Senin, 31 Oktober 2016

Abah Anom sang ma'rifatullah

Abah Anom] Ma'rifatullah sebagai ilmu sejati

 Minggu, 30 Oktober 2016  Tokoh Moderat

MusliModerat.net - Menurut Pangersa Abah Anom walaupun seseorang memiliki kemampuan luar biasa bisa terbang, tubuh menjadi seribu dalam satu waktu, berjalan di atas air dan lain sebagainya, belum dianggap mencapai kesempurnaan kalau belum berma’rifat kepada Allah. 

Banyak orang yang telah menjadi murid Abah Anom, sering sowan ke Suryalaya untuk mengadu berbagai masalah yang telah menimpanya kepada Abah Anom tetapi Abah Anom hanya menjawab: 'teruskan dzikirmu!’.

Bahkan meskipun dalam berdzikir sampai bisa terbang dan melayang-layang ke udara, lalu mengadu ke Abah, tapi Abah menjawab: ’teruskan dzikirmu, itu belum sempurna !!’. sampai ada juga yg pernah ketika berdzikir, lalu ketika menengok ke kanan, beliau melihat Rasulullah Saw dan ketika menengok ke kiri, melihat Syeikh Abdul Qodir Al-Jailaniy. Lalu sowan lagi ke tempat Pangersa Abah Anom, tapi lagi-lagi Abah menjawab: ’teruskan dzikirmu, karena itu belum sempurna !!’.

Abah Anom juga selalu mengetahui apabila ada diantara muridnya yang menyukai ilmu-ilmu kanuragan maupun kadigdayaan, maka beliau berpesan: letakkan dulu keilmuan yang telah engkau pelajari kemarin dan amalkanlah dzikir laa ilaaha illaalloh karena dzikir ini ibarat nasi, kalau sudah matang tinggal mencari lauk pauknya.

Karena keilmuan keparanormalan, kedigdayaan/kanuragan tersebut hanya tingkat kekanak-kanakan menurut Wali Mursyid yang Agung Pangersa Abah Anom (yang hakikatnya juga menurut Alloh). Ilmu semacam itu hanya mampu menembus alam jin, tapi tak mampu menembus alam Jabarut dan alam Lahut.

Minggu, 23 Oktober 2016

WAYANG CAK NUN Oleh Ki Sigit Ariyanto

Wayang Cak Nun oleh Ki Sigit Ariyanto

CAKNUN.COM  •  24 Oktober 2016#Berita #Hari Santri #Maiyahan#Reportase

Cak Nun ditemui oleh Petruk, yang menyampaikan keinginan agar Cak Nun juga mengayomi para dalang di Indonesia, dan mengajak mereka Maiyahan.

Pementasan Wayang yang dimainkan oleh Ki Sigit Ariyanto telah dipersilakan dimulai oleh Cak Nun. Bersama para seluruh hadirin, Cak Nun dan semua personel KiaiKanjeng menikmati cerita yang dibangun dengan tema santri. Cak Nun menyebut pementasan ini sebagai ijtihad. Para niyogo Ki Sigit membuka dengan serangkaian shalawat yang diringi oleh musik gamelan Jawa dan memberikan nuansa yang berbeda dengan wayang pada umumnya, nuansa yang memadukan khasanah Jawa dan Islam.

Pementasan Wayang oleh Ki Sigit Ariyanto. Foto: Adin.

Saat goro-goro tiba, Ki Sigit mengeluarkan satu bilah wayang yang tak lazim. Yakni wayang bergambarkan Cak Nun mengenakan baju putih dan peci Maiyah merah putih. Cak Nun ditemui oleh Petruk yang mewakili komunitas Obrolan Santri Rembang. Dengan penuh takdzim Petruk mengungkapkan kebahagiaannya karena lama Cak Nun tak hadir di Rembang. Petruk menyampaikan keinginan agar Cak Nun juga mengayomi para dalang di Indonesia, dan mengajak mereka Maiyahan. Juga Obrolan Santri Rembang bisa menjadi Embrio Maiyah di Rembang.

