Rabu, 30 Agustus 2017

SANG PENDEKAR SEJATI YANG TAK PERNAH MATI CIREBON

SANG PENDEKAR SEJATI YANG TAK PERNAH MATI CIREBON

BISMILLAHIRROHMANIRROHIIM. ‘ALA HADZIHINNIYYATI WALIKULLI NIYYATIN SHOLIHAH BIBAROKATI UMMUL QUR’AN,AL-FATIHAH …….

ALLOHUMMA INNI AS ALUKAS SALAMATA WAL ‘AFIATA FIL IJAAZATI WAL KAROMATI WAL ISTIQOMATI, WAASALUKAL LOHUMMAR ROHMATA WAL BAROKATA WAL’INAYATA WALQUWWATA WASSAJAA’ATA FIDDIINI WADDUNYA WAL AKHIROH,TABAARUKAL LIASMAAILLAHI TA’ALA, AL-FATIHAH…….

Alaa Biidznillahi Ta’ala Wabiridhoillahi Wabi Barokatihi Wabi Syafaa’atihi Rosulillahi SAW.Ila Hadrotinnabiyyil Mustofa Sayyidina Muhammadin SAW,Wa ‘ala Aalihi Wa Ashhabihi Wa Azwajihi Wadzurriyyatihi Wa Ahlibaitihil Kirom Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah…….

Khususon Ila Ruuh Abiina Adam AS Wa ummina Hawa Wama Tanaasalu Bainahuma Ila Yaumil Qiyaamati,Syaiun Lilahi lahumal fatihah…….

Waila Hadroti Jamii’il Anbiyaai Walmursaliin,Sholawatullohi Wasalaamuhu ‘alaihi Wa’alaihim Ajma’in.Wajami’il Malaaikatil Muqorrobina Warruhaaniyyin Khususon Ila Ruhil Amiin Sayyidina Jibril AS, Wa Sayyidina Mikail AS,Wasayyidina Isrofil AS,Wa Sayyidina Izroil AS,Wa Sayyidina Naubatil Kiroom AS Syaiun Lillahilahumul fatihah …….

Tsumma Ila Hadroti Jamii’is Shohabati Rosulillahi SAW Minal Muhajiriina Wal Anshoriyyiina,Khususon Ila Ruhi Saadzatina Abi Bakrin,Wa ‘Umar,Wa ‘Usman,Wa ‘Ali Rodiyallohu ‘anhum Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah …….

Khususon Ila Ruh Nabiyulloh Khidir Balya Bin Malkan AS , Wa Nabiyulloh Ilyas AS Al-fatihah …….

Tsumma Ila Arwahil Arba’atil Aimmatil Mujtahidiina Wamuqollidihim Fiddiin Wal ‘Ulamail ‘Amiliina Wal Fuqohai Wal Muhadditsiin Wal Qurrooi Wal Mufassiriina Wassaadzaati Shufuufiyyatil Muhaqqiqiin Wataabi’ihim Ila Yaumiddiin, Al-fatihah …….

Khususon Ila Hadroti Sulthonil Aulia Sayyidina Syekh Abdul Qodir Jailani RA,Shohibil Karomati Wal ‘Ajiibaah,Wal Ma’unati Wassalaamati Wal Barokah. Wausulihi Wafuruu’ihi Wa Talaamidzihi Innalloha Yu’li Darojaatihi Fil Jannati Waayyu’ida ‘alaina Min Barokatihil Fatihah …….

Wa ila Hadroti Jami’il Aulia Akthob,Wal Anjaab,Wal Autaad,Wal Akhyar Min Masyaariqil Ard Ila Maghoribiha Fi Barriha Wabahriha, Min Yaminiha Ila Simaliha,Khususon Ila Ruh :

SYEKH ABU HASAN AS-SADZILI RA,SHOHIBUL KAROMAH WAT THORIIQOH

SYEKH IMAM GHOZALI

SYEKH IMAM NAWAWI TANARA

SYEKH MUHAMMAD HAQQIN NAAZILI

SYEKH ABI ABDILLAH MUHAMMAD BIN MUHAMMAD AS SANUSI

SYEKH ABU QOSIM JUNAIDI AL BAGHDADI

SYEKH AHMAD BAIDOWI

SYEKH AHMAD RIFA’I

SYEKH AHMAD NABHANI

SYEKH AHMAD DAIROBI

SYEKH ABU YAZID AL BUSTOMI

SYEKH IMAM AHMAD BIN ALI AL BUNI

SYEKH IMAM SYAMSUDIN MUHAMMAD BIN ABU BAKAR BIN AYUB AD DAMSUKI

SYEKH ALI ABU HAYILLAH AL MARZUQI

SYEKH ABU HAMID AL GHOZALI

SYEKH ABU ABDULLAH MUHAMMAD BIN YUSUF

Rodiyallohu ‘anhum,Annalloha Yaghfirolahum Wayarhamuhum Wayataghosahum Birrohmati Wal Maghfiroti Wayu’li Darojatihim Fil Jannah,Wayanfa’una Bibarokatihim Waasroorihim Wa Anwarihim Wa’Uluumihim Fiddini Waddunya Walakhiroh,Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah…….

Wa ila Arwahi Jami’il Auliya Wal Ulama Indonesi & Pulau Jawa, Khususon Ila Hadroti

