambang dari nafsu amarah.

4. Gunawan Wibisana (manusia seutuhnya). Ia mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia selalu berpegang pada kebenaran dan rela meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah. Ia lalu mengabdi kepada Sri Rama untuk membela kebenaran. Karena itulah, ia pun menjadi perlambang dari nafsu mutmainah (nafsu yang baik).

Sementara itu, dari sifat-sifat anak Begawan Wisrawa di atas, maka kita pun diingatkan bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tatarannya. Yaitu:

1. Syariat : dalam falsafah Jawa syariat ini memiliki makna yang sepadan dengan Sembah Raga.
2. Tarikat : dimaknai sebagai Sembah Kalbu.
3. Hakikat : dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4. Makrifat : dalam falsafah Jawa makrifat ini merupakan tataran yang tertinggi karena sebagai Sembah Rasa atau sir (sirullah).

3. Lahirnya Rahwana (biang kehancuran dunia)
Berbulan-bulan di Lokapala, Prabu Danaraja menunggu datangnya sang ayah yang diharapkan membawa kabar bahagia. Ia telah mendengar kabar bahwa sayembara Dewi Sukesi telah berhasil dimenangkan oleh ayahnya. Sampai suatu saat Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi sampai di Lokapala. Dengan sukacita Danaraja menyambut keduanya. Namun Wisrawa datang dengan wajah yang kuyu dan kecantikan sang dewi yang diagung-agungkan banyak orang itu tampak pudar. Melihat itu Danaraja merasa tak nyaman, kemudian bertanya pada ayahnya. Di depan istri dan putranya, Wisrawa menceritakan semua kejadian yang dialaminya dan secara terus terang mengakui segala dosa dan kesalahannya. Namun kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang amat teramat fatal dimata Danaraja. Mendengar penuturan ayahnya, Prabu Danaraja menjadi sangat kecewa dan marah besar. Danaraja tidak dapat mempercayai bahwa ayahnya itu tega melukai hati putra kandungnya sendiri. Kemarahan itu sudah tak terbendung. Danaraja lalu mengusir kedua suami-istri tersebut keluar dari negara Lokapala. Akhirnya dengan penuh duka, sepasang suami istri itu kembali ke negara Alengka.

Dalam perjalanan kembali menuju Alengka, Dewi Sukesi yang sudah mulai hamil itu tidak dapat berbuat banyak. Tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga tampak kuyu dan pucat. Setelah berbulan-bulan menempuh perjalanan yang melelahkan, tiba saatnya untuk melahirkan. Di tengah hutan belantara, Dewi Sukesi tak kuasa lagi menahan lahirnya sang bayi. Akhirnya lahirlah jabang bayi itu dalam bentuk gumpalan daging, darah dan kuku. Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa sangat terkejut. Gumpalan itu bergerak keluar dari rahim sang ibu menuju ke dalam hutan. Kesalahan fatal dari dua orang manusia itu menyebabkan takdir yang demikian buruk terjadi. Gumpalan darah itu bergerak dan akhirnya menjelma menjadi seorang putra bayi laki-laki raksasa sebesar bukit. Tapi untunglah akhirnya ia bisa mengecilkan tubuhnya seukuran manusia biasa.

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya dapat berserah diri sepenuhnya pada kehendak Sang Penguasa Alam. Anak pertamanya itu lahir ditengah hutan diiringi lolongan serigala dan raungan anjing liar, auman harimau dan kerasnya teriakan burung gagak. Suasana yang demikian mencekam mengiringi kelahiran bayi yang kemudian diberi nama Rahwana. Dengan kepasrahan yang mendalam, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi membawa anaknya itu ke Alengka. Tiba di Alengka, Prabu Sumali menyambut mereka dengan duka yang sangat dalam. Kesedihan itu membuat Sang Prabu raksasa yang baik hati ini menerima mereka dengan segala keadaan yang ada. Di Alengka Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi membesarkan anak mereka itu dengan setulus hati dan rasa cinta.

Singkat cerita, satu persatu anak Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi pun lahir. Mereka melahirkan tiga anak lagi. Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh menjadi raksasa dan raksesi beringas, penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana pun tampak semakin perkasa dan menonjol di antara kedua adik-adiknya. Kelakuannya pun kasar dan biadab. Demikian juga dengan Sarpakenaka yang makin hari semakin menjelma sebagai raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sarpakenaka selalu mencari pria, siapa saja, dalam bentuk apa saja untuk dijadikan pemuas nafsunya. Sebaliknya Kumbakarna tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, tiga sampai empat kali lipat dari tubuh raksasa lainnya. Tapi berbeda dengan kedua saudaranya, ia justru memiliki sifat dan pribadi yang baik. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun tercermin sifat dan watak raksasa yang serakah, kasar dan suka mengumbar nafsunya, pada diri Kumbakarna.

Menyaksikan hal itu, perasaan gundah dan sedih menggelayut relung hati Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ketiga putranya lahir dalam wujud raksasa dan raksesi. Kini Dewi Sukesi mulai mengandung putranya yang ke empat. Akankah putranya ini juga akan lahir dalam wujud rasaksa atau rakseksi?

Sadar akan kesalahannya yang selama ini terkungkung oleh nafsu kepuasan, Begawan Wisrawa mengajak Dewi Sukesi, lalu ber-semedhi, memohon pengampunan kepada Sang Maha Pencipta, serta memohon agar dianugerahi seorang putra yang tampan, setampan Wisrawana/Danaraja, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati yang kini menduduki tahta kerajaan Lokapala. Sebagai seorang brahmana yang ilmunya telah mencapai tingkat kesempurnaan, Begawan Wisrawa mencoba membimbing Dewi Sukesi untuk melakukan semedhi dengan benar agar doa pemujaannya diterima oleh Tuhan. Berkat ketekunan dan kekhusukkannya ber-semedhi, doa permohonan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi pun diterima oleh Tuhan. Setelah bermusyawarah dengan para dewa, Bhatara Guru kemudian meminta kesediaan Resi Wisnu Anjali, sahabat karib Bhatara Wisnu, untuk turun ke marcapada (dunia) dan menitis pada jabang bayi dalam kandungan Dewi Sukesi.

Dengan menitisnya Resi Wisnu Anjali, maka lahirlah dari kandungan Dewi Sukesi seorang bayi laki-laki yang berwajah sangat tampan. Dari dahinya memancar cahaya keputihan dan sinar matanya sangat jernih. Sebagai seorang brahmana yang sudah mencapai tatanan kesempurnaan, Begawan Wisrawa dapat membaca tanda-tanda tersebut, bahwa putra bungsunya itu kelak akan menjadi seorang satria yang cendekiawan serta berwatak arif bijaksana. Ia kelak akan menjadi seorang kesatria yang berwatak brahmana. Karena tanda-tanda tersebut, Begawan Wisrawa memberi nama putra bungsunya itu dengan nama Gunawan Wibisana. Dan karena wajahnya yang tampan dan budi pekertinya yang baik, Wibisana menjadi anak kesayangan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dengan ketiga saudaranya, hubungan yang sangat dekat hanyalah dengan Kumbakarna. Hal ini karena walaupun berwujud raksasa, Kumbakarna memiliki watak dan budi pekerti yang luhur, yang selalu berusaha mencari kesempurnaan hidup.

4. Akhir hidup yang tragis dari sang Begawan
Nun jauh di negara Lokapala, Prabu Danaraja masih memendam rasa amarah dan dendam yang sangat mendalam kepada ayahnya. Hingga detik itu, dia masih tidak dapat menerima perbuatan ayahnya yang dianggapnya telah mengkhianati dharma bhakti-nya sebagai anak. Sang Begawan sebagai ayah dianggapnya telah menyelewengkan bhakti seorang anak yang telah dengan tulus murni memberikan cinta dan kehormatan pada ayah kandungnya. Dan rasa itu benar-benar tak dapat ia tahan lagi, hingga suatu saat Prabu Danaraja mengambil sikap yang sudah tidak bisa ditawar. Prabu Danaraja lalu mengerahkan seluruh bala tentara kerajaan Lokapala untuk menyerang kerajaan Alengka. Ia memimpin pasukan besar dan berusaha untuk bisa membunuh ayahnya sendiri yang menurutnya sudah tidak memiliki kehormatan. Alengka dan Lokapala akhirnya bentrok dalam perang besar. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana, yang ditujukan hanya untuk membalaskan dendam seorang anak kepada ayahnya.

Melihat itu, Begawan Wisrawa tidak bisa tinggal diam. Dalam hati ia berkata; “Ribuan nyawa prajurit telah hilang demi seorang Brahmana tua yang telah penuh dengan dosa”. Wisrawa pun segera turun ke tengah pertempuran dan menghentikan semuanya. Kini ia berhadap-hadapan dengan Danaraja, anaknya sendiri. Dengan mata penuh dendam, Danaraja lalu mengibaskan pedangnya ke tubuh Begawan Wisrawa. Darah pun mengucur deras, sang Begawan roboh di tengah-tengah para prajurit kedua negara. Sang Begawan bisa saja menghindar, tapi ia rela dibunuh oleh anaknya itu. Dan karena olah batinnya yang kuat, ia pun sudah tahu bahwa sudah saatnya ia harus meninggalkan dunia ini.

Melihat Begawan Wisrawa tewas dalam peperangan melawan Prabu Danaraja, Dewi Sukesi berniat untuk balas dendam. Rahwana yang ingin menuntut balas atas kematian ayahnya, dicegah oleh Dewi Sukesi. Kepada ke empat putranya diyakinkan, bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Prabu Danaraja yang memiliki ilmu sakti yang bernama Rawarontek. Untuk dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Danaraja, terlebih dulu mereka harus pergi bertapa, mohon anugerah Tuhan agar diberikan kesaktian yang melebihi Prabu Danaraja.

Dan berangkatlah mereka melaksanakan perintah ibunya itu. Selanjutnya, memang benar dikemudian hari Rahwana dan ketiga saudaranya itu bisa mendapatkan ilmu yang luarbiasa. Bahkan Rahwana sendiri mendapatkan ilmu yang sangat sakti dari Bhatara Brahma. Dengan ilmu itu Rahwana seolah-olah tiada tandingannya di muka Bumi. Akibatnya, ia semakin sombong, berperilaku biadab, senang berperang dan merebut istri orang. Hingga pada akhirnya ia harus menerima balasan yang setimpal oleh Sri Rama karena telah menculik istrinya, yaitu Dewi Sinta. Pada saat itu, kerusakan telah terjadi dimana-mana. Sebagai bukti nyata akan adanya dampak buruk bila ilmu Sastra Jendra Hayuningrat disalah gunakan.

