Sabtu, 29 Juni 2013

sufi road

Tahap tahap memperkenalkan islam. Kita musti bersyukur karna kita d lahirkan dikalangan keluarga muslim. Sehingga Orang tua kita mengenalkan kita kepada Allah dan beriman kepada Al. Qur'an serta percaya kepada hari Akhir..... Saat kita tumbuh menjadi bhaliq kita mulai berguru kepada ustad untuk belajar membaca Al Qur'an serta hukum hukum Islam serta hadistnya. Dan saat kita mulai dewasa. Kita mulai mencari mursyid. Untuk pendamping kita di saat kita sudah mulai belajar.....toreqhot.....haqeqhot ...Lalu berguru kepada Semesta Alam Raya.agar dapat mahabah dan ma'rifat. Kepada Allah. Bagaimana bisa kita melupakan jasa orang orang yg telah berperan sebagai pembimbing kita. Jika kita sebagai orang orang yg gemar mencari RidhoNYA. Dan berangkat dari sinilah... kita semestinya belajar mendengar bahwa hidayah....dan peringatan Allah Dapat turun melalui Siapa Saja ataupun Alam Dunia sesuai kehendakNYA. Belajar menghormati sesama manusia Wajib. Tapi menggunjing orang yg sudah membantu menyebarkan Ajaran Ajaran Islam Dan Sejarah kebudayaan......??? ( bagai anak yg durhaka ) Nb: Di dalam kitab tafsir Ruhul Bayan disebutkan bahwa iman menurut syari’at adalah meyakini dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengerjakan dengan amal perbuatan. Adapun pengertian Islam menurut syari’at adalah tunduk dan patuh. Maka setiap yang beriman berarti telah Islam, namun tidak setiap yang Islam berarti telah beriman. Adapun pengertian Islam menurut hakikat yaitu sebagaimana sabda Nabi SAW: ْﻥَﺍ ﻻَﺍِﻟَﻪَ ﺍَﻥْ ﺗَﺸْﻬَﺪُ ﺍِﻻَّﺍﻟﻠﻪُ Menyaksikan tiada Tuhan selain Allah, sedangkan pengertian iman secara hakikat adalah sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 16 : ْﻢَﻟَﺃ ﻟِﻠَّﺬِﻳْﻦَ ﺃَﻣَﻨُﻮﺍْ ﻳَﺄْﻥِ ﻟِﺬِﻛْﺮِﺍﻟﻠﻪِ ﻗُﻠُﻮْﺑُﻬُﻢْ ﺗَﺨْﺸَﻊَ ﺍَﻥْ Belumlah seseorang itu dikatakan beriman sebelum hatinya itu dapat khusyuk mengingat Allah. Dari pengertian iman secara syari’at dan hakikat ini, imam Ghazali membagi iman manusia kepada tiga tingkatan: Iman tingkat pertama adalah imannya orang-orang awam yaitu imannya kebanyakan orang yang tidak berilmu. Mereka beriman karena taklid semata. Sebagai perumpamaan iman tingkat pertama ini, kalau kamu diberi tahu oleh orang yang sudah kamu uji kebenarannya dan kamu mengenal dia belum pernah berdusta serta kamu tidak merasa ragu atas ucapannya, maka hatimu akan puas dan tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya mendengar saja. Ini adalah perumpamaan imannya orang-orang awam yang taklid. Mereka beriman setelah mendengar dari ibu bapak dan guru-guru mereka tentang adanya Allah dan Rasul-Nya dan kebenaran para Rasul itu beserta apa-apa yang dibawanya. Dan seperti apa yang mereka dengar itu, mereka menerimanya serta tidak terlintas di hati mereka adanya kesalahan-kesalahan dari apa yang dikatakan oleh orang tua dan guru-guru mereka, mereka merasa tenang dengannya, karena mereka berbaik sangka kepada bapak, ibu dan guru-guru mereka, sebab orang tua tidak mungkin mengajarkan yang slah kepada anak-anaknya, guru juga tidak mungkin mengajarkan yang salah kepada murid-muridnya. Karena kita percaya kepada orang tua dan kepada guru, maka kita pun beragama Islam. Iman yang semacam ini tidak jauh berbeda dengan imannya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang juga merasa tenang dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu, bapak dan guru-guru mereka. Bedanya adalah mereka memperoleh ajaran yang salah dari orang tua dan guru-guru mereka, sedangkan orang-orang Islam mempercayai kebenaran itu bukan karena melihat kebenaran karena penyaksiannya terhadap Allah, tetapi karena mereka telah diberikan ajaran yang haq, yang benar. Selanjutnya iman tingkat kedua yaitu imannya orang-orang ahli Ilmu Kalam yaitu dimana mereka beriman cukup berdasarkan dalil aqli dan naqli, dan mereka merasa puas dengan itu. Iman tingkat kedua ini tidak jauh berbeda derajatnya dengan iman tingkat pertama. Sebagai contoh, apabila ada orang yang mengatakan kepadamu bahwa Zaid itu di rumah, kemudian kamu mendengar suaranya, maka bertambahlah keyakinanmu, karena suara itu menunjukkan adanya Zaid di rumah tersebut. Lalu hatinya menetapkan bahwa suara orang tersebut adalah suara si Zaid. Iman pada tingkat ini adalah iman yang bercampur baur