SYEKH JAMBU KARANG

SYEKH MAULANA MALIK IBROHIM SUNAN GRESIK

SYEKH MAULANA RADEN ROHMAT SUNAN AMPEL

SYEKH MAULANA RADEN AINUL YAQIN SUNAN GIRI

SYEKH MAULANA RADEN QOSIM SYARIFUDIN SUNAN DRAJAT

SYEKH MAULANA MAKDUM IBROHIM SUNAN BONANG

SYEKH MAULANA JAFAR SHIDIQ SUNAN KUDUS

SYEKH MAULANA RADEN SA’ID SUNAN MURIA

SYEKH MAULANA RADEN SYAHID SUNAN KALIJOGO

SYEKH MAULANA SYARIF HIDAYATULLOH SUNAN GUNUNG JATI CIREBON

SYEKH MAULANA RADEN FATAH DEMAK

SYEKH MAULANA HASANUDIN BANTEN

SYEKH MAULANA MANSYURUDIN BANTEN

SYEKH IMAM NAWAWI BANTEN

SYEKH AHMAD SALIM BANTEN

SYEKH ABDUSSALAM BANTEN

SYEKH ALI MANDAYA BANTEN

SYEKH MUHAMMAD SYAMSUDIN BANTEN

SYEKH ABUYA DIMYATI BANTEN

AL HABIB HUSEN AL IDRUS KAROMAH LUAR BATANG JAKARTA

RADEN PRABU KIAN SANTANG SUNAN ROHMAT GARUT

SYEKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN TASIKMALAYA

KI AGENG ANGGAWANA KALISOKA TEGAL

RADEN PURBAYA KALISOKA TEGAL

SYEKH SARIDIN PATI

SYEKH SUBAKIR

SYEKH ABDURRAHMAN SAMBU REMBANG

SYEKH ASY’ARI TUBAN

SYEKH TUNDUNG MUSUH TUBAN

SYEKH MAULANA IBROHIM SAMARQONDI TUBAN

SYEKH SULAIMAN MOJOKERTO

SYEKH ABDUL HAMID PASURUAN

SYEH MUHAMMAD KHOLIL BANGKALAN

SYEKH AHMAD KHOTIB BIN ABDUL GOFAR SAMBAS

SYEKH FATHULLOH HARUN AL MURTADLO

SYEKH GIRI WASIAT

SYEKH NGADIROSO

EYANG SHOLEH AL HAJJ

KIYAI SABUK ALU PINAYUNGAN

KIYAI SUKMA AJI SEGARA

KIYAI GUNTUR HIDAYATULLOH

MUHAMMAD FATWA AL FATIH

EYANG PRABU SILIWANGI

EYANG PRABU GALUH

EYANG NAGARAPAGEUH CIAMIS

EYANG JAGADITA SAKTI CIAMIS

Rodiyallohu ‘anhum, Annalloha Yaghfirolahum Wayarhamuhum Wayataghosahum Birrohmati Wal Maghfiroti Wayu’li Darojatihim Fil Jannah,Wayanfa’una Bibarokatihim Waasroorihim Wa Anwarihim Wa’Uluumihim Fiddini Waddunya Walakhiroh,Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah…….

Wa Khususon Ila Arwahi :

HADROTUS SYEKH KH.HASIM ASY’ARI JOMBANG

KH.ABDURRAHMAN WAHID JOMBANG

GUS MA’SUM LIRBOYO

KH.ABDUL HAMID PASURUAN

KH.RADEN KHOLIL (AYAH BANJAR) CIAMIS

KH.MUHAMMAD ILYAS RUHYAT TASIKMALAYA

KH. ABBAS ABDUL JAMIL BUNTET CIREBON

Rodiyallohu ‘anhum ,Annalloha Yaghfirolahum Wayarhamuhum Wayataghosahum Birrohmati Wal Maghfiroti Wayu’li Darojatihim Fil Jannah,Wayanfa’una Bibarokatihim Waasroorihim Wa Anwarihim Wa’Uluumihim Fiddini Waddunya Walakhiroh,Syaiun Lillahi Lahumul Fatihah…….

KHUSUSON ILA ABI WA UMMI LAHUMAL FATIHAH…….

TSUMA ILAA JAMII’IL AHLIL KUBUUR MINAL MUSLIMIINA WAL MUSLIMAATI, WALMUMINIINA WAL MUMINAATI MIN MASYAARIQIL ARDI ILA MAGHORIBIHAA, BARRIHAA WA BAHRIHAA KHUSUUSHON ILAA AABAAINA WA UMMAHAATINA WAAJDADINAA WAJADDATINAA WAMASYAAYIKHINA WAMASYAAYIKHI MASYAAYIKHINAA WALIMAN AHSANA ILAINA WALIMAN AHABBA ILAINA WALIMANIJTAMA’NA HAA HUNAA BISABABIHI,LAHUMUL FAATIHAH…………

SURABAYA TAHUN 1945.

Syahdan, ia berdiri di atas tempat yang agak tinggi. Mengenakan bakiak yang dibawanya dari Cirebon, ia membaca doa sambil menengadahkan tangannya ke langit. Saat itulah kekuatan karamahnya keluar. Ribuan alu (penumbuk padi) dan lesung melesat dari rumah-rumah penduduk dan menerjang para serdadu musuh, memukul mundur pasukan penjajah. Pihak sekutu kemudian mengirimkan pesawat pengebom Hercules untuk meluluhlantakkan Surabaya. Namun pesawat itu, berkat kekuatan karamah Kyai Abbas, meledak di udara. ALLAHU AKBAR….

Setiap usai salat zuhur atau Asar, tahun 1920-an, sebuah langgar di langgar Buntet, Cirebon, selalu penuh sesak oleh para tamu. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menuntut ilmu agama, melainkan masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian kepada sang guru.

Walaupun namanya sudah sangat terkenal di seantero pulau jawa, baik karena kesaktian maupun kealimannya. Kala itu Kiai Abbas (1879-1946) tetap saja hidup sederhana. Dilanggar beratap genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah, sejak tahun 1920 hingga 1945 kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya

Kiai Abbas Djamil Buntet adalah putra sulung Kiai Abdul Djamil, yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Djamil adalah putra KH. Muta’ad, menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni mbah Muqayyim, salah seorang Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, kesultanan Cirebon.

Masa kecilnya banyak dihabiskan dengan belajar pada ayahnya sendiri, KH Abdul Djamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, ia baru pindah ke Pesantren Sukanasari, Pleret, Cirebon, di bawah asuhan Kiai Nasuha. Kemudian pindah lagi ke Pesantren salaf di daerah Jatisari, Pimpinan Kiai Hasan, masih di jawa Barat, lalu ia melanjutkan ke sebuah Pesantren yang diasuh oleh Kiai Ubaidah di Tegal, Jawa Tengah.

Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, ia pindah ke Pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Di Pesantren Tebuireng, kematangan dan kepribadian Kiai Abbas mulai terbentuk. Di Pesantren itu ia mulai bertemu dengan para santri lain dan Kiai yang terpandang, seperti KH. Wahab Chasbullah (Tokoh dan sekaligus salah seorang arsitek berdirinya NU), KH Abdul Manaf (pendiri pesantren Lirboyo, Kediri).

Abbas Djamil dikenal juga sebagai santri yang gigih dan giat belajar, walaupun ilmunya sudah sangat dalam, ia tetap berniat memperdalam ilmunya dengan belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia bisa belajar ke sana. Saat itu di Tanah Mekah itu masih ada ulama Jawa terkenal sebagai guru utamanya, yaitu KH Mahfudz Termas, asal Pacitan Jawa Timur.

Sedangkan rekan santri yang lain adalah KH. Bakir (Yogjakarta), KH Abdillah (Surabaya) dan KH. Wahab Chasbullah (Jombang). Di waktu senggang, Kiai Abbas ditugasi mengajar para Mukimin (orang-orang Indonesia yang tinggal di Mekah). Santrinya antara lain, KH Cholil Balerante (Palimanan), KH Sulaiman Babakan (Ciwaringin).