Saat sore tadi, KiaiKanjeng transit di kediaman Ki Sigit dan sudah berembug untuk kolaborasi pada ending pementasan, yaitu membawakan Syi’ir Tanpo Waton. Di pendopo rumah Ki Sigit terpajang foto Ki Sigit dengan Cak Nun saat sowan di Kadipiro dan menyerahkan Gunungan Gapuran kepada Cak Nun. Ki Sigit memetik banyak khasanah nilai dari Cak Nun ihwal Jawa dan Islam.

Cak Nun ditemui oleh Petruk. Foto: Adin.

Lakon ringkas itu telah selesai, dan kini KiaiKanjeng meneruskan dengan Syi’ir Tanpo Waton. Jamaah diajak serta, dan semuanya mengikuti. Cak Nun lantas menegaskan, wayang tadi merupakan contoh pekerjaan besar yang hanya bisa dilakukan oleh orang Jawa. Wayang bukan sekadar tontonan dan hiburan. Wayang menggendong tata nilai kehidupan manusia. Wayang juga memuat kebesaran jiwa manusia yang mampu mentertawakan dirinya. Wayang akan abadi sampai ke sorga. (hm

Selasa, 18 Oktober 2016

Selama Tidak Melanggar Syariat NU Rangkul Tradisi Nusantara

Selama Tak Melanggar Syariat, NU Rangkul Tradisi Nusantara

Ilustrasi

Mahbib, NU Online | Kamis, 04 Agustus 2016 07:15

Sijunjung, NU Online
Nahdlatul Ulama tidak pernah menolak tradisi Nusantara, selama hal itu tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits. Selagi itu budaya positif, NU tak segan mengakomodasi tradisi tersebut dalam kehidupan beragama.

Hal itu disampaikan Ketua PCNU Kabupaten Sijunjung Buya Bustamam Habib pada acara halal bihalal PCNU Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, Rabu (3/8/2016) di Mesjid Raya Baiturrahman Sungai Lansek, Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung.

Buya Bustamam mencontohkan, tradisi halal bihalal yang dilakukan mayoritas umat Islam di Indonesia tidak diterangkan secara eksplisit di dalam Al-Qur'an dan Hadist Nabi. Namun, halal bihalal ini sangat dianjurkan karena menjadi sarana meningkatkan silaturahim.

Di bagian lain Buya Bustaman menyebutkan, semangat ber-NU terbersit dari nilai-nilai perjuangan NU di masa silam untuk bangsa Indonesia. Selain ideologi Islam Ahlussunnah wal Jama'ah yang tertanam di dalam diri setiap individu masyarakat NU juga nilai bahwa NKRI adalah sebuah kajian final untuk sebuah negara yang wajib ditaati oleh setiap warganya. 

Dari awal perjuangan sampai kepada kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, NU berkomitmen untuk menjaga dan merawat bangsa Indonesia secara utuh. Maka, kecintaan masyarakat NU harus dibuktikan dengan kembalinya ke pesantren dan masjid. 

“Seperti yang kita lakukan pada saat ini. Bukti pertama bahwa PCNU Kabupaten Sijunjung sedang mendirikan pesantren Nurul Ilmi,” kata Buya Busatamam Habib yang juga akan mengasuh dan memimpin langsung pesantren tersebut.

Bukti kedua bahwa PCNU Kabupaten Sijunjung dalam setiap acara dilakukan di masjid mulai dari pelantikan MWC NU sampai dengan perayaan-perayaan hari besar. 

Halal bihalal dihadiri lebih kurang 300 jamaah dengan penceramah Buya Hendri Malin Sulaiman yang juga ulama NU Kabupaten Sijunjung. 

Turut memberikan sambutan Staf ahli Bupati Kabupaten Sijunjung Syahril dan hadir juga Kasi Pontren Kemenag Sijunjung Yoni Hendra, Dandim, MWCNU, camat dan wali wagari setempat. (Armaidi Tanjung/Mahbib)

Senin, 10 Oktober 2016

KALAU ADA ORANG KAFIR ADIL YA TIDAK BISA DI SEBUT KAFIR DONG

KHAS–Cak Nun: “Kalau Ada Pemimpin Adil, Ya Tidak Bisa Disebut Kafir Dong”

ShareTweetPinMail

IslamIndonesia.id – Cak Nun: Kalau Ada Pemimpin Adil,  Ya Tidak Bisa Disebut Kafir Dong

 

Di depan ribuan pasang mata yang menghadiri acara Mocopat Syafaat, Bantul (17/7), budayawan Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa sebelum Islam datang, orang Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.