dengan dalil dan kesalahan pun juga mungkin terjadi karena mungkin saja ada yang berusaha menirukan suara tadi, tetapi yang mendengarkan tadi merasa yakin dengan apa yang telah di dengarnya, karena ia tidak berprasangka buruk sama sekali dan ia tidak menduga ada maksud penipuan dan peniruan. Jadi imannya orang-orang ahli ilmu kalam masih terdapat kesalahan dan kekeliruan padanya. Adapun Iman tingkat ketiga yaitu imannya orang-orang ahli makrifat yang telah mempelajari tarekat. Mereka beriman kepada Allah dengan pembuktian melalui penyaksian kepada Allah. Sebagai perumpamaan: Apabila kamu masuk ke dalam rumah, maka kamu akan melihat dan menyaksikan Zaid itu dengan pandangan mata kamu. Inilah makrifat yang sebenarnya dan inilah yang dikatakan iman yang sebenarnya. Karena mereka beriman dengan pembuktian melalui penyaksian mata hatinya, maka mustahil mereka terperosok ke jurang kesalahan. Dari ketiga tingkatan iman ini dapatlah kita ketahui bahwa hanya orang-orang ahli makrifatlah atau orang-orang ahli tarekatlah yang dikatakan benar-benar telah beriman kepada Allah. Adapun imannya orang-orang awam dan imannya orang-orang ahli ilmu kalam adalah beriman secara syari’at, namun secara hakikat mereka belum beriman kepada Allah, disebabkan karena ketiadaan ilmu dan ketidaktahuan mereka. Jadi hanya dengan mempelajari tarekatlah kita baru dapat lepas dari syirik khafi (syirik yang tersembunyi) dan syirik yang jali (syirik yang nyata). Kita patut bersyukur kepada Allah SWT karena kita tergolong kepada tingkatan iman yang ketiga yaitu imannya orang-orang ahli makrifat yang tentunya peringkat ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang telah mempelajari ilmu tarekat. Karena tanpa bertarekat mustahil Allah dapat dikenal. Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mau mempelajari ilmu tarekat atau ilmu hati, sehingga mereka tidak mengenal Tuhan yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 22 : ٌﻞْﻳَﻮَﻓ ﻟِﻠْﻘَﺴْﻴَﺔِ ﻣُّﺒِﻴْﻦِ ﺿَﻠَﻞٍ ﺃُﻟَﺌِﻚَ ﻓِﻰ ﺫِﻛْﺮِﺍﻟﻠﻪِ ﻗُﻠُﻮْﺑُﻬُﻢْ ﻣِﻦْ Artinya : Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Tentu bagi kita yang telah memperoleh ilmu dan pengenalan kepada Allah, kita memiliki kewajiban untuk berdakwah dalam rangka melepaskan umat manusia dari kesesatan karena tidak mengenal Allah, dan di dalam melakukan dakwah tentunya harus dilaksanakan dengan arif dan bijaksana, sebagaimana firman Allah ُﻉْﺩُﺃ ﺑِﻻْﺤِﻜْﻤَﺔِ ﺭَﺑِّﻚَ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍِﻟَﻰ ﻭَﺍﻟْﻤَﻮْﻋِﻈَﺔِ ﺍﻟْﺤَﺴَﻨَﺔ Artinya : Serulah kepada Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik. Dakwah bil hikmah adalah dakwah yang ditujukan kepada orang yang alim atau orang yang berilmu. Adapun dakwah dengan mauizatil hasanah adalah dakwah yang ditujukan kepada orang yang awam atau orang yang bodoh dengan cara memberikan nasehat yang baik. Ada dua jenis orang bodoh yang harus kita ketahui sebagai sasaran dakwah kita. Jenis pertama adalah orang bodoh yang mau belajar, maka tunjukilah ia, karena dia memang jauh dari panduan dan petunjuk sedang niatnya penuh untuk menambah ilmu pengetahuan dan taat melakukan ibadah. Jenis yang kedua adalah orang bodoh yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu dan tidak mau tahu. Maka janganlah dekati dia dan jangan membuang-buang waktu untuk mendakwahinya karena orang bodoh jenis kedua ini adalah syetan yang berwujud manusia. Pintarnya tidak dapat diturutkan, bodohnya tidak dapat ditunjukkan, ia lebih bodoh dari keledai, lebih bebal dari lembu. Tinggalkanlah ia dalam kebodohannya, sampai nanti Allah merobahnya. Kalau menghadapi orang bodoh saja sudah sulit, tentu lebih sulit lagi berdakwah kepada orang yang berilmu dikarenakan kesombongan yang ada pada dirinya karena telah merasa banyak memiliki ilmu. Orang alim seperti ini disebut alim tanggung, ilmunya ke atas tak sampai, ke bawah tak jejak, yang selalu berebut pengaruh di masyarakat dan berdakwah di sana-sini. Mereka bagaikan cendawan yang tumbuh menonjol di sana-sini sambil membusungkan dada dengan banyaknya ilmu yang tak bersari. Sungguh sedih dan kasihan kita melihat orang yang seperti ini. Disangka emas rupanya mentasi. Maka ajaklah mereka ini untuk mengenal Allah dengan cara yang bijaksana karena mereka terhijab oleh ilmu yang mereka miliki.