Sepulang dari Makkah, Kiai Abbas Langsung memimpin Pesantren Buntet dengan penuh kesungguhan. Kiai muda ini, sangat energik, mengajarkan berbagai khasanah kitab kuning. Namun ia juga tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Kitab karya ulama Mesir, seperti Tafsir Tontowi jauhari dan Fahrurrazi, juga diajarkan di Pesantrennya.

Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal di seluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpikiran progresif. Namun demikian ia tetap saja rendah hati kepada para santrinya.

Walaupun usianya ketika itu sudah 60 tahun, tubuhnya masih kelihatan gagah dan tegap. Rambutnya yang lurus, dan sebagian sudah mulai memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban, seperti lazimnya para Kiai. Pada saat itu, tahun 1939, perjuangan kemerdekaan sedang menuju puncaknya. Pengajaran ilmu kenuragan dirasa lebih mendesak untuk mendukung kemerdekaan. Maka Kiai Abbas pun mulai merintis perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kanuragan pada masyarakat luas.

Sudah barang tentu orang-orang yang berguru kepada Kiai Abbas bukan sembarangan atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Biasanya tamu yang datang langsung di bawa masuk ke dalam kamar pribadinya. Dalam kamar itulah mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya, sang Kiai mengijazahkan wirid tertentu sebagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.

Dengan gerakan itu, Pesantren Buntet dijadikan markas pergerakan kaum Republik, untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu, pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hisbullah. Di Pesantren Buntet, organisasi ini di ketuai oleh Abbas dan adiknya, KH Anas, serta dibantu ulama lain, seperti KH. Murtadlo, KH. Sholeh, dan KH. Mujahid. Karena itu muncul tokoh Hisbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon, seperti KH Hasyim Anwar, dan KH Abdullah Abbas, putra Kiai Abbas.

Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hisbullah memusatkan perhatiannya di daerah Legok, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung, yang terletak di daerah Walet selatan membentang  ke bukit Cihirup, Kecamatan Ciipancur, Kuningan. Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya perundingan Renville tahun 1947, ketika kemudian pemerintah RI beserta semua tentaranya hijrah ke Yogjakarta pada tahun yang sama.

Semasa perang kemerdekaan, banyak warga pesantren Buntet yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya, KH. Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi, dan lain-lain.

Basis-basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya Revolusi Nofember di Surabaya tahun 1945. Peristiwa itu terbukti setelah KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo segera datang berkonsultasi kepada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi KH Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu tidak dimulai terlebih dahulu sebelum Kiai Abbas dan laskar andalannya datang ke Surabaya.

Memang setelah dipimpin oleh Kiai Abbas dan adiknya KH. Anas, laskar Pesantren Buntet mempunyai peranan besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 November 1945, atas restu KH. Hasyim Asy’ari. Ia terlibat langsung dalam pertempuran di Surabaya tersebut. Selanjutnya juga Kiai Abbas mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hisbullah ke berbagai daerah pertahanan, untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali Republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.

Di mata KH Hasyim Asy’ari, KH. Abbas memang bukan sekedar santri biasa. Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu beladiri maupun ilmu kedigdayaan. Tidak jarang kiai Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan KH. Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali KH Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama dari gangguan para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran Pesantren Tebuireng sekitar tahun 1900.

Walaupun revolusi November 1945 di Surabaya dimenangkan oleh laskar-laskar pesantren dengan gemilang, hal itu tidak membuat mereka terlena. Belanda dengan segala kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republiki ini. Karena itu kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan.

Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan. Semua tidak terlepas dari perhatian para ulama. Maka betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam perjanjian Linggarjati pada tahun 1946, yang hasilnya banyak mengecewakan tentara RI.

Mendengar isi perjanjian seperti itu, Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati. Ia jatuh sakit, dan akhirnya kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada Hari Ahad, Subuh, 1 Rabiulawal 1365 atau tahun 1946 M. Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Buntet. Mutiara dari Pesantren Buntet itu telah menyumbangkan sesuatu yang sangat berarti bagi nusa dan bangsa. Meskipun dia sudah tiada, namun semangat kepahlawanannya tidak pernah luntur dan menjadi inspirasi para pejuang muslim di seluruh nusantara

Mbah Kholil Bangkalan

Amalan Syaikhona Mbah Kholil

   

AMALAN

ALLAHUMMA SHOLLI ’ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN TAJ’ALUNAA BIHAA MIN AHLIL ’ILMI DZOOHIRON WABAATHINAN. WATAHSYURUNAA BI’IBAADIKAS SHOOLIHIINA FII DUNYAANAA WA UKHROONAA WA’ALAA AALIHII WASHOHBIHII WASALLIM.  (1 X)

Semoga rahmat ta’dzim dan salam senantiasa atas junjungan kita sayyidina Muhammad yang dengan shalawat tersebut semoga Engkau jadikan kami termasuk dari golongn ahli ilmu baik dzohir maupun bathin. Dan semoga Engkau kumpulkan kami bersama hamba-hambaMu yg sholeh baik di dunia maupun di akhirat. Dan semoga shalawat senantiasa atas para keluarga Nabi dan para sahabatnya.

2  WA MA TILKA BIYAMINIKA YA MŪSÁ QALA HIYA `AŞAYA ‘ATAWAKKA’U `ALAYHA WA ‘AHUSHSHU BIHA `ALÁ GHANAMI WA LIYA FIHA MA’ARIBU ‘UKHRÁ QALA ‘ALQIHA YA MŪSÁ FA’ALQAHA FA’IDHA HIYA ĤAYYATUN TAS`Á QALA KHUDH/HA WA LA TAKHAF SANU`IDUHA SIRATAHA AL-‘ŪLÁ WA AĐMUM YADAKA ‘ILÁ JANAĤIKA TAKHRUJ BAYĐA‘A MIN GHAYRI SŪ‘IN ‘ĀYATAN ‘UKHRÁ LINURIYAKA MIN ‘ĀYATINA AL-KUBRÁ. (1x)

Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa? Musa berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (dedaunan) dengannya untuk kambingku, dan aku (juga) memiliki keperluan yang lain dengannya.  Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkat itu, hai Musa!  Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular naga yang merayap dengan cepat.  Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.