“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini mulai menyinggung perbedaan simbol dan substansi.

Penulis buku ‘Slilit Sang Kiai’ ini lalu berbicara tentang khazanah substansial dalam Islam yang telah dijalankan oleh para leluhur khususnya di tanah Jawa seperti ‘Gusti Allah ora sare, mo limo,’ hingga konsep tentang ‘kualat’. Setelah datangnya Islam ke Nusantara, Al-Qur’an membahasakan konsep ‘kualat’ seperti dalam ayat, “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 8)

Namun, menurut Cak Nun, ‘perkawinan’ Islam dengan manusia dengan segala kapasitas sepiritiual dan intelektualnya itu, juga melahirkan ragam tingkatan seorang Muslim. Level pertama adalah Muslim yang keislamannya mengandalkan simbol atau ikon kultural.

“Jadi, Islam itu cukup diwakilkan oleh simbol-simbol kultural.”

Sebagian orang menilai keislaman seseorang jika terlihat memakai jilbab, peci, serban, tasbih dan simbol-simbol lainnya. Lebih dalam lagi, jika telah terlihat beribadah seperti shalat, zakat, atau haji. “Pokoknya, ada tanda-tanda yang terjangkau oleh panca indra.”

Perdebatan pada tahap ini juga hanya seputar tanda-tanda lahiriah. Cak Nun lalu memberi contoh jamaah masjid yang ribut hanya karena perbedaan tinggi-rendahnya tirai pembatas antara pria dan perempuan. Orang yang memiliki pandangan dunia Islam sebatas ini akan kaget dengan realitas tidak berbanding-lurusnya simbol yang dibangga-banggakan itu dengan akhlak mulia.

“Yang penting dia hafal Al-Qur’an, sudah dianggap baik banget. Kemudian kaget, ternyata koruptor juga suka Yasinan. Bahkan, undangan pembagian uang korupsi itu disebut Tahlilan,” katanya sambil kembali menekankan bahwa simbol juga penting tapi Islam tidak sebatas simbolik.

Jika menyelam lebih dalam sedikit, akan sampai pada mazhabiyah. Mazhabiyah indikasinya ideologis, adanya sistem nilai, orang telah berpikir tentang negara Islam atau tidak, kesultanan atau kerajaan dan seterusnya. Tak lupa Cak Nun menyebutkan kelompok-kelompok pengusung khilafah Islamiyah di Indonesia sebagai salah satu contoh.

Sayangnya, tidak jarang kekuasaan yang berperan pada tingkat ini. Cak Nun lalu berbicara tentang fikih yang diejawantahkan sebagai pasal-pasal selama berabad-abad untuk kepentingan penguasa. “Apalagi Anda tahu sifat sejarah. Sejarah itu milik orang yang menang, orang yang berkuasa. Apabila Anda tidak punya kritisisme pada informasi sejarah berarti Anda orang yang kalah.”

Ditambah lagi, kata pria kelahiran Jombang ini, nasib ijtihad dalam umat Islam sudah sangat memprihatinkan. Sampai hari ini, di sejumlah belahan umat Islam berada, pemikiran Islam hampir tidak berkembang lagi.

Pada tingkat selanjutnya bukan lagi simbolik, bukan lagi sistem nilai tapi tingkat ruhani. Cak Nun mencontohkan orang-orang yang mencari kebenaran dan datang ke tempat-tempat diskusi untuk mencari ilmu sejatinya dia datang secara ruhani. “Anda ke sini bukan karena jasad Anda, tapi karena ruhani Anda. Seandainya Anda bisa ke sini hanya dengan ruh, pasti Anda ke sini tanpa jasad.”