5. Kesimpulan
Sesungguhnya, inti dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat itu adalah untuk bisa menemukan dan menyatu kembali dengan Diri Sejati. Di antara cara yang bisa di lakukan adalah dengan melakoni tujuh tahapan tirakat hidup. Itu pun harus selalu dilakukan oleh seseorang, tanpa mengenal usia, kedudukan dan golongan. Dan yang tersebut di atas baru ada 6 tahapannya saja. Berarti masih ada satu tahapan lain yang belum disebutkan. Pertanyaannya adalah apakah tahapan yang terakhir itu?

Dari kisah Begawan Wisrawa di atas, maka bisa disimpulkan bahwa tahap terakhir yang di maksud adalah perbuatan kita itu sendiri selama hidup – disini berarti harus baik dan benar. Ini sebagai pembuktian rahasia alam jagad, dimana segala rasa ada disitu. Dan setiap orang itu harus selalu berpegang teguh pada kebenaran dan kepasrahan total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, keseimbangan dapat ditemukan bila manusia mampu memahami hakekat hidup dan keberadaannya di dunia ini. Menjalani segala aktivitas kehidupan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Menyadari bahwa hidupnya tidak berlangsung selamanya, sehingga harus dihiasi dengan kebaikan dan kemanfaatan. Pun, memahami bahwa tujuan akhir dari perjalanan hidup itu adalah kembali kepada Sang Pemilik Hidup untuk mempertanggungjawabkan segala tingkah polah semasa di dunia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sementara itu, kisah hidup Begawan Wisrawa adalah satu takdir yang ditetapkan oleh Tuhan agar menjadi pelajaran bagi siapapun, bahwa ilmu itu tidak cukup hanya sebatas dihapal saja, tetapi harus dipraktekkan dengan benar secara terus menerus. Tanpa hal itu, setinggi apapun ilmu yang dikuasai akan menjadi sia-sia. Seseorang harus tetap patuh pada aturan yang ada, jangan melanggar walaupun sedikit hanya demi mengikuti keinginan orang lain. Atau jangan pula mencoba-coba dan mendekati sesuatu yang kelak bisa mendatangkan malapetaka. Lebih baik menghindar saja dan tetap teguh dalam kebenaran.

Ya. Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah puncaknya ilmu Jawa. Karena disini secara lengkap ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu berarti wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau suksma sejati. Sehingga orang yang mendapatkan wejangan itu akan mendapat kesempurnaan, karena bisa menuntaskan ilmu Sedulur Papat Limo Pancer tingkat akhir.

Secara harfiah arti dari Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah berasal dari kata “Serat” yang berari ajaran, “Sastra Jendra” yang berarti ilmu mengenai raja, “Hayuningrat” yang berarti kedamaian, “Pangruwating” yang berarti memuliakan atau merubah menjadi baik, dan “Diyu” yang berarti raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan berarti harfiah raja, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia yaitu mampu menguasai hawa nafsu dan panca inderanya dari semua kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau mengubah keburukan menjadi kebaikan. Artinya; bahwa Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu disini adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk mengubah keburukan dan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastra Jendraadalah ilmu makrifat yang menekankantentang sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan semua orang.

Untuk itu, Suksma Sejati itu ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan. Suksma sendiri tak berbeda dengan saat kedatangannya waktu dahulu (dari alam kelanggengan/keabadian), menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, sehingga persatuan kawula (hamba) dan (Pencipta) bisa terjadi. Dan manusia itu bagaikan wayang, sedangkan Tuhan adalah Dalang yang memainkan segala gerak gerik lakon cerita dan berkuasa atas segalanya – antara perpaduan kehendak. Dunia ini merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan cerita kehidupan makhluk. Bila seseorang mempelajari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, berarti ia harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya. Selain itu, ia juga harus dapat menguraikan tentang sejatining urip (sejatinya hidup), sejatining Panembah (sejatinya pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga dengan “innalillahi wa inna illaihi rojiuun“, kembali ke sisi Tuhan dengan tata cara hidup yang layak. Dan semua itu untuk mencapai budi pekerti yang suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan dari Sang Guru Sejati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

6. Penutup
Ya. Dari semua uraian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa sasaran utama mengetahui ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu adalah untuk mencapai kesempurnaan diri menuju ke kesempurnaan Tuhan. Dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut dengan “Kasidaning Parasadya atau pati prasida“, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. Karena ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu seolah-olah bisa menjadi jalan tol dalam menuju kesejatian dan kesempurnaan.

Untuk itu, bagi mereka yang mengamalkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, ia dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” utama yang berisi rapalan mantra dari Tuhan. Dengan rapal atau mantra itu, orang akan memahami isi indraloka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan menemukan Diri Yang Sejati; Dzat Yang Maha Esa dan bersifat gaib. Karena manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya, dan setelah berhasil ia kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa itu. Ini diistilahkan sebagai wujud dari Jumbuhing kawulo Gusti (hubungan serasi hamba dan Tuhan) atau Manunggaling kawulo Gusti(manunggalnya hamba dan Tuhan). Dimana hal ini tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci (sebagai lambang Tuhan). Saat itu pula Bima bisa menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri, karena ia telah mengenali hakekat dari Tuhannya.

Itulah inti sari dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dimana ilmu ini adalah sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia. Karena ilmu yang diperoleh dari laku makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang bisa dicapai dengan akal. Karena itu, marilah kita berusaha untuk bisa mencapainya, atau setidaknya terus berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa demi keselamatan dunia dan akherat.

Catatan: Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, dan nilai yang bersifat metafisis dan universal dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.

Jambi, 15 Maret 2016

Proses Penciptaan Dalam Kebatinan Jawa

Proses Penciptaan Dalam Kebatinan Jawa

Anda mungkin sering melihat bahwa orang Jawa itu senang dengan kebatinan. Dalam kehidupan pribadi atau bermasyarakat, seolah-olah kebatinan ini tidak bisa dipisahkan dari mereka. Dan itu terjadi karena sesungguhnya bagi orang Jawa, kebatinan itu adalah laku atau usaha dengan melalui rasa dan hati yang bening, untuk bisa mengetahui urip sejati(kesejatian hidup). Laku batin tersebut dilandasi dengan perbuatan dan perilaku yang baik, budi pekerti yang luhur, hati yang suci bersih, dan dengan selalu manembah atau mendekatkan diri kepada Gusti; Tuhan.

Setiap pelaku kebatinan akan mengalami beberapa pengalaman, ada yang enak dan ada pula yang dirasa berat. Semua itu adalah bumbu-bumbu kehidupan dalam menapaki jalan Ilahi. Dan pengalaman puncak pelaku kebatinan/spiritualis adalah kenyataan bahwa dirinya sebagai kawulo (hamba) yang berada dalam hubungan yang serasi dengan Gusti(Tuhan). Istilah populernya adalah: Jumbuhing kawulo Gusti (hubungan serasi hamba dan Tuhan), Manunggaling kawulo Gusti(manunggalnya hamba dan Tuhan) dan Pamore kawulo Gusti (berpadunya hamba dan Tuhan). Yang intinya berarti seorang anak manusia itu telah berada di dalam kehidupan sejatinya dalam lindungan keagungan Tuhan.

Lalu bagaimana proses timbulnya kebatinan itu?

Timbulnya kebatinan sebenarnya adalah hal yang logis. Karena setelah manusia mendapat pengalaman saat menjalani kehidupan ini, ia lalu menemukan fakta bahwa hidup dan alam ini tidak hanya terdiri dari benda-benda dan zat-zat yang lahir saja. Selain yang lahir (yang kasat mata), ada juga hal-hal yang tidak terlihat oleh mata (goib) tetapi sebenarnya ada dan eksis. Jadi, selain ada yang kongkrit, maka ada pula yang abstrak dan diakui oleh siapapun, seperti pikiran, gagasan, batin, perasaan, dsb.

Ya. Sebelum sesuatu termanifestasi, maka ia berada dulu di dalam angan-angan atau pikiran, yaitu batin. Karenanya, kebatinan juga bisa diartikan sebagai usaha dalam menggali dan memahami asal mula dari segala sesuatu. Dan ketika seseorang bisa mengasah atau meningkatkan kemampuan batinnya, maka kesadarannya pada kebenaran akan lebih baik. Ia akan hidup pada tahapan yang lebih mulia.

Untuk itu saudaraku. Marilah kita mengasah kemampuan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita, yaitu kebatinan. Tentu untuk itu Anda harus sabar dan disiplin melatih diri, karena perangkat-perangkat itu sudah lama sekali tidak difungsikan. Dan kalau terbukanya terlalu cepat atau tiba-tiba, nanti Anda akan kaget dan bisa saja mengalami goncangan jiwa (sinting, gila). Karena pelaksanaan dan latihan tersebut hanya melibatkan dan berhubungan dengan diri Anda sendiri dan kalau beruntung akan diberkati oleh Tuhan.

Lalu, latihan mengolah batin ini bisa dilakukan sendiri atas dasar kemantapan hati yang pasrah total kepada Tuhan atau dengan petunjuk dan bimbingan seorang yang lebih senior dalam olah kebatinan, yang biasanya disebut Guru. Bimbingan Guru Laku tersebut untuk menghindari Anda dari beraneka macam gangguan dan hal-hal yang negatif, sehingga tidak keliru dalam tujuan sejatinya. Silahkan, Anda bebas menentukan pilihan. Yang penting Anda yakin bisa selalu berada dijalan yang hakiki (yang benar), yang menjadi hak Anda dan itu adalah jalan Ilahi.

Sebab, menjalani, mempelajari, melatih olah kebatinan atau spiritualitas itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan takhayul, klenik, makhluk-makhluk halus yang mendiami tempat-tempat angker, santet, syirik dan hal-hal semacam itu. Kebatinan adalah jalan yang mulia dan metode untuk menghayati kebenaran sejati, mengenali diri sejati, dan hidup sejati, sehingga hubungannya dengan Tuhan menjadi lebih serasi. Dalam bahasa Jawa ada pula yang menyebut keadaan seperti itu dengan istilah “Wis tinarbuko” yang berarti sudah pepadhang atau terbuka batinnya yang tinggi (sudah mendapat pencerahan).

1. Elmu dan ngelmu Jawa
Wahai saudaraku. Dalam tradisi kebatinan Jawa ada istilah elmu dan ngelmu. Sehingga untuk bisa lebih memahami tentang peradaban Jawa, maka siapapun harus terlebih dulu bisa memisahkan apa yang disebut dengan elmu dan ngelmu? Dan orang Jawa sejak dulu memang sudah memiliki pengertian yang lebih maju dari bangsa manapun di dunia ini, salah satunya tentang hal ini (elmudan ngelmu).