YA JABBARYA QAHHAR  1000 x

Yang Maha Perkasa Yang Menundukkan

FAQULTU ISTAGHFIROO RABBAKUM INNAHU KANA GHAFFARAN YURSILI ALSSAMAA AAALAYKUM MIDRARAN WAYUMDIDKUM BIAMWALIN WABANEENA WAYAJAAAL LAKUM JANNATIN WAYAJAAAL LAKUM ANHARAN  (1 x)

Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai

ASTAGHFIRULLAHALADZIM  1000 x

Di atas adalah rangkaian amalan dari KH KHOLIL, mulai dari Sholawat yang biasa dilantunkan beliau, ditambah AYAT 17-23 QS THAHA dan asmaul husna serta ayat 10-12 QS NUH diakhiri dengan Istighfar.

 BIOGRAFI KH KHOLIL BANGKALAN

Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah syaikhona Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.

Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU).

KH Kholil menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Dahlan. Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.

Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Kyai Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau. Pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.

Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Kyai Kholil. Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah.

Kyai Kholil paling dituakan dan berkaromah di antara para ulama saat itu. Yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.

Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan.

Karomah lain dari Kyai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Kyai Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Kyai Kholil. Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Kyai Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu

si nelayan itu.

Baca Dulu : Ilmu Menempuh Jarak Dalam Sekejab

Hari Selasa, 27 Januari 1820 atau 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H/ 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil.

Kiai ‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga kanan dan meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

Kholil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850 an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren Keboncandi, Pasuruan.

Selama di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Kholil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin; dan ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Sebenarnya, bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain), Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.

Akan tetapi, Kholil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik inulah Kholil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Kemandirian Kholil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Kholil tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Kholil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya, dari situlah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Kholil belajar pada para syekh dari berbagai mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.

Kebiasaan hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Kholil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu. Padahal, sepengetahuan teman-temannya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya, dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi). Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) , Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota, sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Kiai Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Kiai Kholil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Kiai Kholil lebih dikenal.

——-

Pada masa hidup Kiai Kholil, Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menyebar di Madura. Kiai Kholil adalah ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Kiai Kholil belajar Tarekat. Tapi, diyakini ada silsilah bahwa Kiai Kholil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan — ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah.

Masa hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.

Cara yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Kholil untuk di bebaskan saja.

Peran Kiai Kholil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Kiai Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.

Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Kiai Kholil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.

“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu. Bacakanlah kepada Kiai Hasyim AYAT 17-23 QS THAHA

As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Kholil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.

“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Kholil. Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Kholil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan asmak YA JABBAR, YA QAHHAR (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.

Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”. Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Kholil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.

——

Kyai Kholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Kholil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.

Di sisi lain, Kiai Kholil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Kholil. Memang, Kiai Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Kholil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).

Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Kholil menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Kholil tersebut.

Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Kiai Kholil; akan tetapi Kiai Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Kholil diantaranya: Pertama, Kiai Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi Masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Kholil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.

Kedua, selain Pesantren yang Kiai Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.  K.H. Muhammad Kholil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Kholil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Kholil

——

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Ketika Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada se­orang kiai yang sangat sakti mandra­guna. Namanya Abu Darin. Kholil muda ingin sekali belajar kepada Abu Darin. Sema­ngat untuk menimba ilmu itu begitu meng­gebu-gebu pada dirinya sehingga jarak tempuh yang begitu jauh dari Bang­kalan di Pulau Madura ke Pasuruan di Pulau Jawa tidak dianggapnya sebagai rintang­an berarti, meski harus berjalan kaki.

Namun apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan, tem­pat kiai Abu Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah wafat. Dia meninggal hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda. Habislah ha­rapannya untuk mewujudkan cita-cita­nya berguru kepada kiai yang mempu­nyai ilmu tinggi tersebut.

Dengan langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari berikutnya Kho­lil berta’ziyah ke makam Kiai Abu Da­rin. Di depan pusara Kiai Darin, Kholil membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang ke-41, ketika Kholil te­ngah ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir dalam mimpinya.

Dalam kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk belajar sungguh terpuji. Telah aku ajarkan ke­padamu beberapa ilmu, maka peliharalah.” Kholil lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal kandungan kitab Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pe­santren itu. Subhanallah.

Pada kisah yang lain, Kiai Kholil ber­usaha melindungi calon santrinya dari musibah, padahal dia berada di Bang­kalan, sementara si calon santri di te­ngah Alas Roban, Batang, Pekalongan.

Menurut cerita si calon santri yang ber­nama Muhammad Amin, ia berang­kat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Ma­dura, untuk berguru kepada Kiai Kho­lil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, ser­ta thithikan, alat pemantik api yang ter­buat dari batu.

Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.

Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu be­sar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Na­mun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsa­nya kalau melawan.

Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tem­pat untuk tidur, tiba-tiba muncul se­sosok laki-laki. Namun karena tampang­nya biasa-biasa saja, mereka tidak me­naruh curiga. Bahkan orang itu kemudi­an bertanya apa mereka punya thithikan,karena ia akan menyulut rokok.

Namun setelah benda itu dipegang­nya, ia mengatakan bahwa batu itu ter­lalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasuk­kan batu tersebut ke mulutnya lalu meng­gigitnya se­hingga pecah menjadi dua.

Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara me­reka, menjawab, “Kalau barang-ba­rang kami diambil, kami tidak bisa me­lanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.

Tersentak laki-laki itu, seperti pem­buru tergigit ular berbisa. Wajahnya pu­cat pasi,  bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu ber­samaan. Mereka gembira karena me­rasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua ba­rangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kali­an tidur saja di sini, dan aku akan men­jaga kalian semalaman.”

Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaring­kan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur sema­laman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari hu­tan ini agar tidak diganggu oleh peram­pok lain,” jawabnya tampak ramah.

Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, orang itu ber­kata. “Sebenarnya kalian akan aku ram­pok, dan menjual kalian kepada onder­neming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalah­kan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”

Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja un­tuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemim­pin pesantren tersebut.

Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin.

Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.

Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.

Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.

Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.

Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.

Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.

Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.

Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu.

Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Kholil bangkalan.

Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi Kholil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Kholil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.

Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.

Suatu hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.

Di Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia. Pada suatu hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin sekali sowan (berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi. “Itu bagus sekali Pak, tetapi apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh kepada Kyai Kholil, kita tidak mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,” jawab isterinya. “Tidak apa-apa, bentul itu saja yang kita bawa. Asalkan kita ikhlas, Insya Allah akan diterima,” tegas sang suami meyakinkan isterinya.

Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan berbekal tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai Kholil dengan baik. Bentul adalah makanan sangat sederhana sejenis talas. Sesampainya di kediaman Kyai Kholil kedatangannya sudah ditunggu. Mereka disambut dengan hangat. “Kyai, saya tidak membawa apa-apa, hanya sebuah bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.” ucap sang suami rada malu-malu.

“Wah kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil menghibur. Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan menyuruhnya untuk merebus bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama setelah itu, santri datang membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai Kholil kelihatan sangat senang dan suka terhadap bentul itu, lalu dimakannya sampai habis.