Kamis, 27 Juni 2013

Memahami Cinta

MEMAHAMI CINTA Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur? Ketika kita menangis? Ketika kita membayangkan? Itu karena hal terindah di dunia tidak terlihat Ketika kita menemukan seseorang yang Keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung Dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan serupa yang dinamakan CINTA. Ada hal-hal yang tidak ingin kita lepaskan, seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan Tapi melepaskan bukan akhir dari dunia, melainkan suatu awal kehidupan baru, Kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti, mereka yang telah dan tengah mencari dan mereka yang telah mencoba. Karena merekalah yang bisa menghargai betapa pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan mereka. Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya Adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia. Adalah ketika di mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum dan berkata ” aku turut berbahagia untukmu ” Apabila cinta tidak bertemu bebaskan dirimu, biarkan hatimu kembali ke alam bebas lagi. kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati kamu tidak perlu mati bersama cinta itu. Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu mendapatkan keinginannya, melainkan mereka yang tetap bangkit ketika mereka jatuh, entah bagaimana dalam perjalanan kehidupan. kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri dan menyadari bahwa penyesalan tidak seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya sebagai penghargaan abadi atas pilihan-pilihan hidup yang telah kau buat. Teman sejati, mengerti ketika kamu berkata ” aku lupa ….” menunggu selamanya ketika kamu berkata ”tunggu sebentar ” tetap tinggal ketika kamu berkata ” tinggalkan aku sendiri ” membuka pintu meski kamu belum mengetuk dan belum berkata ” bolehkah saya masuk ? ” mencintai juga bukanlah bagaimana kamu melupakan dia bila ia berbuat kesalahan, melainkan bagaimana kamu memaafkan. Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan, melainkan bagaimana kamu mengerti. bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa yang kamu rasa, bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan bagaimana kamu bertahan. Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita menyadari bahwa orang iu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya. kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu, karena takut kau berpaling dan memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari.