Bagi orang Jawa, elmu (ilmu, science) itu adalah hasil pikiran manusia, yang semakin lama semakin maju dan produknya semakin canggih sebagai hasil pemikiran/penemuan para ahli pikir. Sementara ngelmu itu adalah satu pengetahuan yang berhubungan dengan Purbawasesa (Kuasa dari Tuhan), yang oleh kebanyakan orang disebut gaib. Ngelmu itu dari dulu sudah ada secara utuh dan sepenuhnya dalam kuasa Gusti (Tuhan). Dibukanya ngelmu pun sedikit demi sedikit, sesuai dengan kemajuan kesadaran dan kebutuhan manusia pada suatu saat.

Untuk itu, penjelasan dan penyebaran (babaran lan wedaran) antara elmu dan ngelmumenjadi sangat berbeda. Jika elmudisampaikan dan disebarkan secara terbuka di sekolah-sekolah, maka ngelmu lebih bersifat tersembunyi, bahkan rahasia. Ngelmu Jawa boleh diketahui oleh peminatnya sesuai dengan tingkat kesadaran spiritual masing-masing individu – kecuali yang masih menjadi sengkeraning bawono (rahasia jagat). Selain itu, ngelmu juga hanya atas kehendak dari Sang Gusti (Tuhan), melalui orang-orang yang ditunjuk-Nya, karena mereka itu sudah mumpuni dalam pengetahuan dan kesadaran spiritualnya. Sehingga, semakin lama ngelmuitu pun akan semakin terbuka (soyo binuko lan ngeblak).

# Tingkatan Ngelmu
Seorang manusia Jawa yang dibesarkan dan dididik secara tradisional di tanah Jawa, sejak kecil biasanya mengikuti pola jalan kehidupan yang ditanamkan oleh orang tua dan leluhurnya untuk selalu berpegang teguh pada budi pekerti luhur, tata krama, tata susila, dan di atas segalanya itu selalu mengagungkan Gusti Sing Gawe Urip lan Nguripi (Tuhan Yang Menciptakan Hidup dan Menghidupi).

Untuk itu, dalam sudut pandang kebatinan Jawa, maka peradaban Jawa itu juga mencakup aspek-aspek budaya dan filosofi seperti:

1. Tradisi dan ritual.
2. Tata krama dan tata susila.
3. Sikap dan perilaku kehidupan yang dipandu oleh budi pekerti.
4. Hal-hal yang dikategorikan sebagai supranatural.
5. Tataran tertinggi dalam kehidupan berupa Ngelmu Kasampurnan atau Ngelmu Sejati atau kebatinan atau spiritualitas.

Sehingga tujuan akhir kehidupan orang Jawa yang murni adalah menguasai Ngelmu Kasampurnan. Ilmu ini adalah puncak kebatinan atau dalam pengertian universal disebut spiritualitas – istilah lainnya: Ngelmu Sejati atau Kasunyatan. Orang yang mempelajari spiritualitas adalah orang dewasa yang telah matang jalan pikirannya. Orang yang masih senang menggeluti kenikmatan yang selalu bersifat keduniawian seperti masih menumpuk harta kekayaan, dan mencari posisi kekuasaan yang memberi kepuasan duniawi, tentu tidak atau belum tertarik kepada spiritualitas atau Ngelmu Kasampurnan.

Ya. Seseorang biasanya akan mulai tertarik kepada spiritualitas atau mulai memahaminya bila kehidupannya mulai tenang, sudah seimbang antara pemahaman hidup duniawi dan ruhani. Dan manusia itu sudah bisa dikatakan manusia saat ia menyadari bahwa hidup didunia ini selain berurusan dengan kehidupan duniawi yang benar dan baik, juga ada kehidupan spiritual yang harus difahami. Apalagi dia tahu benar bahwa hidup di dunia ini relatif tidak lama. Bahkan sebaiknya dia bersikap bijak dan mulai menapaki kehidupan spiritual yang akan mengantarkannya ke masa depan yang terjamin dibawah naungan Gusti, Tuhan Sang Pengatur Kehidupan Sejati.

Untuk itu, di dalam tradisi Jawa, maka untuk bisa mencapai kesempurnaan hidup, seseorang harus melalui tahapan dalam ngelmu sejati. Ada beberapa tingkat sebelum seseorang bisa mencapai puncaknya, atau yang disebut dengan Kasampurnan. Dan orang Jawa sejati pasti mengetahui, apalagi dimasa lalu, bahwa di masyarakat itu ada orang-orang tua (dituakan) yang disebut Wong Tuwo, Wong Pinter, Priyayi Sepuh atau Guru Kebatinan atau Guru Ngelmu, yang memberi tuntunan pelajaran kebatinan kepada murid-muridnya atau anggota paguyubannya. Selain mengajari spiritualitas kepada orang-orang yang berminat, seorang Priyayi Sepuh juga sering dimintai tolong oleh siapapun yang butuh bantuannya dalam berbagai bidang yang pelik dalam kehidupan ini. Pertolongan itu diberikan dengan ikhlas, tanpa menarik biaya. Inilah bedanya antara Guru Laku/Priyayi Waskita/Sepuh dengan paranormal atau psychicyang menarik bayaran untuk bantuan yang diberikannya.

Ya. Untuk orang Jawa sejati, sebelum ia belajar tentang ngelmu yang tertinggi yaitu Kasampurnan, maka ia harus belajar dan melalui beberapa tahap ilmu dengan tekun. Tingkatan ilmu itu berada dibawah tingkatan Ngelmu Kasampurnan. Adapun tingkatannya sebagai berikut:

1) Kanoman
Kanoman ini berasal dari kata dasar nom, anom, enom, yang artinya muda. Maka kanoman biasanya diartikan sebagai “ngelmu anom” atau ilmu untuk anak muda, sedangkan “ngelmu sepuh” adalah ilmu untuk orang dewasa.

Pada masa lalu (sekitar era tahun 1960 kebawah) ada beberapa remaja Jawa tradisional yang jalan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh atau bahkan menyatu dengan lingkungan alam. Sikap dan kebiasaan hidup masyarakat disaat itu masih banyak yang tertarik untuk ikut menjalani olah/latihan kanoman. Mayoritas anak muda berpikiran dan berperilaku positif, sikap hidupnya dituntun oleh panduan budi pekerti dan sangat percaya kepada kekuasaan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Lingkungan kehidupan dan alam sekitarnya membuat mereka lebih peka terhadap adanya hal-hal yang tidak terlihat tetapi sebenarnya ada, dimana ada dimensi lain yang dikatakan gaib dalam kehidupan ini. Suara hati pun berkata supaya kehidupan di dunia ini berjalan baik-baik saja, dan tidak ada yang suka berbuat jahat kepada pihak lain. Namun kini kenyataannya tidak begitu. Watak dan perbuatan jahat memang sudah ada sejak dulu, tapi kini sudah semakin liar. Ada orang yang senang menonjolkan diri, memikirkan dirinya sendiri dan berbuat untuk kesenangan dan keuntungan dirinya saja. Akibatnya berbagai macam jenis dan tindak kecurangan, kelicikan, kejahatan yang terlihat dan tidak terlihat, kriminalitas kecil-kecilan sampai kelas kakap semakin mewarnai kehidupan di dunia ini. Bahkan hal ini terus saja berkembang parah hingga hari ini, tanpa ada perbaikan.

Ya. Pada dasarnya anak muda itu terpanggil untuk berbuat baik dan menegakkan kebenaran. Memang dari cerita wayang atau legenda kuno, dikatakan bahwa dari dulu selalu terjadi pertempuran antara yang baik melawan yang jahat dan pada akhirnya setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan, maka yang baiklah yang menang. Tapi untuk bisa mencapai kemenangan haruslah ada usaha yang tekun dan rajin, disertai sikap pantang menyerah untuk maju. Selain itu, juga harus ada misalnya berlatih dan belajar meningkatkan kemampuan diri dalam seni bela diri dan olah batin. Karena pada zaman kuno, anak-anak muda belajar dengan cara nyantrik di padhepokan, berguru kepada seorang guru yang mumpuni. Diperguruan itu ditanamkan pelajaran seperti budi pekerti, pengetahuan umum, kanuragan dan hal-hal yang mengarah pada kebatinan. Gurulah yang menentukan tingkat pelajaran bagi siswanya, berdasarkan pengamatan dan penilaiannya terhadap kemampuan setiap siswa. Dan pada prinsipnya guru hanya menerima siswa yang berwatak baik dan sungguh-sungguh punya niat untuk belajar.

Persyaratan yang ditentukan saat itu adalah berwatak satria, artinya punya rasa tanggung jawab, berani karena benar, jujur, punya rasa welas asih (kasih sayang) kepada sesama, hormat kepada guru dan sanggup menjunjung nama baik perguruan. Kemudian sambil melakukan pekerjaan praktis setiap harinya untuk menunjang kehidupan di padhepokanseperti: bertani, berkebun, berternak, mengambil air, membersihkan rumah dan halaman; para siswa juga belajar elmu dan ngelmu sesuai dengan tingkatnya. Selain tetap diajarkan budi pekerti, tata krama, dan tata susila untuk pergaulan di masyarakat, maka diajarkan pula pengetahuan umum dan berbagai keterampilan khusus untuk bekal hidupnya nanti di masa depan – khususnya saat ia harus hidup di tengah-tengah masyarakat. Salah satu pelajaran dan pelatihan yang penting adalah olah supranatural yang sesuai dengan kelasnya, dan untuk para anak muda, maka dilatih ia dengan ilmu kanuragan.

b) Kanuragan dan kadigdayan
Pada tahapan ini, kanuragan yang di latih dan di tatar adalah raga. Sehingga orang yang mempelajari dan mempraktekkan kanuraganbisa menjadi kuat dan bahkan dibilang sakti karena dia menjadi bisa menerima pukulan, tidak mempan senjata tajam atau tembakan peluru dan sebagainya. Kanuragan biasanya diminati oleh golongan muda, dan setelah mereka melihat dan mengalami hasilnya yang menakjubkan, mereka menjadi lebih percaya kepada hal-hal yang bersifat supranatural.

Untuk orang-orang tertentu, kelebihan positif dari kanuragan bisa membuat mereka ingin mempelajari juga Kebatinan/Spiritualitas. Dan sepengetahuan penulis, maka sejak tahun 50an anak muda yang belajar ngelmu Kanomandan Kanuragan tidak mempelajarinya lagi di padhepokan seperti zaman kuno, tetapi cukup belajar dan dilatih oleh seorang guru pada saat-saat tertentu seperti layaknya kursus.