Sejauh pantauan IslamIndonesia, malam itu orang-orang yang hadir memadati pelataran tempat acara berlangsung  hingga ke jalan-jalan kampung. Meski dibantu dengan ‘layar raksasa’, masih banyak orang yang tidak bisa melihat langsung para nara sumber di panggung. Mereka itu, kata Cak Nun, tidak lagi butuh melihat wajah pembicara tapi yang mereka cari ialah kebenaran.

Ruhani, menurut Cak Nun, itu pun strukturnya bermacam-macam, dari kulit arinya ruh yaitu kesadaran-kesadaran teknis, sampai masuk sedikit yaitu mesin akal sampai kemudian naluri, gelombang ruhani, “hingga tajalli (manifestasi) Allah di dalam jiwa Anda.”

Jika konsisten dengan pandangan dunia Islam ini, dikotomi kesalehan individual dan kesalehan sosial juga terlalu dangkal. Bagi Cak Nun, jika perilakunya merusak di ranah sosial, sejatinya tidak layak disebut saleh meski secara lahir terlihat saleh. Karena orang saleh (secara individu) akan saleh secara sosial. Tidak berbeda dengan dikotomi Muslim yang zalim dan kafir yang adil.

“Kalau ada pemimpin yang zalim ya tidak bisa disebut Muslim dong. Dan kalau ada pemimpin yang adil, ya tidak bisa disebut kafir.

Rabu, 05 Oktober 2016

GURU BANGSAKU GUS DUR & CANDANYA

Almarhum Nurcholis Madjid (Cak Nur) sambil bercanda pernah berkata: “Hal yang misterius dan hanya Tuhan yang tahu, selain jodoh, maut, dan rezeki, adalah Gus Dur”.

Gus Dur -allah yarham,- memang begitu misterius, hingga sikap, ucapan dan kebijakan beliau sering disalah pahami orang lain, bahkan oleh sebagian warga Nahdhiyin (NU) sendiri. Apalagi musuh-musuh beliau menilai bahwa ucapan dan sikap beliau tidak masuk akal, malah mereka "men-cap" beliau sebagai orang gila.

Namun belakangan terlebih setelah Gus Dur wafat, sikap dan ucapan beliau yang dianggap tidak masuk akal ternyata terbukti benar. Seperti yang diceritakan para tokoh Vatikan, saat Gus Dur menjabat sebagai ketua PBNU, beliau mengunjungi Vatikan. Dan sambil guyon Gus Dur berkata bahwa beliau akan datang lagi ke Vatikan tapi tidak sebagai ketua PBNU tapi sebagai seorang Presiden.

Ucapan Gus Dur hanya dianggap candaan oleh para tokoh Vatikan. Dan ternyata pada kunjungan selanjutnya membuat tokoh Vatikan terkaget-kaget, Gus Dur memang datang sebagai seorang Presiden. Itulah mengapa beliau dijuluki "santo" oleh para tokoh Vatikan.

Saat Gus Dur diminta pertanggung jawaban oleh DPR, dengan gagah berani beliau datang ke gedung bundar dan menghadapi anggota DPR. Di hadapan mereka semua dengan lantang Gus Dur mengatakan bahwa DPR seperti Taman Kanak-kanak.

Saat itu banyak anggota DPR yang tersinggung dan menuding Gus Dur gila. Tapi pada kenyataan yang kita lihat, ternyata benar apa yang dikatakan Gus Dur. Anggota DPR senang ketika jalan-jalan dan tidur ketika sidang, senang rebutan proyek, hobbynya meminta-minta dari #papa_minta_saham, #mama_minta_softex dan sekarang  #si_papa_malah_minta_kasur dan masih banyak lagi.

Pak Sutarman adalah ajudan Gus Dur, dan Gus Dur pernah berkata pada Pak Sutarman: "Nanti Pak Tarman akan jadi Kapolda Metro setelah itu Pak Tarman akan menjadi Kapolri." Pada saat itu Pak Sutarman hanya tertawa karena mengganggap itu tidak akan terjadi, bahkan bermimpi menjadi Kapo

ri-pun belum pernah. Dan tepat pada tanggal 23 Oktober 2013, Pak Sutarman resmi dilantik menjadi Kapolri oleh Presiden SBY.