Minggu, 23 Juni 2013

Kahlil Gibran : Pikiran dan Samadi

Pikiran dan Samadi

Hidup menjemput dan melantunkan kita dari satu tempat ke tempat yang lain; Nasib memindahkan kita dari satu tahap ke tahap yang lain. Dan kita yang diburu oleh keduanya, hanya mendengar suara yang mengerikan, dan hanya melihat susuk yang menghalangi dan merintangi jalan kita. Keindahan menghadirkan dirinya dengan duduk di atas singgasana keagungan; tapi kami mendekatinya atas dorongan Nafsu ; merenggut mahkota kesuciannya, dan mengotori busananya dengan tindak laku durhaka. Cinta lalu di depan kita, berjubahkan kelembutan ; tapi kita lari ketakutan, atau bersembunyi dalam kegelapan, atau ada pula yang malahan mengikutinya, untuk berbuat kejahatan atas namanya.
Meskipun orang yang paling bijaksana terbongkok karena memikul beban Cinta, tapi sebenarnya beban itu seiringan bayu pawana Lebanon yang berpuput riang. Kebebasan mengundang kita pada mejanya agar kita menikmati makanan lezat dan anggurnya ; tapi bila kita telah duduk menghadapinya, kita pun makan dengan lahap dan rakus. Tangan Alam menyambut hangat kedatangan kita, dan menawarkan pula agar kita menikmati keindahannya ; tapi kita takut akan keheningannya, lalu bergegas lari ke kota yang ramai, berhimpit-himpitan seperti kawanan kambing yang lari ketakutan dari serigala garang. Kebenaran memanggil-manggil kita di antara tawa anak-anak atau ciuman kekasih, tapi kita menutup pintu keramahan baginya, dan menghadapinya bagaikan musuh. Hati manusia menyeru pertolongan ; jiwa manusia memohon pembebasan ; tapi kita tidak mendengar teriak mereka, karena kita tidak membuka telinga dan berniat memahaminya.
Namun orang yang mendengar dan memahaminya kita sebut gila lalu kita tinggalkan.
Malampun berlalu, hidup kita lelah dan kurang waspada, sedang hari pun memberi salam dan merangkul kita. Tapi di siang dan malam hari, kita sentiasa ketakutan. Kita amat terikat pada bumi, sedangkan gerbang Tuhan terbuka lebar.
Kita memijak-mijak roti Kehidupan, sedangkan kelaparan memamah hati kita. Sungguh betapa budiman Sang Hidup terhadap Manusia, namun betapa jauh Manusia meninggalkan Sang Hidup