Ya. Selain belajar seni bela diri terutama untuk mempertahankan diri bila diserang, ilmu kanuragan juga untuk berlaga atau menyerang lawan. Selain itu siswa juga mulai diberi pelajaran kadigdayan yang berupa mantra atau ajian untuk keselamatan, untuk melindungi diri dari segala macam gangguan fisik dan non-fisik. Dan ketika semakin dewasa umur seseorang juga cara berpikirnya, atau saat dia menjadi lebih sabar, lebih mampu mengendalikan diri, maka secara alami dia akan lebih memilih penggunaan mantra-mantra keselamatan atau karahayon (ngelmu kadigdayan) dari pada ajian elmu kanuragan.

Contoh ekstrim: Seorang petugas keamanan yang masih muda akan sangat bangga bila peluru yang ditembakkan kepadanya oleh perampok tidak mampu menembus badannya, dia kebal dan anti peluru. Dia senang dikagumi oleh rekan-rekannya dan ditakuti para penjahat. Sedangkan seorang petugas yang lebih tua dan lebih bijak, justru lebih senang bila senjata yang ditembakkan kepadanya, tidak bisa meletus, sehingga dia juga aman. Petugas lain yang lebih tua akan lebih senang bila musuh dan penjahat menyingkir darinya sebelum mulai menyerang. Contoh terakhir ini disebut dengan ngelmu kadigdayan tingkat mantra-mantra keselamatan.

c) Kadonyan
Tingkat selanjutnya adalah agar selamat, makmur, dan bahagia dalam menjalani kehidupan ini. Pada tingkatan ini biasanya orang telah berkeluarga. Dan sebagaimana layaknya orang yang sudah berumah tangga dan punya anak, seseorang akan berusaha untuk punya pekerjaan atau usaha yang bisa mencukupi kebutuhannya bersama keluarga. Untuk itu selain harus punya kemampuan dan ketrampilan, juga diperlukan laku prihatin dengan permohonan kepada Tuhan. Hal ini di lakukan dengan juga disertai amalan/mantra yang sifatnya Kadonyan – keduniawian untuk menaikkan derajat, pangkat dan semat (kedudukan), kekuasaan dan kekayaan. Semua periode ini bisa memakan waktu sekitar 10-30 tahun. Dan selama kurun waktu itu, belum tentu segalanya berjalan mulus, karena kadang-kadang ada gejolaknya.

Untuk itu, keterlibatan orang dalam Kadonyan(kehidupan duniawi) menyita banyak waktu, bahkan sebagian besar dari hidupnya dikerahkan hanya untuk ini. Dan ada pula orang yang terpaksa atau memang sengaja untuk tidak mau atau tidak mampu keluar dari urusan ini sampai akhir hidupnya di dunia fana ini. Padahal dalam tahapan hidup di dunia ini, orang harus berhati-hati dan selalu berpegang teguh kepada jalan yang benar yang diperkenankan Tuhan. Jangan sampai tergoda oleh bujukan nafsu yang selalu menyesatkan.

Ya. Tahapan ini adalah tahapan yang paling sulit bagi seseorang untuk bisa sampai pada tingkat tertinggi ngelmu Jowo; yaitu Kasampurnan. Dan biasanya, banyak orang hanya berhenti di tingkat ini saja. Ia tak mampu lagi memenangi pertempuran duniawi saat masih di tingkat kadonyan ini. Sehingga gagal total untuk bisa menuju akhir; yaitu kesempurnaan hidup.

d) Kasepuhan
Tingkat ke empat ini disebut kasepuhan karena memang biasanya disenangi oleh orang tua atau orang dewasa yang bijak. Ilmu pada tingkat ini tidak sembarangan dan harus dipelajari dengan sabar. Sangat jarang ilmu ini dipelajari oleh anak muda, karena ketika masih muda biasanya orang akan sulit menahan amarahnya, sementara di tingkat ini diperlukan kesabaran yang tinggi. Sebaliknya, saat menginjak usia yang lebih tua dan sepuh, biasanya emosi seseorang akan lebih mudah untuk dikendalikan. Sudah banyak pengalaman hidup yang ia dapatkan, baik yang manis ataupun yang susah untuk dilewati.

Untuk itu, pada tahap ini ilmu yang dipelajari dan dikuasai tidak lagi untuk menonjolkan diri (kadigdayan). Ia bersifat sosial, karena biasanya untuk menyembuhkan orang sakit (baik sakit fisik maupun mental), membantu orang yang berada dalam kesulitan, memberikan perlindungan bagi yang perlu keselamatan, atau untuk membantu kelancaran usaha dan pekerjaan seseorang, dsb. Artinya disini, seseorang sudah mulai meninggalkan keduniawian dan hanya berfokus pada kemanusiaan.

e) Kasampurnan (ngelmu sejati)
Inilah tingkatan ngelmu yang tertinggi dalam tradisi Jawa. Istilah lainnya adalah kebatinan, kasunyatan atau spiritualitas. Ngelmu ini menguak kasunyatan atau realias dari kehidupan sejati. Orang bijak yang telah mencapai ngelmu sejati akan melihat kenyataan hidup yang sejati, dimana semuanya telah terbuka sehingga tidak ada lagi rahasia dalam kehidupan ini. Dan semua itu, biasanya hanya bisa dicapai saat seseorang sudah melalui kesemua tahapan sebelumnya (kanoman, kanuragan, kadoyan, kasepuhan) dengan predikat sukses. Terkecuali oleh sosok yang memang telah dikehendaki Tuhan sebagai wali atau pemimpin besar umat manusia. Hal ini sifatnya khusus, dan yang bersangkutan pasti senang dengan olah batin sejak kecil walau tanpa diajari.

– Pikukuhing Ngelmu Sejati –

“Pangeran ingkang Moho Suci sarehne binasahaken sakalangkung Goib, tanpo rupo tanpo warno asipat dede jaler didi estri lan sanes wandu sarto mboten mawi jaman makane mboten anak mboten enggan, dinulu datan katingah, dinumuh datan keno puniko esbatipun amung Cipto Sasmito; dumunung wonten ingkang waskito, nilo dipun kias makaten sejatine ora ono opo-opo.

Sekabehe isine kang kasebut iku dudu sejatining dat kabeh. Tegese dudu pengejowantah Pangeran kang Moho Suci Sejati hiyo Kang Murbo Wiseso. Ing sadurunge ono opo-opo, kahanane alam kabir lan sabir saisine durung podo dumadi kabeh, kang ono dingin dewe amung Dat kang Moho Suci hiyo Moho Kuwoso Sejati. Sejatine Dat kang Moho Mulyo iku kang asipat Esa, kabasahaken Dat Mutlak Kang Kadim Ajali Abadi”  

Wahai saudaraku. Demikianlah uraian singkat mengenai tahapan ngelmu dalam tradisi Jawa. Setiap tahapannya sangat bermanfaat dan bisa mengantarkan seseorang pada arti kehidupan yang sebenarnya, tentang siapakah dirinya yang sesungguhnya. Karena itu, dimasa lalu kita bisa mengetahui banyak orang Jawa yang luarbiasa dan disegani dunia. Dimana mereka itu punya kemampuan lahir dan batin yang mengagumkan.

2. Proses penciptaan dalam budaya Jawa
Wahai saudaraku. Berdasarkan uraian di atas, maka orang Jawa memiliki dua keilmuan, yang disebut elmu dan ngelmu. Artinya, dalam memahami sesuatu, orang Jawa akan melakukan dua pendekatan. Satu dengan cara ilmiah, dan kedua harus dengan cara batiniah.

Untuk itu, sejak dahulu kala orang Jawa sudah memiliki satu pemahaman sendiri tentang penciptaan. Mereka bisa mendapatkan itu karena olah raga dan olah jiwa yang telah mereka lalui. Benar atau salah hanya Tuhan yang tahu. Dan menurut mereka, maka jagat raya ini mempunyai proses penciptaannya. Tuhanlah yang menciptakannya sesuai dengan kehendak-Nya.

Untuk lebih jelasnya, mari ikuti penelusuran berikut ini:

1) Asal mula ramai dari sepi (sebelum adanya jagat raya)
Wahai saudaraku. Kita akan mengungkap kelahiran dan perkembangan jagat raya ini dimulai dari Alam Sonya Ruri, sebelum jagat raya ini tergelar. Ini sesuai dengan pengungkapan dari sudut pandang Kebatinan Jawa, dari sudut pandang pengetahuan spiritual (spiritual knowledge), yang istilah lokalnya adalah ngelmu.

Perlu digaris bawahi bahwa budaya Jawa tidak anti kepada ilmu dan perkembangannya yang berguna bagi umat manusia. Tetapi untuk kehidupan yang lebih baik, komplit dan benar secara lahir batin, maka bagi orang Jawa yang sejati diperlukan elmu dan ngelmu. Karena itu, ketika para pakar dunia menjelaskan proses terjadinya alam raya dari sudut science (ilmu pengetahuan, secara ilmiah) seolah-olah lepas kendali (kebetulan), maka orang Jawa akan mengatakan bahwa kehidupan itu ada dan berkembang secara pasti. Segala sesuatunya pun ada yang menciptakan serta mengaturnya, Dia-lah Gustri Pangeran (Tuhan YME).

Wahai saudaraku. Pada mulanya di Bumi ini para Mudita (manusia awal) memilih tinggal di tempat-tempat yang aman dan tanahnya subur. Jumlah Mudita itu sudah beragam warna kulit, budaya dan bahasanya – dalam hal ini masih bahasa isyarat dan telepati. Mereka pun semakin bertambah, sehingga Bumi menjadi lebih ramai. Lalu terciptalah bahasa yang bisa mengungkapkan segala kejadian di masa lalu. Ini terus berkembang, hingga pada akhirnya timbullah ungkapan dalam bahasa Jawa: “Witing rame soko sepi, witing gumelar soko sonya” yang artinya asal ramai dari sepi, jagat tergelar asalnya dari kosong.

a) Alam Sonya Ruri
Dalam bahasa Jawa kata “sonya” diterjemahkan sebagai “suwung” yang artinya kosong atau sepi, sementara kata “ruri” diterjemahkan sebagai peteng ndhedhet yang berarti gelap gulita. Jadi disini, dalam masa yang tidak diketahui sebenarnya, ketika alam belum ada, Bumi belum ada, saat itu tidak ada apa-apa sama sekali, suasana gelap gulita, suara pun tidak ada. Inilah yang disebut dengan Alam Sonya Ruri. Dimana pada saat itu yang ada hanyalah Sang Gusti; Tuhan Sang Penguasa Alam.