Pada 8 Januari 2006, Gus Dur pernah mampir ke rumah dinas walikota Solo untuk bertemu dengan beberapa tokoh agama. Saat itu Bung Joko baru 6 bulan menjabat walikota. Dan pada hari itu Gus Dur berkata: “Siapapun yang dikehendaki rakyat, termasuk Pak Jokowi ini, kalau dia jadi Wali Kota yang bagus, kelak juga bisa jadi presiden." Bung Joko hanya senyam-senyum pada waktu itu.

Di pagi hari, Gus Dur meminta Kang Said (KH. Aqil Siradj) untuk menyediakan air putih dan roti tawar untuk sarapan. Lalu Gus Dur meminta Kang Said untuk membacakan kitab Ihya' Ulumuddin. Baru dibacakan dua paragraf Gus Dur sudah mendengkur. Lima menit kemudian beliau terbangun dan berkata pada Kang Said: "Sampean akan menjadi ketua PBNU di atas usia 55 tahun".

Pada Muktamar NU ke 30, Kang Said di usia 46 tahun mencalonkan diri menjadi ketua PBNU bersaing dengan KH. Hasyim Muzadi. Dan yang terpilih pada saat itu adalah KH. Hasyim. Dan pada muktamar NU ke 32, Kang Said mencalonkan diri lagi menjadi ketua PBNU dan beliau terpilih tepat di usia 56 tahun.

Setelah gagal menjadi gubernur Bangka Belitung, Koh Ahok bertemu Gus Dur dan Gus Dur berkata: "Kamu akan menjadi gubernur".

Guru Besar UGM Profesor Suhardi, pernah menjadi Dirjen di Departemen Kehutanan di era Gus Dur. Di ruang ICCU berapa hari sebelum Gus Dur wafat. Gus Dur berkata pada Pak Hardi: “Pak Hardi saya titip bangsa ini. Tolong ikut dikawal Pansus Century di DPR. Besok Kamis saya akan pulang ke Tebuireng dengan diantar banyak orang. Saya sudah ditunggu ayah saya di sana,"

Dan masih banyak lagi kisah misterius tentang Gus Dur. Dan yang membuat tertawa adalah perkataan Gus Dur pada Fidel Castro: "Saya menjadi presiden dipilih oleh orang-orang gila". Sekarang kita saksikan sendiri bagaimana perilaku mereka yang memilih Gus Dur pada masa itu. [Gusdurfiles.Com

SI MBAH MAIYAH

Catatan Setelah Tiga Hari Bermaiyahan)

Si Mbah

ZULFAISAL PUTERA  •  5 Oktober 2016#Maiyahan

Perempuan muda yang duduk paling depan kanan panggung itu tampak menangis. Sapu tangan yang diusapnya berulang-ulang tak mampu menahan curah air matanya. Wajahnya memerah.

Dia tidak sendiri. Ada banyak orang lagi saat itu yang sesenggukan menangis. Bibir-bibir mereka bergerak-gerak ikut melantun. Larut dalam kesahduan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yang tengah senandungkan Salawat Alfu Salam dan berlanjut Sidnan Nabi.

Zulfaisal Putera saat berkunjung ke Kadipiro.

Saya yang menyaksikan pemandangan itu dari atas panggung ini juga ikut terbawa keharuan yang sama. Sambil menikmati dan meniru lantunan syair-syair pujian kepada Rasullullah itu, pikiran saya terbawa kepada suasana pengajian Sekumpul yang dipimpin oleh almarhum Guru Zaini Ganie belasan tahun silam. Saat itu, ribuan orang bermajelis dua kali seminggu, selain untuk mendengarkan nasihat guru, juga bersama-sama bersalawat kepada baginda Rasul.

Atmosfer salawat guru Sekumpul itulah yang terasa saat acara Banjarmasin Bersyukur dalam rangka Hari Jadi ke-490 Kota Banjarmasin digelar. Cak Nun dengan warna suaranya yang khas dan indah  mampu memusatkan pikiran dan rasa penyaksi kepada satu titik : cinta Allah dan Rasulnya. Dan bukan hanya dilakukan Cak Nun saat pentas di Banjarmasin, yang masyarakatnya memang punya keterkaitan emosional dengan guru Sekumpul, tetapi juga di pengajian-pengajian lain di banyak tempat.