Suami-isteri yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan. Beberapa hari kemudian, suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai Kholil. Masih segar di ingatan suami isteri itu akan kesukaan Kyai Kholil. Kali ini, tidak seperti terdahulu. Mereka membawa oleh-oleh bentul sebanyak-banyaknya dengan harapan Kyai Kholil sangat senang menerimanya. Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke ulama karismatik itu. Tidak seperti dahulu, dugaan mereka meleset. Mereka disambut dingin. Begitu juga dengan oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak menerima oleh-olehnya dan disuruh bawa pulang kembali.

Pada saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan selama ini. Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan semata-mata karena keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan yang kedua tidak dilanda ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini atas kekuatannya sendiri dan merasa dirinya mampu membawa oleh-oleh kepada kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai Kholil.

Suatu hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara bersamaan. Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah rugi terus-menerus,” ucap tamu pertama. Beberapa saat Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai mantap. Kemudian kyai bertanya kepada tamu kedua:“Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya sudah berkeluarga selama 18 tahun, tapi sampai saat ini masih belum diberi keturunan,” kata tamu kedua. Setelah memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin punya keturunan, perbanyak baca istighfar,” tandas kyai.

Kini, tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu yang ketiga, dengan raut muka serius. “Jika kamu ingin berhasil dan mampu melunasi hutangmu, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai kepada tamu yang terakhir.

Berapa murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Masalah yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama, yaitu menyuruh memperbanyak membaca istighfar.

Kyai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang, maka dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai Kholil membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12.

Mendengar jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji Allah bagi siapa yang memperbanyak baca istighfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamunya semuanya berhasil apa yang dihajatkan.

Karomah lain KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak. “Wa’alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai Kholil. Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya : “Sampean ada keperluan, ya?” “Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap. Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”. “Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap. “Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya. “Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil. Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak. Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.

Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

Karomah lain Kyai Kholil terjadi pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas. “Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal. Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.

Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang. “Kiai Kholil?” pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. “Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan. Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya : “Ada keperluan apa?” Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.

Tiba-tiba Kiai berkata : “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!” Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?” “Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa. “Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.” “Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan. “Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil. “Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh. Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam. “Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan. “Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil. Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan.

Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal. “Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

Beliau berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun. Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar berpuasa dan melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi santri beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab Hasbullah, Kiyai Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.

Kiyai Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai seorang waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29 Ramadhan 1343H dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masehi.  Mari kita sampaikan untuknya…. AL FATIHAH…………..

Selasa, 29 Agustus 2017

DANDANG GULO

Kidung Sunan Kalijaga di Malam hari


Syeikh Muhammad Hisyam Kabbani,khalifah Tarekat Haqqani, dari Amerika Serikat. Tarekat Naqsabandi Al Haqqani dikenalkan di Indonesia oleh Syeikh Muhammad Hisyam Kabbanidan Syeikh Nazim Adil Haqqani. Malam ini kerinduan pada sosok Mawlana Syeikh Hisyam Kabbani yang pada lawatan "dakwah" tahunan selalu berkunjung ke Indonesia begitu menggebu dihati yang tengah begitu terasa hampa ini.

Untuk itu dalam keheningan malam ini, ingin rasanya kusenandungkan sebuah kidung dari Sunan Kalijaga yang konon sangat disukai pula olehMawlana Syeikh Hisyam Kabbani. sekar dandang gendis Anggitanipun kanjeng sunan kalijaga atau dalam bahasa Indonesia berarti tembang dandang gula karya kanjeng sunan kalijaga yang terilhami dari ayat-ayat suci Al quran.

12975274031720168595

Kidung berikut ini, diciptakan dan dilantunkan oleh kanjeng Sunan Kalijaga dalam bahasa Jawa, untuk itu jeng Ana coba mentranslet kedalam bahasa Indonesia disebelah kanannya, semoga tidak mengurangi arti dan kandungan yang sebenarnya.

KIDUNG RUMEKSO ING WENGI

Ana kidung rumekso ing wengi........................ada sebuah kidung dimalam hari

Teguh hayu luputa ing lara................................ untuk keselamatan dari rasa sakit

Luputa bilahi kabeh.................................... dan terhindar dari segala macam mara bahaya

Jim setan datan purun................................ Jin dan setan tidak ada yang berani mengganggu

Paneluhan tan ana wani.............................. teluhpun tidak akan berani

Miwah panggawe ala..........................................ataupun perbuatan yang tercela

Guna neng wong luput..........................................kerjaan orang yang salah

Geni atemahan tirta..........................................api akan menjadi air

Maling adoh tan ana ngarahing mami ........ Pencuri pun akan menjauh dariku

Guna duduk pan sirna..........................................guna guna pun akan sirna

Sakheng lara pan samya bali............................segala macam penyakit akan kembali

Sakheng ngama pan sami miruda.................... segala macam hama akan mundur tanpa dibasmi

Welas asih pandulune..........................................karena yang terlihat hanyalah kasih sayang

Sakheheng braja luput.............................segala macam senjata tajam dari besi akan terhindar

Kadi kapuk tiba neng wesi................................ bagaikan kapas menerjang besi

Sato galak tutut................................................... hewan buas akan menjadi jinak

Kayu aeng, lemah sangar......................................kayu besar, tempat tempat wingit

Songing landak, guane wong, lemah miring .............. rumah landak dan gua

Myang pakiponing merak.....................................sampai sarangnya burung merak

Pagupakaneng warak sakalir..................................tempat pemandian badak

Nadyan arca myang segara asat ..........walaupun patung yang sangup membuat laut mengering

Temahan rahayu kabeh..........................................akan selamat sejahtera 

Apan sarira ayu.................................................. akan beruba menjadi menawan

Ingideran kang widadari..........................................dikelilingi bidadari 

Rumeksa Makaikat lan sagung pro Rosul ........ dilindungi oleh para malaikat dan segenap Rosul

Pinayungan ing Hyang suksma...................................terlindungi oleh Yang Maha Esa

AtiAdam utekku baginda Esis....................hatinya bak Nabi Adam, otaknya seperti baginda esis

Pangucapku yaa Musa....................................... ucapannya seperti nabi musa

Napasku Nabi Isa Linuwih..........................................nafasku seperti nabi Isa nabi pilihan

Nabi Yakub pamiarsaningwang.................................nabi Yakub adalah penglihatanku

Daud swaraku mangke..........................................nabi Daud suaraku

Nabi Ibrahim nyawaku..........................................nabi Ibrahim nyawaku

Nabi Sulaiman kasekten mami...................................nabi Sulaiman kesaktianku

Nabi yusuf rupengwang..........................................nabi Yusuf wajahku