Alam Sonya Ruri adalah tempat tanpa batas, yang keadaannya kosong tanpa suara dan gelap gulita. Gambarannya adalah alam merupakan wadah, sementara isinya kosong dan gelap gulita. Kemudian, tidak disebut kapan mulainya, Alam Sonya Ruri ini atas kehendak dari Gusti Pengeran (Tuhan) mulai bergerak, berputar dan berputar terus dengan cepat. Perputaran itu menimbulkan daya panas dan akhirnya mulai memunculkan lingkaran (dalam bahasa Jawa disebut kalangan), yang semakin lama semakin besar. Sesudah berputar terus menerus dan cukup lama (bahasa Jawa: mubeng seser) itu, terjadilah ledakan (bahasa Jawa: mbledhos), sehingga Alam Sonya Ruri itu menjadi terang. Alam semesta pun mulai terbentuk dan terlihat wujud benda-benda di dalamnya: langit dan planet-planet seperti matahari dan bintang-bintang pun mulai ada. Inilah tahap di mana alam semesta terbentuk dan terus mengembang.

b) Sang Penguasa Alam menitahkan terang
Tahap kedua ini dalam istilah Jawanya disebut dengan “Kang Murbeng Alam nitahake pepadhang : Sang Penguasa Alam menitahkan terang”. Karena pada saat itu atas perintah Tuhan cahaya terang benderang di alam raya muncul akibat perputaran benda-benda di “langit”. Cahaya datang dari benda-benda di “langit” yang jumlahnya sakirno (dalam istilah Jawa artinya sejuta juta juta), begitu banyak dan tak terhitung jumlahnya. Dan Matahari, sesuai dengan kekuasaan alam dan tentunya atas kehendak Tuhan lalu ditugaskan untuk menerangi jagat termasuk Bumi dan punya kewajiban untuk memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Sementara rembulan dan semua bintang di langit, pada waktu malam hari menyinarkan cahaya yang lembut dan sejuk, yang juga berguna untuk setiap makhluk. Konstelasi matahari, rembulan, planet-planet dan bintang-bintang terhadap Bumi, lalu mempengaruhi iklim dan kehidupan manusia di Bumi.

c) Terbentuknya Bumi
Ketika planet-planet dan bintang-bintang angkasa sudah ada, Bumi masih belum ada. Baru sesudahnya, ketika planet-planet dan bintang-bintang saling berbenturan dan saling mempengaruhi cukup lama di angkasa raya, terbentuklah sebuah bintang berukuran menengah yang menjadi pusat alam semesta, yang disebut Pratala atau yang berarti dasarnya samudera.

Jadi, saat itu karena terus menerus diisi air dari hasil gerakan terus menerus benda-benda di alam raya, maka terbentuklah dulu laut, samudera sangat luas yang disebut Segoro. Sesudah terbentuk segoro, Bumi pun mulai terbentuk setelah melalui proses alami dan penyempurnaan bentuk, sehingga pada saat ini disebut dengan Bantala atau Bumi. Proses pembentukan Bumi secara pemahaman ilmiah dimulai beberapa milyar tahun yang lalu, dilukiskan dengan letusan-letusan gunung berapi yang memuntahkan lava merah menyala. Bumi yang terdiri dari lempengan-lempengan dan samudera-samudera besar, melalui proses milyaran tahun lalu terwujud bentuk yang seperti saat ini, yaitu bundar.

d) Elemen-elemen Bumi
Sejak awal terbentuknya jagat, melibatkan unsur-unsur angin, cahaya, api, debu dan air, yang dengan saling interaksi, gerakan dan benturan-benturan melahirkan planet-planet, bintang-bintang dan Bumi yang kelak dihuni oleh manusia. Seperti yang sudah diketahui, elemen-elemen pembentuk Bumi dan manusia juga terdiri dari angen, banyu, geni lan lebu(angin, air, api dan tanah). Sedangkan unsur cahaya, mengingatkan dari mana asalnya suksma/roh yang berupa cahaya.

Jadi, pada mulanya keadaan di Bumi belum mendukung adanya kehidupan, karena saat itu udaranya belum cocok. Baru sesudah udara dan keadaannya kondusif, manusia dan makhluk-makhluk lain bisa hidup di Bumi, yaitu dilapisan atmosfer yang berada di permukaan tanah sampai dengan ketinggian 17 kilometer.

e) Adanya makanan
Manusia dan makhluk-makhluk yang lain butuh makanan untuk bisa hidup di Bumi. Sejak mula terbentuknya Bumi, air mengucur ke Bumi yang pada saat itu belum berbentuk bundar alias masih datar dan belum padat. Air pada masa awal itu dinamakan Kamandanu.Lalu, sesudah air itu jatuh ke Bumi dan kebanyakan berkumpul menjadi segoro (samudera), ia disebut dengan Padmasari, yang artinya sari makanan. Oleh karena itu, sel-sel kehidupan yang teramat sederhana dimulai di laut, karena disana ada sari makanan. Sementara Jagat Raya itu adalah bersatunya unsur-unsur dari Pratala/Segoro, Padmasari/sari makanan dan Bantala/Bumi, yang terus berproses dan saling mempengaruhi dengan benda-benda di Alam Semesta. Sehingga saat datangnya manusia dan makhluk-makhluk lain serta berbagai tetumbuhan ke Bumi, mereka sudah bisa mendapatkan tempat yang nyaman. Semua itu juga bisa terjadi dikarenakan adanya makanan untuk mereka, yang pada awalnya karena ada air.

f) Kandungan Bumi
Ini yang disebut dengan kekayaan alam, benda-benda yang terpendam didalam perut Bumi (termasuk yang dibawah laut), dimana manusia tinggal menggali atau menambangnya untuk memfasilitasi kebutuhan hidupnya. Selain tanaman pangan, herbal untuk obat dan tanaman industri, berbagai bahan tambang juga didermakan oleh Bumi kepada manusia. Selain itu, di dalam Bumi masih terdapat berbagai batu, mineral, pasir, kapur dan lain-lain yang menunjang kesejahteraan manusia. Semua itu diperuntukan bagi manusia untuk dipergunakan secukupnya. Tidak boleh semena-mena apalagi serakah, karena hal itu akan mendatangkan malapetaka.

Betapa baiknya Ibu Pertiwi ini kepada manusia. Dan kalau mau jujur, manusia modern seharusnya merasa berhutang budi kepada makhluk-makhluk dan tetumbuhan dimasa purba, kepada alam dan tentunya kepada Tuhan. Tapi, hanya sedikit orang yang ingat kepada jasa binatang laut dan pohon-pohon raksasa yang hidup milyaran tahun lalu, yang “mengorbankan diri” mereka untuk dijadikan sumber energi berupa minyak Bumi, gas dan batubara bagi kita sekarang. Dan produk-produk ini lalu diburu, diperebutkan dan dimanfaatkan untuk mengabdi kepada manusia modern sesuka hati.

Ya. Jagat Raya seisinya termasuk manusia yang mendiami Bumi ini, tercipta atas kuasa Gusti, Tuhan Sang Pencipta Alam. Keberadaan manusia di Bumi berlangsung setelah iklim dan kondisinya kondusif, siap untuk dijadikan rumah tinggal yang nyaman, dan lengkap pula dengan segala faktor pendukungnya. Pada era Mudita, orang mulai memberikan nama-nama pada semua benda dan hal, sehingga lahirlah bahasa tutur di dunia. Dan karena itulah para Mudita dihormati oleh anak keturunannya.

Wahai saudaraku. Demikianlah uraian singkat tentang proses penciptaan menurut keilmuan Jawa. Karena itu, dalam budaya Jawa, Jagat Raya dinamakan sebagai Jagad Paramudita. Hal ini seperti yang sering diucapkan oleh para dalang wayang kulit. Istilah itu berarti jagat yang dihuni oleh para Mudita (generasi awal umat manusia), makhluk paling penting didunia ini.

2) Sejarah dan perkembangan kemampuan manusia
Pada zaman dahulu kala, manusia berkomunikasi antar sesama melalui perasaan dan pikiran, istilah asingnya: through their mind. Pada masa itu, perasaan dan pikiran para nenek moyang bangsa manusia sangatlah peka, tajam sekali. Dengan melalui rasa, pikiran dan saling melihat saja, mereka bisa saling mengerti. Memang, di zaman awal tersebut, kekuatan telepati manusia masih sangat mumpuni. Ini juga satu anugerah dari alam, yang tentunya berasal dari Tuhan untuk mereka. Sementara para Mudita ini berasal dari sepasang manusia sempurna, yaitu Adam dan Siti Hawa, yang sebelumnya tinggal di Swargaloka lalu diturunkan ke Bumi dalam rangka mengemban amanah agung dari Gusti Pangeran, Tuhan YME.

Kemudian, seiring berjalannya waktu, maka mulai muncullah bahasa isyarat, dan secara bertahap suara yang keluar dari mulut semakin teratur dan lama kelamaan bisa dikendalikan sehingga sinkron dengan kehendak yang dikendalikan otak. Menurut tradisi Kejawen, manusia pada masa itu disebut Lece, dimana komunikasi mereka masih dengan bahasa isyarat dan lengkingan-lengkingan suara yang belum teratur.

Mudita adalah sebutan untuk orang ketika ia sudah bisa menyebutkan nama barang-barang yang ada didunia ini dan selanjutnya muncul kata-kata sifat. Jadi sejak ada Mudita, bahasa mulai berkembang. Rupanya para Mudita ini telah diberi kuasa oleh Sang Pencipta untuk memberi nama semua hal yang ada di alam ini. Orang-orang tua kita pernah berkata, kalau tidak ada Mudita, maka tak ada kata-kata dan bahasa: Kabeh ora kocap (segala hal tak terucapkan).

Selanjutnya, pada perkembangan lebih lanjut, para Mudita ini disebut manusia, yaitu makhluk yang punya malu. Istilah manusia itu berasal dari kata manuswa. “Manu” artinya malu dan “swa” artinya hewan. Jadi, seseorang yang tidak punya rasa malu dikatakan berwatak seperti hewan. Sementara manusia itu, dalam kepercayaan Jawa, adalah orang yang sudah punya rasa malu – kebalikan dari hewan. Karena itu, disaat manusia masih punya rasa malu, maka peradaban mulai meningkat dan maju. Sebaliknya, ketika rasa malu itu hilang, kehancuran pun akan datang.