Mereka yang Telah Mati

Rumi : Mereka yang Telah Mati

Para pecinta, yang dengan ikhlas mati dari diri mereka sendiri: mereka bagaikan gula, di hadapan Sang Kekasih. Pada Hari Perjanjian, [1] mereka minum Air Kehidupan, sehingga matinya jiwa mereka tak seperti kematian orang lain. Karena mereka telah dibangkitkan dalam Cinta, kematian mereka tak seperti orang kebanyakan. Dengan kelembutan-Nya mereka telah melampaui tingkat para malaikat; sama sekali tak bisa kematian mereka dibandingkan dengan orang kebanyakan. Apakah kau sangka Singa mati bagai anjing, jauh dari hadirat-Nya? [2] Ketika para pecinta mati di tengah Jalan, Sang Raja Ruhaniah berlari menyambut. [3] Ketika mereka mati di kaki Sang Rembulan, [4] mereka menyala bagaikan Matahari. [5] Jiwa para pecinta sejati itu bersatu mereka mati dalam saling mencintai. [6] Derai embun Cinta membasuh jantung mereka, mereka sampai pada kematian dengan hati berdarah-darah. Setiap mereka, mutiara yatim tiada tara, tidaklah mereka mati di sisi ayah-ibunya. Para pecinta terbang menembus lelangit, para pembangkang terpanggang dalam Api. Para pecinta terpana menatap yang tak-terlihat, selain mereka, semua mati dalam buta-tuli. Sepanjang hidupnya, para pecinta ketakutan, karenanya mereka berjaga menghidupkan malam; [7] kini mereka mati tanpa takut atau bahaya. Mereka yang disini memuja dunia, hidup bagaikan ternak, [8] dan akan mati seperti keledai. Mereka yang hari ini mendamba wajah-Nya, akan mati berbahagia, gembira dengan apa yang mereka lihat. Sang Raja menempatkan mereka di sisi Rahmat-Nya; mereka tak mati dengan hina. Mereka yang meneladan kebajikan Muhammad, akan mati bagai Abu Bakar atau Umar. Jiwa-jiwa mereka sama sekali tak tersentuh kematian ataupun kehancuran. [9] Bahkan kudendangkan ode ini kepada mereka yang menyangka jiwa-jiwa mereka telah mati. Catatan: [1] QS [7]: 172. [2] Mengingatkan kepada sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar “Singa Allah.” [3] Sambutan Sang Pemimpin tertinggi para pecinta Tuhan, Rasulullah SAW, yang mengingatkan kita pada sebuah Hadits Qudsi, “... dan jika dia kembali kepada-Ku berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” (HQR Syaikhani dan Turmudzi dari Abu Hurairah r.a). [4] Kematian diri sang pencari dalam cahaya sunnah Al-Mustapha. [5] Terbitnya Matahari dalam diri. [6] “Berhak akan Cinta-Ku, mereka yang saling cinta dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang- orang yang menghubungkan silatur-rahim dalam-Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menasehati dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menziarahi dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling memberi dalam Kami. Mereka yang saling cinta didalam Kami dan atas Kami akan disuruh berdiri di atas mimbar cahaya yang diinginkan pada nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HQR Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Qudla'i yang bersumber dari 'Ubadah bin Shamit r.a) [7] “... mereka yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS [3]: 17) [8] “... bagaikan binatang ternak ...” (QS [7]: 179) [9] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS [3]: 169)

Sumber: Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 972 Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick dalam The Sufi Path of Love, SUNY Press, Albany, 1983.