Idris ing rambutku..........................................Idris rambut

Baginda Ali kulitingwang..........................................baginda Ali kulitku 

Abu Bakar getih, daging Umar singgih..................Abu Bakar darahku, Umar dagingku

Balung baginda Usman..........................................tulangku baginda Usman

Sumsum insun Fatimah linuwih................................sumsumku Fatimah, wanita pilihan

Siti Aminah bayuneng angga....................................Siti Aminah angin didalam tubuhku

Ayub ususku mangke..........................................nabi Ayub kesabaranku

Nabi Nuh ing jejantung..........................................nabi Nuh detak jantungku

Nabi Yunus ing otot mami..................................... nabi yunus otot ku

Netraku yaa Mohammad..........................................mataku nabi Muhammad

Pamaluku Rosul..........................................nabi terakhir

Pinayungan Adam Hawa..........................................terlindungi oleh Adam dan Hawa

Sampun pepak sakathaheng para Nabi.................sudah komplit segenap para nabi

dadiyo sarira tunggal..............................semoga menjadi senyawa didalam tubuhku

Ya, semoga menjadi senyawa didalam tubuhku.... I Miss You Syeikh Hisyam.............


SULUK DAKA

SULUK DAKA

 [1] Punika carita Daka

Kasalin saking aksara Arab
Ing aksara latin dening :

Mas Kumitir

Bismillahir rahmanir rohim

PUPUH I
ASMARADANA

Nenggih punika kinardi, ingkang anggurit tembang, Suluk Daka caritane, auliha ngulama kang gita, ambabareken ing ujar, pitutur ingkang satuhu, kang tarus lan dalil Kur’an.Isun amimiti amuji, anabut namaning suksma, kang murah ing dunya reka, ingkang asih ing aherat, kang pinuji tan pegat, kang akarya ngalam iku, kang asih Nabi Muhammad.Ampuranen sun angawiti, isun anurun  carita, saking kitab daka asale, den sami angapuraha, sakehing kang amaca, den weruh ing tegesipun, caritane suluk daka.Lamun anembah amuji, pujine katur sapa, yen katuring Pangerane, mapan ora erna rupa, lamun ora katura, tampa gawe sembahipun, angur aja amujiya.Lamun ngaturaken puji, maring Allah sumantana, [2] mapan dudu papadane, mapan Allah kang amurba, kang misesa ing sira, den weruh kawitanipun, kang nembah kang senembah.Puji sapa kang duweni, lan puji pujining Allah, kawula ora duduwe, lawase ora kuwasa, miwah panggawenira, lawan bedane sakojur, anging Allah kag karya.Pundi ingkang aran puji, tegese puji punika, pan nugrahan sajatine, kang tumiba ing kawula, tegese kanugrahan, iya urip tegesipun, urip-uriping sapa.Lamun uriping Hyang Widhi, kalawan nyawa punika, tegese nyawa ta mangke, kang tumiba ing kaula, ingaranan kanugrahan, tegese nyawa punika, iya uriping manusa.Pundi tegese ahurip, wong anom ngaweruhana, becik ing tarimane, angel jenenging agesang, tegese urip iku, katitipan kang tetelu, iman tauhid lan makripat.Tegesing iman lan tauhid, kang iman pangetonira, ngetokaken Pangerane, [3] ajujuluk ingkang Esa, lawan kang amisesa, tan nana roro tetelu, Allah ingkang tunggal.Pundi ingkang aran tauhid, mapan tunggal sajatinya, pengleburan ing rorone, ing Gusti lawan kawula, yen atunggal kaya apa, yen bedhane bedhanipun, nora tunggal ora pisah.Salamet oleh ngaweruhi, tegese tauhid punika, tunggak lawan kawulane, mapan kawula tanana, apan jenenging kawula, sajati jatine suwung, tanpa polah tanpa tinggah.Katuring sembah lan puji, pan katuring dewekira, deweke Allah jatine, tanana sembah sinembah, endi kang ing ngaranan, Dat iku wajibul wujud, sajatine ingkang ana.Iya kang nembah amuji, kanyatahanning Datullah, pan dudu unine dewek, manteb jenenging panarima, kawulane lan Pangeran, tanpa polah tanpa wujud, lir sarah aneng lautan.Jenenging sembah lan puji, pan sarah ing panarima, pan konangan salawase, [4] dening Pangeran kang mulya, cilik dalasan tuwa, den becik tarimanipun, angel jenenging panarima.

PUPUH II
DHANDHANGGULA

Angandikan nabi kang sinelir, angrasani jenenging sembahyang, arep weruh ing Pangerane, lamun ta ora weruh, siya-siya dennya ngalampahi, pertingkahe sholat den weruh satuhu, weruhe kadi punapa, yen tan weruha, sameloke jadi kapir, atuduh warna rupa.Yen tan weruha sira ing Widhi, yakti wuta besuk ing akherat, arep wruh dsameloke, yogya sami akukuru, ing pangeweruh ingkang sajati, pertingkahing sholat, kang tunggal lan wujud, iku kawula tanana, wujud iku campuh kawula lan Gusti, kang dadi wujud atunggal.Weruhipun ing kawula Gusti, jenenging niyat pan tigang perkara, qasdu ta’rudh lan ta’yin, weuha bedhanipun, niyat iki sawiji, qasdu ing panedya, niyat kang amengku, dadi basa lan [5]swara, kang angadeg ruku’ sujud alinggih, iya jenenging niyat.Ping kalihe pardhu kang gumanthi, lungguhira bedhaning rakangat, papat lawan titigane, ngasahar tan kena shubuh, dipun awas sawiji-wiji, jenenging rakangat tan kena kaliru, jenenging ta’yin kakaping tiga, nyata kena waktune subuh lan maghrib, miwah bangsane pisan.Yen takbira , ora nganggo ta’rudh ta’yin, apa iku tan durung sampurna, angangeha kafirohe, pan badal sholattipun, mapan niyat jenenging wajib, ora kena tininggal, jenenging tetelu, lamun maksih anganggoha, tan sampurna qasdu ta’rus lawan ta’yin, sholate tan sampurna.Waler sangker pocapan puniki, kang sawane nora anduga, dening ewuh babasane, saweneh anguguyu, pasthinira angaweruhi, angucap sadabangga, pada wani wong bingung, kudu ngajak tutukaran, kang sawaneh ngangungaken ngaji tafsir, katungkul amamaca.Teka kena ingkang pada [6] mukmin, jenenging sholat den ati-ati pisan, den weruh pisah kumpule, endi kang mukmin atuhu, iya iku kang angaweruhi, sajatine asholat, pisah lan kumpulipun, dadi sholat ing kawula, sajatine kanugrahan ing Yang Widhi, kang tumiba ing kawula.Lamun tinggal sholat pan wajib, sajatine iku kang mulya, wong kang tunggal panggawene, lamun ta ora weruh, takokena dipun sayekti, angel jenenging sholat, manawa kaliru, den dalih atinggal pisan, ambasane atinggal sholat sajati, wajibe kang linakonan.Lamun tinggal sholat pan kafir, ora eshah mayite dinusan, wong mati bangka hukume, lawan tumulihipun, ora kena atinggal bakti, ingkang atinggal sholat, mapan jangjinipun, lan malihe ora eshah anumbeleh, lan angruksak kalimah kalih, wong atinggal asholat.