Setiap bulan, ada 5 pengajian rutin digelar Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Pertama, pengajian Phadangmbulan di Jombang tiap tanggal 15 bulan Hijriah atau saat purnama. Kedua, Mocopat Syafaat di Jogjakarta tiap 17 Masehi. Ketiga, Kenduri Cinta di TIM Jakarta tiap Jumat minggu kedua. Keempat, Gambang Syafaat tiap  25 Masehi. Dan kelima, Bambang Wetan di Surabaya, tiap 17 Hijriah. Juga puluhan pengajian lainnya di berbagai daerah. Di tempat-tempat itu, salawat nabi guru Sekumpul selalu dikumandangkan.

Itulah salah satu daya tarik pengajian yang digelar Cak Nun sejak 90-an. Dia sangat pandai menggerakan hati jamaah untuk lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya melalui salawat. Dia juga mampu mengisi ruang pikir dan hati dengan asupan ilmu dan hikmah, dari soal politik, ekonomi, dan agama. Semua disampaikan dalam tuturan dan kemasan seni yang mudah dicerna, oleh orang awam sekali pun. Tak heran jika pengajiannya punya banyak nama: tadabur atau perenungan, sinau atau pencerahan, atau ngaji bareng. Dari pengajian ini, Cak Nun punya pengikut yang militan: maiyah.

Maiyah bermakna kebersamaan. Nama ini dijadikan semacam sebutan bagi pengikut pengajian Cak Nun, ke mana dan di mana pun diadakan. Ada jutaan orang yang menyatu dalam simpul-simpul Maiyah di berbagai daerah. Dengan swadaya, mereka ‘diperjalankan’ dari kota ke kota, dan pulau ke pulau, bahkan menyeberang lautan, hanya untuk melingkar dalam pengajian Cak Nun. Saya menemukan beberapa orang militan semacam ini di banua. Mereka menyunting sedikit waktu untuk beredar dua sampai tiga tempat pengajian dalam sekali perjalanan.

Sekali pun titik sentral melingkar para jamaah Maiyah ini adalah Cak Nun, tetapi mereka tidak mengkultuskannya. Simbah, demikian biasa mereka menyebut, hanyalah guru, yang membagi pengetahuannya akan berbagai hal kepada murid-muridnya. Bagi mereka, bermaiyah bersama Cak Nun sama seperti sebuah proses recharger mind and soul. Ada semacam interaksi energi positif untuk terus berproses dalam meningkatkan pemahaman pentingnya  Allah dan agama dalam kehidupan.

Cak Nun sendiri tak mengistimewakan diri. Di setiap pengajiannya, dia berusaha tetap sama berkedudukan dan tak berjarak dengan jamaah. Misalnya, syarat tinggi panggung untuk pentasnya hanya sekitar 40-50 cm; jamaah langsung berhadapan dengannya tanpa dipisahkan oleh barisan pejabat yang biasanya duduk paling depan; dan semua lesehan. Cak Nun juga selalu membagi tugas bicara dan bersenandung dengan rekan di kiri kanannya dan membuka ruang tanya-jawab. Suasana semacam ini jarang ditemukan dalam pengajian-pengajian layaknya.

Cak Nun bukan sekadar sebuah fenomena melainkan juga keniscayaan. Di tengah krisis kepemimpinan, krisis idola, krisis kepercayaan akan tokoh spiritual dan motivator yang berkedok agama, kehadiran Cak Nun sejak belasan tahun lalu telah membuktikan sebuah keajekan keteladanan. Dia tidak bercokol di pusat kekuasaan, tetapi menyusur di tepi tepi kehidupan keseharian bersama rakyat kebanyakan. Tak heran jika kehadiran Simbah ini selalu dirindukan dan menyedot banyak jamaah untuk duduk bersama berjam-jam memahami hakikat kehidupan.