Kemudian ketika orang sudah disebut manusia, budaya dan peradabannya berkembang lebih cepat. Ada orang-orang tua bijak yang tajam dan bening rasa hatinya. Melalui mereka, manusia menerima pembelajaran kembali tentang esensi kehidupan. Manusia, semua makhluk, tetumbuhan, benda-benda di Bumi ini tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari alam, karena merupakan bagian dari alam. Untuk itu, sejak dulu manusia sejati sudah sadar untuk harus melestarikan, menjaga, dan merawat alam ini sebaik-baiknya. Karena tanpa alam, maka tidak ada eksistensi manusia di Bumi ini. Kalau Bumi dan alam rusak, hidup dan eksistensi manusia pun terancam. Ini sebenarnya adalah sebuah pemahaman yang klasik!

Jadi, alam raya beserta segala isinya termasuk manusia yang berada dalam keadaan seperti kita sekarang ini, bisa ada setelah melalui proses yang teramat panjang. Keberadaan alam beserta isinya termasuk umat manusia hanya karena dikehendaki dan diciptakan oleh Sang Pencipta Alam, yang dalam perkembangannya dipuja dengan asma: Gusti, Pangeran, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Welas Asih, Sang Hyang Widhi, dll. Sedangkan menurut pemahaman Jawa kuno, manusia itu sebelum terlahir di dunia ini dengan perantaraan ibu dan bapaknya (Adam dan Siti Hawa), adalah suksma/ruh, yaitu spirit yang berada di alam asal muasal dan dibawah kuasa langsung dari Gusti, Tuhan Yang Maha Esa.

Jadi, manusia itu adalah suksma, spirit yang memakai pakaian raga fisik dan raga halus untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Dewa-dewi adalah juga makhluk ciptaan Tuhan yang berwujud spirit, yang esensinya adalah cahaya, sama dengan esensi suksma. Oleh karena itu, pinisepuh Jawa menyebut orang dengan istilah “Wahong“, artinya anak keturunan atau berasal dari dewa. Disini bukan langsung berarti setiap manusia itu adalah anak keturunan dewa-dewi, tapi dengan tujuan agar setiap orang, khususnya Jawa, selalu ingat tentang esensi dirinya yang berupa suksmaatau cahaya. Kemudian dalam perkembangan bahasa, kata wahong berubah menjadi wongyang artinya orang. Dari sinilah kita lalu sering pula mendengar ungkapan yang menyebutkan wong Jowo, wong Sundo, wong Indonesia, wong Asia, wong Arab, wong Chino, dsb.

Lalu pertanyaannya, kenapa suksma berada di dunia ini?

Ini pertanyaan yang menggelitik, yang sejak dulu tidak henti-hentinya dilontarkan. Padahal suksma itu telah mendapat kesempatan dari Tuhan untuk berkiprah di dunia dan menjalankan suatu misi, yaitu tugas yang mesti dilaksanakan sebaik-baiknya sampai tuntas. Ungkapan yang lebih lugas menyatakan: Suksma harus sekolah di dunia ini. Tapi sayangnya, sang suksma ketika sudah sampai di Bumi dan berwujud manusia, menemui banyak hambatan dan godaan dalam menjalankan misinya. Hubungan antara sang suksma dengan kendaraan yang dipakainya (tubuh) dan manusia dengan egonya, tidak selalu sinkron. Ini disebabkan si manusia terlalu didominasi oleh elemen-elemen duniawi, maunya hanya memenuhi keinginan materi dan duniawi yang penuh nafsu, sehingga meninggalkan esensi spiritualnya.

Untuk itu, dalam menyiasati hal ini, pinisepuhJawa tidak bosan-bosannya mengingatkan: Eling lan waspodho (sadar dan waspadalah), kenali siapa dirimu yang sebenarnya dan apa tugas sejatimu di dunia ini. Caranya bisa bermacam-macam seperti tirakat dan semedhi. Lebih jelasnya seperti sering ber-muhasabah(intropeksi diri), ber-tadabbur (berpikir, mengkaji) dan ber-tafakur (meditasi, semedhi, merenung) sesering mungkin.

Ya. Perjalanan suksma itu berasal dari mula-mula atau alam kelanggengan (alam keabadian) kemudian dapat tugas dari Tuhan untuk tinggal di Bumi, lalu kembali lagi ke alam mula-mula – alamnya suksma, dimana itu merupakan perjalanan yang benar. Tapi ada banyak suksma, sesudah orangnya meninggal, tidak mulus kembali ke alam mula-mula (alam keabadian). Dia nyasar pulangnya, karena telah membuat kesalahan fatal ketika masih berada di dunia. Dia telah berbuat atau pernah membiarkan terjadinya perbuatan yang tidak baik dan melakukan dosa besar baik kepada Tuhan atau pun kepada sesamanya.

3). Tiyang atau Ti Hyang
Dalam bahasa Jawa kromo inggil (bahasa halus Jawa), orang atau wong itu disebut tiyang. Kata ini berasal dari kata Ti Hyang, yang berarti berasal dari dewa atau spirit atau ruh. Ini berarti bahwa manusia itu asal mulanya adalah cahaya, sebagaimana perwujudan dari dewa-dewi, yang kemudian dikenal sebagai suksma. Namun dalam kehidupan ini, sangat sedikit orang yang menyadari bahwa dia itu sebenarnya adalah suksma/ruh yang berpakaian badan kasar (tubuh) dan badan halus (jiwa). Padahal ini adalah pemahaman kunci bagi seseorang untuk bisa menemukan jati dirinya dan bisa kembali ke alam kelanggengan (keabadian) untuk bisa menghadap kepada Tuhan dengan selamat. Tanpa itu, maka ia nanti akan kembali pada sisi “kegelapan”, yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Neraka.

3. Penutup
Demikianlah orang Jawa yang sejati memandang segala sesuatu itu dari dua sudut pandang, yaitu lahir dan batin (nyata dan goib). Keduanya harus di lakukan bersamaan, karena ini adalah bagian dari keseimbangan hidup. Tanpa adanya satu dari keduanya, maka tidak akan ada kesempurnaan. Yang pada akhirnya hanya akan menjerumuskan kehidupan ini dalam jurang malapetaka.

Tapi kini, dikarenakan pengaruh kuat dari keperluan materi dan duniawi dalam kehidupan, banyak orang Jawa yang lupa dengan kehidupan sejatinya. Ia pun sudah tidak tahu lagi asal muasal dirinya dan esensi dari hidupnya. Padahal yang sebenarnya hidup itu adalah suksma/ruh yang berada di badan seseorang. Jika suksma/ruh kembali ke asal muasalnya karena berbagai alasan, maka orang itu akan mati. Dan ini pasti akan terjadi bagi setiap orang, cepat atau lambat.

Ya. Suksma akan tetap hidup dan kembali pulang ke tempat asal muasalnya di alamkelanggengan (alam keabadian) – ada yang memberi istilah dengan “kembali keharibaan Tuhan”. Tapi pertanyaannya, selama hidup di dunia ini, apakah seseorang itu sudah bisa mengenali dan memahami suksma-nya sendiri? Apakah ia pernah mengasah batinnya dengan salah satunya mengikuti tradisi kebatinan Jawa? Hal ini harus di lakukan agar nanti, ketika wafat, ia bisa kembali dengan selamat dan tidak nyasar ke tempat lain yang dikuasai oleh kegelapan.

Untuk itu saudaraku, yang bisa berkomunikasi dengan cara terhalus dengan Gusti PangeranSang Suksma Agung yaitu Tuhan, adalah suksma yang berada di dalam raga manusia. Dimana itu hanya bisa terjadi bila seseorang sudah menjalankan laku tirakat (spiritual) yang tinggi. Dan seorang manusia seharusnya mengenali diri sejatinya atau pribadi sejatinya, yang adalah suksma itu sejak dini. Sebab, dengan begitu ia akan bisa mengenali siapa Tuhannya yang sejati. Dan ketika ia sudah bisa akrab dengan sang suksma atau pribadi sejati, maka ia baru akan sadar tentang misi hidupnya dari Tuhan, Sang Suksma Agung. Dampaknya adalah bahwa ia pun akan hidup dengan melakukan berbagai misi yang bermanfaat bagi dirinya dan kehidupan umat manusia, bahkan jagat raya ini. Dan inilah hal yang terbaik dan sempurna bagi siapapun, khususnya orang Jawa yang sejati.

Jambi, 13 Maret 2016
Mashudi Antoro (Oedi`)

Falsafah Hidup Orang Jawa

Falsafah Hidup Orang Jawa

POSTED ON JANUARI 16, 2012 UPDATED ON APRIL 6, 2015

Sebuah peradaban yang tinggi akan memiliki pengalaman yang luas tentang arti dan makna kehidupan. Salah satu yang paling menonjol dari pengalaman itu adalah terdapatnya kemampuan dalam olah kata. Lihat saja bangsa Yunani yang memiliki kemampuan dalam ilmu sastra dan filsafat. Mereka dalam urusan ini tak perlu diragukan lagi dan memang sudah terkenal di seantero dunia. Begitu pula dengan bangsa Arab, Persia, Romawi, India, China, Indian, dll.

Tapi, bangsa kita khususnya orang Jawa pun memiliki kemampuan dalam olah kata (filsafat) ini. Ia tersebar di dalam beberapa media, termasuk yang termaktub di dalam serat-serat sejarah dan melalui tradisi lisan. Ini terjadi dengan sebuah kesadaran yang tinggi, karena memang sudah menjadi falsafah bangsa ini selama berabad-abad. Mereka tidak kalah dengan bangsa-bangsa lainnya, bahkan menurut saya lebih hebat dari semua bangsa di dunia.

Untuk membuktikan hal tersebut, mari ikuti penelurusan berikut ini:

1. Tentang konsep ketuhanan (tauhid)
“Pangeran iku ora ono sing padho. Mulo ojo nggambar-ngambarake wujuding Pangeran”
artinya: Tuhan itu tak ada yang bisa menyamainya. Oleh sebab itu jangan menggambar-gambarkan wujud Tuhan.

“Pangeran iku dudu dewo utowo manungso, nanging sekabehing kang ono iku, uga dewa lan manungso asale soko Pangeran”
artinya: Tuhan itu bukan dewa atau manusia, namun segala yang ada ini, termasuk dewa dan manusia itu berasal dari Tuhan.

“Pangeran iku biso ngawohi kahanan opo wae tan keno kinoyo ngopo”
artinya: Tuhan itu bisa mengubah segalanya tanpa mungkin dapat diperkirakan manusia.

“Pengeran iku kuaso tonpo piranti, mulo soko kuwi ojo darbe pengiro yen manungso iku biso dadi wakiling Pangeran”
artinya: Tuhan itu berkuasa tanpa menggunakan alat pelengkap apa pun, oleh sebab itu jangan beranggapan manusia itu dapat mewakili Tuhan.