PUPUH III
S I N O M

Kafire kang tinggal sholat, [7] yakti ora anglampahi, atinggal pan sarwi ngucap, tanna gawe sholat iki, lawan ingkang angisi, sholat angu-guyu rasul, dadia ratuning syaiton, lir kafire wong yahudi, pasthi lebur ajur luluh ing naraka.Luhure kang tinggal sholat, kaya apa oleh ngaweruhi, wajibe atinggal sholat, pundi kang dados amargi, atinggal sholat lan bathin, tanana liyan kang ketang, miwah panggawenira, mapan ora anderbeni, anging Allah polahe ingkang asholat.Ilang jenenging kawula, sirna datan ana kari, datan ana gentene, dening kang amaha suci, kawula jenenging napi, lir carman perlabinipun, lir lintang karahinan, kasenenan Sanghyang rawi, lintang ilang kasorotan surya,.Wong tumeka ing sholat, tunggal qasdu ta’rudh ta’yin, iya iku kang sampurna, angaweruhana ing budi, lawan ati kang wening, tegese mangke puniku, pan arep ngaweruhana, [8]qasdu ta’rudh lawan ta’yin, paringena wiwitane lafadz Allah.Huruf alif parengena, wiwitane Alif puniku, mapan hakekating niyat, Lam awal lawan Lam akhir, parengena niyat singgih, niyat iku tibaning Hu, Allah jumeneng Dzat, tibaning niyat sayekti, lafadz akbar iku sampurnaning niyat.Jenenging niyat tanana, pangleburan ing sakalir, tanana Gusti kawula, mapan dereng utami, pira yen salameting kaweruh, roro dadi satunggal, satunggal dadi kalih, nora pisah kawula lawan bendara.Ing pangaweruhing kawula, pareng asih ing Yang Widhi, lamun tunggal ing kawula, tanana ingkang ngaran, kang anebut ing Gusti, tan liyan kawulanipun, dadi nyataning Pangeran, kang anembah kang amuji, pan kawula ingkang dadi kanyatahan.Endi kang aran manusa, tarusa dzohire lan bathin, anarima ing Yang sukma, tan darbe polah pribadi, ing Yang Kang Amaha Tinggi, kang asih nugrahan agung, den tarima [9] ing kawula, asih nugrahan Yang Widhi, pan gumetar ora kumpul ora pisah.Wondening jenenging sholat, lima katahingreki, kang dhingin asholat Jumngah, kang kawetu saking lathi, pakumpulaning jalmi, sholat Jumngah aranipun, sing sapa angucapena, ingkang dzohir saking lathi, iya iku lakune asholat Jumngah.Pan sapa angucapana, saking dzohir lan bathin, aja tunggal ing panutan, Nabi Rasul kang sinelir, kakasihing Yang Widhi, pan puniku lakunipun, den ngaweruhana, basa dzohir baa bathin, iya ikukang sholat Jumngah.Ping kalihe sholat wasta, andelengaken ing ati, tegese kang ora pegat, paningalira ing ati, sapatemon ing Widhi, kadhos pundhi beneripun, lamun atetemuha, mapan ora warni-warni, sapatemon Pangeran Kang Maha Mulya.Pan aja aja angroro tingal, jenenging kawula Gusti, tan kawula ora nana, kawula jenenging napi, mapan [10] ora anderbeni, kawula jenenging suwung, pan kagenten ing Yang Sukma, tan darbe polah pribadi, polah tingkah tingkahe Allah kang murba.Sholat khaji kaping tiga, nora atinggal kakalih, ruh jasad pan kawicara, jasad ruh kadi pundi, mapan dadi kagenti, dening Yang Sukma Agung, pan sajatining tunggal, tunggale tekadipundi, iya jasad iya ruh iya Allah.Iku pundi duwe rarasan, lan ewuh oleh ngaweruhi, luput bener winicara, lupute tekadi pundi, lupute kang dereng dugi, benere kang sampurna weruh, yugna pan burukena, punika jenenging ngalim, kaweuraha sholat khaji aranira.Waler sangker kang satengah, lamun micaraken ngilmi, nora nedya muwapakat, satengah pating burikeh, olehe rebut ngilmu, tan ayun kasuran kaweruh, ngangungaken yen ngulama. (kirang 2 gatra).Iku laku luput singgih, sasar susur lampahipun dadi sasar. (kirang 7 gatra).Dadi wong kuma bisa, angrasa [11] bisa pribadi, tan angrasa yen kapriba, ujare ngilmu sajati, yugya sami ngaweruhi, maring Pangeran kang agung, dadine wong punika, weruhe sajati andhap asor tan angrasa lamun bisa.Sholat dhaim kang kaping pat, tegese angaweruhi, nyatane maring Pengeran, nora lali saking ati, awasa ati ningali, maring Pangeran kang agung, pan jenenging maksifat, tanana Gusti kakalih, kang kasebut ing ati Allah kang tunggal.Aja angroro Pangeran, ing awal miwah ing akhir, awale kang dereng ana, jenenging akhir kang kari, iya kang aran jisim, kang awal jenengingipun, pan jadikanyatahan, pan pahesaning jati, iya punika ingkang atunggal katunggalan.Tegese kang kaping lima, kanugrahan kang sayekti, sholat ngelmu ngalim iki, jenenging roh lawan jisim, yugya sami angaweruhi, tegese maring kang agung, namaning Allah punika, tan pegat oleh tingale, mapan nyegah ingkang dadi kanyatahan.[12] Datanana tingalira, dadine bumi lan langit, iya iku kanyatahan  kang dadi ayat sayekti, kukuh jenenging ngilmi, tanana roro telu, jenenging kanyatahan, wajah jati ingkang suci, eroh iku tegese kang aran wajah.

                           PUPUH IV

DHANDHANGGULA

  1. Angandika Nabi kang sinelir, kang suci jenenging sareat, thariqat lan hakeqat, miwah sarettipun, mapan tunggal dadi siji, lamun pisah abathala, nenggih lampahipun, sareat ora khakeqat, mapan bathal sareate ora dadi, lamun ora khakeqat.
  2. Kang thoriqat mapan ora dadi, lamun ora sarta khakeqat, mapan bathal ing karone, kang khakeqat winuwus, mapan bathal oleh ngaweruhi, yen tan anganggoha ma’rifat, bathal kaweruhipun, yugya sami angaweruhana, mapan wijib sareat dennya ngaweruhi, lan aja sira pepeka.
  3. Aja sira tungkul bisa ngaji, kang sapane den gawe kabisa, ngarih kuncara ngilmu, [13]sajatine durung weruh, kang satengah den gawe tuqbil, ngagungaken yen ngulama, tansah ajajaluk, ngelmune den gawe bandha, dipun anggo saba omahing prayayi, mlaku pinaringan.
  4. Mapan pegat ya jenenging ngilmi, ingkang saba omahing nangkoda, miwah mantri apa dene, mapan ujaring ngilmu, ora wenang saba wong sugih, asor jenenging ngilmi, sangujaring pitutur, ngelmu kang sampurna nyata, mapan adhoh wong sugih den kalumuhi, tan arep kalepeyan.
  5. Wenang sama omahing preyayi, lan nangkoda wong kang saba iku, yen abecik pinuture, lamun ora kaya iku, tanpa gawe dennya ngaweruhi, ngilmune digawe banda, sasar susur iku, wekasane dadi sasar, kang tumeka ngilmu kang sampun luwih, tan angreksa lamun bisa.
  6. Yen angrasa bisa pribadhi ya ngilmune pandhita, [14] angrasa bisa dheweke, mapan ujaring ngilmu, ora nana ingkang duweni, anging Allah kang atunggal, tan ana roro tetelu, kang amurba kang amisesa, ing ngulama kinarya pahesan jati, kinarya katunggalan.
  7. Tunggal wujud tunggal dadi siji, yen tunggal dadi wujud tunggal, kaya apa pangaweruhe, lamun weruha kupur, kaya priye lehira ningali, lamun weruha kasasar wong ngiku, Gusti pan dadi kawula, pan kawula iya nora dadi Gusti, datan kumpul tan pisaha.
  8. Lamun beda mangke kados pundi, yen tunggal pan dadi punapa, den weruh pisah kumpule, lamun ora kayeku, ngaweruhi jenenging ngilmi, akeh-akeh kewala, tan ana ing besuk, ngulamane den gawe pokal, den rarasan kaya wong adagang singgih, den anggo kasuciyan.
  9. Kang tumeka ing ngilmu sajati, apitutur weh tuturonehan, amrih jejeg amalane, amuruk wong balilu, amrih bisa [15] jenenging ngilmi, mariya yen wis bisa, oleh tuduhioun, tuduhan kang sampurna wikan, pan ulama kinarya kateran jati, lan ulama ora bisa.
  10. Dipun angas aja sak lan sirik, yen mumuruk ing para shokhabat, pan amrih luntur asihe, ngilmune kang satuhu amumule maring santri, ora kena santri ingatur pikir, nganggungaken yen bisa.
  11. Yakti bathal pan jenenging ngilmi, paksa bisa kados sumantana, tur dudu unine dewek, lan Pangeran kang agung, ngujub riya sumaah takabur, tan riyaning kawula, kagungan Yang Agung, pan kibir kibire sapa, puniku pan sabaring Yang Widi, kang asih ing kawula.
  12. Lamun ora sampurnaning kibir, laku pan jenenging kawula, kaya prihe pertingkahe, jenenging kawula, upamane lir sarah keli, anut milining toya, ing saparonipun, anut saparoning toya, saparone tan bisa polah pribadi, [16] iku jenenging kawula.
  13. Kibir iku sapa kangduweni, kanggoha jenenging kawula, kaya prihe panganggone, lamun nganggoha luput, lamun ora nganggo iki, kaprihe pangngowanya, salameting kaweruh salameting lakuning lampah, ora ilang kawula kalawan Gusti, kang roro dadi tunggal.
  14. Lawan ingkang jenenging dadi siji, tunggal wujud lan tunggal kahanan, pangkeburan ing karone, iya haq lafadz iku, mapan iku jenenging Gusti, ilang kaya apa, endi tegesipun, ora rupa ora warna, pan rupane wus ana ingkang sajati, lafadz lakuwata.
  15. Tunggal tan ana rorone, miwah dzat sipatipun, apngalira datan kakalih, wus nyata ing manusa, endi tegesipun, kang ingaranan manusa, iy rasul panutan sajagat bumi, kang tinut agama Islam.
  16. Inggih punika jenenging urip, wajib anembut ing Nabi Muhammad, dadi urip salawase, tan beda uripipun, lamun sira [17] anut sayekti, pan lakuning Rasulullah, jenenging lumaku, sareat lawan thoriqat, khakeqat makrifat, denya ngaweruhi, ing panggawene Muhammad.
  17. Endi inkang aran sareat jati, lan thoriqat hakeqat makrifat, endi nyata iku lungguhe, sareat badanipun, kang ing ngati lungguhe reki, lungguhe ingkang sipat, khayat tegesipun, muhayati ingkang lampah, pan puniku ingkang jenenging urip, ingkang roh Rasulullah.
  18. Pan tegese makrifat ngaweruhi, lungguhira jenenging makrifat, iku ing rarasane, iku kakalihing Rasulul, wus tumaka den ngaweruhi, samiya ngaweruhana, aja ana kaliru, ingkang aran wujud tunggal, badan iku pikukuh dunya ngaweruhi, ing pangucap ilallah.
  19. Ilallah sahadat kang jati, ingaranan kalimah kang tunggal, den weruh ing pasejane,tegese ati lulut, mapan sampun denya ngaweruhi, ujar ilallah ika, ingkang pikukuhipun, [18] ing ati tan kena obah, kalimahe ati tan kena gingsir, ing pangucap illalah.
  20. Mapan erohku jenenging urip, pikukuhe iya iku Allah, dadi urip salawase, iku pikukuhipun, jenenging roh tan kena gingsir, yugya angetokaken, anejaha iku, endi pikukuhing rasa, pan Muhammad kahananira Yang Widi, jujuluk Rasulullah.
  21. Pan mulane ana kalimah kalih, jenenging Nabi kita Muhammad, nyatakaken ing sipate, lamun nora kaya iku, nora nyata jenenging Gusti, kang amuji kang anembah, marang Gustinipun, yugya sami mancanana ing pangewruh, weruhe kalaning sufi asale Kitab Daka. Wallahu alam.

Tamat

By :Alang Alang Gumitir