“Pangeran biso ngerusak kahanan kang wis ora diperlokake, lan biso gawe kahanan anyar kang diperlokake”
artinya: Tuhan itu bisa merusak sesuatu yang tidak diperlukan, dan bisa menciptakan sesuatu yang baru yang diperlukan.

“Ora ono kesakten sing mandhi papesthen, awit papesthen iku wis ora ono sing biso murungake”
artinya: Tidak ada kesaktian yang bisa menyamai kepastian Tuhan, karena tidak ada yang dapat menggagalkan kepastian Tuhan.

“Owah ono gingasring kahanan iku soko kersaning Pangeran Kang Murbahing Jagad”
artinya: Perubahan itu hanya atas kehendak Tuhan Yang Menguasai Jagad (alam semesta).

2. Tentang konsep Tuhan dan manusia
“Weruh marang Pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe. Lamun durung weruh awake dhewe, tangeh lamun weruh marang Pangeran”
artinya: Mengakui adanya Tuhan berarti sudah mengenal dirinya sendiri. Jikalau belum mengetahui dirinya sendiri mustahil dapat mengenal Tuhan.

“Gusti iku sambatan naliko siro lagi nandhang kasengsaraan. Pujinen yen siro lagi nompo kanugerahing Gusti”
artinya: Sebutlah nama Tuhan jika engkau sedang menderita sengsara. Bersyukurlah pada-Nya jika engkau mendapat anugerah.

“Gusti iku dumunung ono jeneng siro pribadi, dene ketemune Gusti lamun siro tansah eling”
artinya: Tuhan itu ada dalam dirimu sendiri, dan pertemuan dengan-Nya akan terjadi jika engkau senantiasa ingat kepada-Nya.

“Ojo lali saben ari eling marang Pangeran niro. Jalaran sejatine siro ikuh tansah katunggon Pangeraniro”
artinya: Jangan lupa setiap hari untuk mengingat Tuhan. Sebab hakikatnya engkau selalu di jaga oleh Tuhanmu.

“Lamun ono jaman ora kepenak siro ojo lali nyuwun pangapuro marang Pangeran. Jalan Pangeraniro bakal aweh pitulungan”
artinya: Jikalau mengalami keadaan (zaman) yang tidak enak, jangan lupa memohon ampun kepada Tuhan. Karena Tuhan akan memberi pertolongan-Nya kepadamu.

“Sing sopo nyembah lelembut iku keliru. Jalaran lelembut iku sejatine rowangiro, lan ora perlu disembah koyo dene menembah marang Pangeran”
artinya: Menyembah makhluk halus itu keliru. Sebab makhuk halus itu sebenarnya adalah temanmu, dan tidak perlu di sembah seperti Tuhan.

“Sing sopo seneng ngerusak katentremaning liyan bakal di bendu dening Pangeran lan dielehake dening tumindake dhewe”
artinya: Barang siapa suka merusak ketenteraman orang lain akan mendapatkan murka Tuhan, dan akan di gugat karena ulahnya sendiri.

3. Tentang hakekat diri
“Lamun siro kepengin wikan marang alam jaman kelanggenan, siro kudu weruh alamiro pribadi. Lamun siro durung mikani alamiro pribadi adoh ketemune”
artinya: Jikalau engkau ingin mengetahui alam abadi, engkau harus lebih dulu mengenali alam pribadimu. Kalau engkau belum mengetahui alam pribadimu, masih jauhlah alam abadi itu dari dirimu.

“Lamun siro durung wikan kadangiro pribadi, cubo dulunen siro pribadi”
artinya: Jikalau engkau belum mengetahui alam pribadimu, maka tanyakanlah kepada yang mengetahuinya.

“Lamun siro wis mikani alamiro pribadi, alam jalan kalanggengan iku cedhak tanpo senggolan, adoh tanpo wangean”
artinya: Jikalau engkau telah mengetahui alam pribadimu, alam abadi akan menjadi dekat tanpa dengan menyentuhnya, jauh dari dirimu tanpa ada yang membatasinya.

“Lamun siro wis mikani alamiro pribadi, mara siro mulango marang wong kag durung wikan”
artinya: Jikalau engkau telah mengetahui alam pribadimu, hendaklah engkau mengajarkannya kepada yang belum mengetahui.

“Kadangiro pribadi ora bedo karo jeneng siro pribadi, gelem nyambut gawe”
artinya: Terkadang pribadimu itu tidaklah berbeda dengan dirimu sendiri, suka bekerja.

“Kahanan kang ono iki ora suwe. Mesthi ngalami owah gingsir. Mulo ojo lali marang sapadha-padning timitah”
artinya: Keadaan yang ada ini tak lama. Pasti mengalami perubahan. Oleh karena itu jangan melupakan sesama hidup.

“Rame ing gawe, sepi ing pamrih”
artinya: Selalu rajin bekerja dan tidak mengharapkan pamrih.

“Kudu angon wektu”
artinya: Harus pandai memperhatikan suasana.

4. Tentang konsep hidup
“Donya iki dalan iyo kudu diambah mesthine. Amanging dudu benere yen dirungkebana. Sing sopo ngambah dalan kudu sumurup kang ono ing ngarepa sanadyan diparanono mung bakal diliwati bae”
artinya: Dunia ini ibarat jalan yang harus ditempuh apa mestinya. Tapi bukan kebenaran yang dituju. Siapa bakal menempuh jalan harus tahu yang di depannya, meskipun akan didatangi, hanya di lewati saja.

“Urip iku ing donya tan lami. Umpamane jibeng menyang pasar tan langgeng neng pada wae, tan wurung nuli mantuk raring wismane sangkane uni. Ing mengko ojo samar sangkan paranipun ing mengko podho weruh yen asale sangkan paran duking nguni ojo nganti kesasar”
artinya: Hidup di dunia itu tidak lama. Ibarat orang pergi ke pasar tak abadi di pasar saja, kemudian juga pulang pada rumah asalnya itu. Nantinya jangan cemas asal mulanya tadi pada saatnya sama tahu kalau asal mula kehidupan tersebut jangan sampai tersesat.

“Sing sopo mung arep gawe seriking liyan, kuwi uga arep memahi ciloko”
artinya: Barang siapa yang membuat sakit hati orang lain, ia juga akan celaka.

“Sing sopo seneng udur, iku bakal keno bebendu dening Pangeran”
artinya: Barang siapa yang suka bertengkar, akan terkena amarah/hukuman Tuhan.

“Wani marang penggawe kang ora bener, kuwi kaholong titah kang orang becik tumindahke”
artinya: Berani menjalankan perbuatan yang tidak baik, itu tergolong makhluk yang tidak baik tabiatnya.

“Mungsuh sing wis nungkul ojo dipateni”
artinya: Musuh yang sudah menyerah jangan di bunuh.

5. Tentang konsep keluarga
“Sing sopo mung arep oleh wae nanging emoh kangelan, iku aran wong kesed. Iku kabeh ojo ditiru, jalran keluarwargo lan bongso uga rugi”
artinya: Barang siapa yang hanya ingin enaknya saja, tapi tidak suka bekerja keras, itu orang yang malas. Itu semua jangan ditiru, sebab keluarga dan bangsa juga rugi.

“Wong tuo kudu memulung kang prayogo marang putra wayah”
artinya: Orang tua harus mengajarkan yang baik dan pantas kepada anak cucunya.

“Anane keluwargo baek margo wong-wonge batik. Mulo ojo darbe pengiro lamun wong-wonge podho olo kaluwargane bisa batik”
artinya: Kaluarga akan baik jika anggota keluargnya baik. Oleh karena itu jangan berpikir bahwa keluarga akan menjadi baik jika anggotanya tidak baik.

“Sedulur iku apik lamun kabeh darbe panjangka amrih rahayu”
artinya: Saudara itu baik kalau semuanya mencita-citakan kebahagiaan.

“Wong tuo ora keno dadi mungsuhe anake”
artinya: orang tua tidak boleh menjadi musuh anaknya.

“Cedhak keluwargo kang becik, enajan ketularan becik”
artinya: Dekat dengan keluarga yang baik, tentu akan ketularan yang baik.

“Mikul dhuwur, mendem jero”
artinya: memikul tinggi, memendam dalam (nasehat agar anak bisa menjaga nama baik keluarga dan menutup rapat aib keluarga)

6. Tentang konsep bertetangga
“Tonggo iku podho karo bapak biyung”
artinya: Tentanggga itu sama dengan bapak dan ibu.

“Sing sopo ora seneng tetanggan kelebu wong kang ora becik”
artinya: Barang siapa yang tidak suka hidup bertetangga tergolong orang yang tidak baik.

“Tonggo kang ora becik atine ojo dicedhaki, nanging oo dimusuhi”
artinya: Tetangga yang tidak baik hatinya jangan di dekati, tetapi jangan pula di musuhi.

“Tonggo iku singkirono lamun darbe sipat kang kurang prayogo”
artinya: Jauhi tetangga yang mempunyai sifat tidak sepantasnya.

“Tetangga iku kadyo ulo umpamane, keno diingu nanging yo gelem nyokot”
artinya: Tetangga itu seumpama ular, bisa dipelihara tapi juga mau menggigit.

“Tonggo sing gelem tetulung iku titenono. Yen mangku arep iku bakal ketoro. Nanging yen sarana bebarengan urip bakal dadi konco selawase”
artinya: Perhatikan tetangga yang suka menolong. Kalau punya pamrih pasti lekas terlihat. Tetapi kalau hanya sebagai sarana hidup bersama, akan menjadi teman selamanya.

7. Tentang konsep menuntut ilmu
“Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas. Tegese kas nyantosani. Setya budya pangekese dur angkoro”
artinya: Ilmu itu terwujud dengan laku. Di mulai dengan kemauan. Kemauan membuat sentosa. Budi setia penghancur nafsu angkara.

“Sasmitaning ngaurip puniki yekti ewuh yen nora weruha. Tan jumeneng ing uripe. Sakeh kang ngaku-aku pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu rasaning rasa punika. Upayanen darapon sampurneng dhiri ing kauripaniro”
artinya: Makna kehidupan itu sungguh sayang bila tak tahu. Tidak kokoh hidupnya. Banyak orang mengaku perasaaanya sudah utama, padahal belum tahu rasa, rasa yang sesungguhnya. Hakikat rasa itu adalah usahakan supaya diri sempurna dalam kehidupan.

“Yen siro nggeguru kaki amiliha manungsa kang nyoto. Ingkang becik martabate sarto kang weruh ing khukum. Kang ibadah lan kang wirangi sokur oleh wong topo. Iya kang wus mungkul tan mikir piwewehing liyan. Iku panyes yon den gurunono kaki sertane kawrihana”
artinya: Jika kamu berguru pilihlaj manusia nyata. Yang baik martabatnya serta tahu hukum. Yang beribadah dan sederhana syukur dapat bertapa. Yang sudah menanggalkan pamrih pemberian orang. Itu pantas kamu berguru serta ketahuilah.

“Lamun ono wong micoro ilmu, tan mufakat ing patang prekoro, ojo siro age-age. Anganggep nyatanipun saringono dipun bersih limbangen kang patang prekoro rumuhun dalili hadis lan ijmak lan kiyase papat iku salah siji adate kang mufakat”
artinya: Kalau ada orang yang bicara ilmu, tak setuju empat perkara, jangan cepat-cepat percaya padanya. Saringlah yang teliti, pertimbangkan empat hal perkara terdahulu, dalil hadits dan ijma` dan keempat Qiyas. Semua telah disepakati.

“Wong kang ahli sastra ingarane luhur sastrane. Layak yen mangsi lan kertas. Pantes yen luhur ngakal ning sastra suraosipun. Luhur sejatining sastra, sastra praboting negoro. Lumaku saben dino mang migar pradata hukum, sanadyan tan kanthi ngakal”
artinya: Orang yang ahli sastra disebut luhur sastranya. Tepat jika tinta dan kerta. Patas jika luhur akalnya pada satra maknanya. Luhur sejatinya sastra, sastra sarana negara. Berjalan tiap hari serta wujud perdata hukum, meskipun tiada dengan akal.

8. Tentang konsep kepemimpinan dan bernegara
“Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”
artinya: Seorang pemimpin itu harus bisa berada di depan sebagai suri tauladan, harus bisa berada di tengah untuk senantiasa membaur dengan rakyatnya dan sebagai pengayom, dan harus bisa berada di belakang sebagai motivator demi kemajuan yang dipimpinnya.

“Lamun ono penguasane asale soko wong olo, iku ora luwes bakal konangan alane. Sebab kabeh mau wis kewoco soko tumindhake panguasa mau”
artinya: Jikalau ada penguasa yang tidak berasal dari orang yang baik, tiada lama pastinya akan ketahuan jeleknya. Sebab akan tampak dari tindakan si penguasa itu.

“Janma iku tan keno kiniro kinoyo ngopo. Mula ojo siro seneng ngaku lan rumongso pinter dhewe”
artinya: Manusia walau bagaimanapun tidak bisa diterka. Oleh karena itu janganlah engkau suka mengaku dan merasa paling pandai.

“Ratu iku durung mesthi kepenak uripe, lamun ora biso ngaweruhi kawulane”
artinya: Penguasa itu belum tentu enak hidupnya, bila tak mengetahui aspirasi rakyatnya.

“Ratu kang mung seneng uripe margo akeh bandane, ing tembe matine orang kajen. Mulo dadi rata ojo sawiyah-wiyah marang kawulane”
artinya: Penguasa yang enak hidupnya hanya karena banyak harta benda kelak matinya tak akan terhormat. Oleh sebab itu jangan kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

“Ratu kang murang sarak iku ojo diajeni, jalaran ratu kang koyo mengkono iku gawe rusaking negoro”
artinya: Penguasa yang kejam dan serakah jangan dihormati, sebab penguasa yang seperti itu akan merusak negara.

“Ratu iku kudu gawe tentrem poro kawulane, mergo yen ora mengkono biso dadi kawulane ngrebut negoro”
artinya: Penguasa itu harus bisa membuat tenteram rakyanya, karena jika tidak rakyatnya akan merebut kekuasaan dalam negara itu.

“Pathokaning negoro iku dumunung ono angger-anggering negoro”
artinya: Tiang sebuah negara itu terletak pada undang-undang negara.

“Dhasaring negoro iku ono limo, kapisan paserah anane negara iki marang kang Murbeng Dumadhi. Kapindo percoyo marang anane manungso iku soko kang Murbeng Dumadhi. Kaping telu ojo siro ngilwatake bongso niro pribadi. Kaping papat siro ojo mung kepingin menang dhewe, mulo perlu rerembungan amrih becike. Kaping limo kewajiban aweh sandhang kalawan pangan lan uga njogo katentraman lehir kalawan batin”
artinya: Dasar sebuat negara itu adal lima. Pertama, pasrah adanya negara kepada Tuhan. Kedua, percaya bahwa manusia itu adanya dari Tuhan. Ketiga, jangan mengabaikan bangsamu sendiri. Keempat, engkau jangan ingin menang sendiri, karena itu harus suka bermusyawarah bagaimana baiknya. Kelima, berkewajiban memberi sandang dan papan serta ketenteraman lahir batin.

“Bongso iku minangka sarana kuwating negoro. Mulo ojo ngiwarake kebangsaniro pribadi. Supoyo kenugerhan bongso kang handana warih”
artinya: Bangsa itu sebagai sarana kuatnya negara. Oleh karena itu janganlah mengabaikan rasa kebangsaanmu sendiri, agar memiliki bangsa yang berjiwa kesatria.

“Para muda ojo ngungkurake kawruh kang nyoto, amrih karya ungguling bongso lan biso gawe rahayuning sesama”
artinya: Para pemuda jangan mengabaikan ilmu pengetahuan yang nyata, agar negaranya menjadi makmur
dan dapat membuat keselamatan sesamanya.

*****

Tambahan: Kemampuan di bidang lainnya

1. Sistem penanggalan musim, bukti kepandaian ilmu astronomi
Seperti kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, masyarakat asli Indonesia sudah sejak lama menaruh perhatian pada langit. Pengamatan langit digunakan dalam pertanian dan pelayaran.

Dalam masyarakat Jawa dikenal pranatamangsa, yaitu peramalan musim berdasarkan gejala-gejala alam, dan umumnya berhubungan dengan tata letak bintang di langit. Menurut Daldjoeni di bukunya “Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa”, Pranoto Mongso tergolong penemuan brilian. Kompleksitasnya tak kalah bobot dari sistem penanggalan yang ditemukan bangsa Mesir Kuno, China, Maya, dan Burma. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan model Farming Almanac ala Amerika, Pranata Mangsa jauh lebih maju.

Gambar 1: Pranoto mongso (kalender musim)

Meskipun teknologi sudah semakin canggih seperti sekarang ini, penerapan perhitungan pranata mangsa masih relevan. Hal itu dikarenakan nenek moyang kita dulu mempelajari gejala-gejala alam seperti musim hujan/kemarau, musim tanaman berbunga/berbuah, posisi rasi bintang, pengaruh bulan purnama, dan sebagainya. Dengan mempelajari gejala-gejala alam tersebut nenek moyang kita dapat lebih menghargai kelestarian alam.

2. Teknologi terbaik dalam menempa logam, tidak ada bandingannya di dunia
Teknologi logam sudah lama berkembang sejak awal masehi di nusantara. Para empu sudah mengenal berbagai kualitas kekerasan logam. Keris memiliki teknologi penempaan besi yang luar biasa untuk ukuran masyarakat di masa lampau.

Gambar 2. Foto: Keris Nogo Sosro Sabuk Inten

Keris dibuat dengan teknik penempaan, bukan di cor. Teknik penempaan disertai pelipatan berguna untuk mencari kemurniaan besi, yang mana pada waktu itu bahan-bahan besi masih komposit dengan materi-materi alam lainnya. Keris yang mulanya dari lembaran besi yang dilipat-lipat hingga kadang sampai ribuan kali lipatan sepertinya akan tetap senilai dengan prosesnya yang unik, menarik dan sulit. Perkembangan teknologi tempa tersebut mampu menciptakan satu teknik tempa Tosan Aji ( Tosan = besi, Aji = berharga).

Pemilihan akan batu meteorit yang mengandung unsur titanium sebagai bahan keris, juga merupakan penemuan nenek moyang kita yang mengagumkan. Titanium lebih dikenal sebagai bahan terbaik untuk membuat keris karena sifatnya ringan namun sangat kuat. Kesulitan dalam membuat keris dari bahan titanium adalah titik leburnya yang mencapai ±1.600 derajat celcius, jauh dari titik lebur besi, baja atau nikel yang berkisar ±1.100 derajat celcius.

Titanium ternyata memiliki banyak keunggulan dibandingkan jenis unsur logam lainnya. Unsur titanium itu keras, kuat, ringan, tahan panas, dan juga tahan karat. Unsur logam titanium baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri pada sekitar tahun 1940, dan logam yang kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dari besi. Dalam peradaban modern sekarang, titanium dimanfaatkan orang untuk membuat pelapis hidung pesawat angkasa luar, serta ujung roket dan peluru kendali antar benua.

Sebenarnya masih banyak lagi teknologi-teknologi yang digunakan oleh nenek moyang kita yang tidak dituliskan disini. Seperti dalam teknologi perkapalan, pembangunan gedung (candi), dan berkesenian.

*****

Sungguh, dengan memahami setiap makna dari falsafah di atas, maka terlihat jelas bahwa orang Jawa memiliki kemampuan budaya yang sangat tinggi. Dan ini baru segelintirnya saja, karena masih banyak lagi yang lain namun tidak bisa disampaikan disini. Sehingga tidak salah bila dikatakan melebihi peradaban bangsa-bangsa lain di dunia.

Sebuah kebanggaan yang tak terkira, karena leluhur kita telah mewariskan sesuatu yang sangat berharga. Tapi, sangat disayangkan bahwa saat ini banyak dari kita – termasuk orang Jawa – yang sudah tidak lagi memahami falsafah ini. Bahkan tinggal sedikit saja yang masih mengenal dan mau mengenalinya. Sehingga tidak usah heran bila keadaan negara ini pun terkena dampak buruknya. Makin lama maka kian carut marut saja tatanan kehidupannya, karena para pemimpinnya sendiri – khususnya orang Jawa – sudah tidak mau lagi menjadikan falsafah Jawa ini sebagai pedoman hidup. Sehingga yang tertinggal hanyalah “Akeh wong jowo, ning ora jowo: Banyak orang Jawa, tapi tidak jowo (benar)

Semoga dengan adanya tulisan ini semakin menyadarkan kehidupan kita, bahwa di dalam diri kita ini – khususnya warisan leluhur – telah memiliki kemampuan yang besar dan tidak akan kalah dengan bangsa lainnya di dunia. Agar kian bertambah cinta pada warisan leluhur dan terus percaya diri demi kemajuan negara.

Yogyakarta, 07 Januari 2012
Mashudi Antoro (Oedi`)