Malam Nisfu sya'ban

Malam Nisfu Sya'ban

Assalamualaikum.. Malam nisfu Sya'ban adalah salah satu malam yang sangat berkah dalam kehidupan umat muslim.Imam Syafii rahimahullah berkata : "Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam jumat, malam idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam nisfu sya'ban" (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319). Banyak kelompok yang mempertanyakan keabsahan ibadah di malam Nisfu Sya'ban ini. untuk itu sy tuliskan beberapa dalil tentang keutamaan malam nisfu sya'ban sebagai berikut: Sabda Rasulullah saw : "Allah mengawasi dan memandang hamba hamba Nya di malam nisfu sya'ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik dan orang yg pemarah pada sesama muslimin" (Shahih Ibn Hibban hadits no.5755) Dalam Riwayat lain berkata Aisyah ra : disuatu malam aku kehilangan Rasul saw, dan kutemukan beliau saw sedang di pekuburan Baqi', beliau mengangkat kepalanya kearah langit, seraya bersabda : "Sungguh Allah turun ke langit bumi di malam nisfu sya'ban dan mengampuni dosa dosa hamba Nya sebanyak lebih dari jumlah bulu anjing dan domba" (Musnad Imam Ahmad hadits no.24825) Diriwayatkan dari Siti A’isyah ra berkata, :”“Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: “Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian?”. Lalu aku menjawab: “Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama”. Lalu beliau bertanya: “Tahukah engkau, malam apa sekarang ini”. “Rasulullah yang lebih tahu”, jawabku. “Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki” (H.R. Baihaqi) . Diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah pada malam nishfu Sya’ban mengawasi seluruh mahluk-Nya dan mengampuni semuanya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan.” (HR Ibnu Majah) Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib KW bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika malam nishfu Sya’ban tiba, maka salatlah di malam hari, dan berpuasalah di siang harinya, karena sesungguhnya pada malam itu, setelah matahari terbenam, Allah turun ke langit dunia dan berkata, Adakah yang beristighfar kepada Ku, lalu Aku mengampuninya, Adakah yang memohon rezeki, lalu Aku memberinya rezeki , adakah yang tertimpa bala’, lalu Aku menyelamatkannya, demikian seterusnya hingga terbitnya fajar.” (HR Ibnu Majah). Demikian beberapa hadits diatas,Kita memahami banyak pendapat yang bertentangan dalam memahami malam nisfu sya'ban ini, namun demikian kita harus terus menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan cara memperbanyak ibadah, shalat sunnah, zikir, shalawat, membaca al- Qur’an, dan ibadah sunah lainnya.
Semoga Allah terus meridhoi semua amal kita.. Amin.

Sabtu, 22 Juni 2013

Barokah Bisa Dirasa Tidak Bisa Diraba

Barokah Bisa Dirasa Tidak Bisa Diraba

www.habiblutfiyahya.net

Barokah berasal dari bahasa Arab baaroka ﻙﺭﺎﺒﻳ ﻙﺭﺎﺑ ﺎﻛﺭﺎﺒﻣ ﺎﺘﻛﺭﺎﺒﻣﻭ , yang secara bahasa (etimologi) berarti semakin bertambahnya kebaikan atau manfa’at (ziyadatu al-khoiri awi al- naf’i). menurut kamus al-Muhith, barokah berawal dari arti kata bergerak, tumbuh;berkembang; dan bahagia. Dari sini, para ulama kemudian mendefinisikan barokah sebagai “bertambahnya manfa’at dan kebaikan dalam setiap hal yang kita lakukan waktu demi waktu”. Ada juga yang mengartikan barokah sebagai kebaikan belimpah yang diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Barokah juga dapat diartikan sebagai kepeka’an untuk selalu bersikap baik dan benar. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, barokah adalah semakin dekatnya kita kepada Allah. Pengertian ini amat dipegang teguh oleh ulama terutama di Indonesia. Jika ada seseorang berkata “Semoga Allah memberkatimu” maka yang dimaksud adalah semoga Allah selalu mendatangkan kebaikan dan manfa’at bagianda sehingga anda semakin dekat kepadaNya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), barokah atau berkah diartikan sebaagai : “Karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia, atau doa restu dan pengaruh baik yang mendatangkan selamat serta bahagia dari orang yang dihormati atau dianggap suci (keramat), seperti berbakti kepada guru, orang tua, atau pemuka agama”. Sedangkan dalam kitab Riyadlus Shalihin dijelaskan, bahwa barokah adalah : “Sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama, ziyadat al-khair ‘ala al-ghair.” Pengertian ini sangat umum dan fleksibel, tergantung penafsiran kita dan konteks yang dihadapi. Bila dikaitkan dengan ilmu dan guru, maka yang dimaksud adalah bertambahnya ilmu disertai doa restu guru dan pengaruh baik serta kebahagia’an yang datang setelah kita belajar. Jika dikaitkan dengan harta, maka yang dimaksud ialah harta yang menyebabakan seseorang yang mempergunakanya memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa, sehingga mampu mendorong berbuat kebaikan kepada sesama. Sedangkan menurut Prof. Shobah Ali Al-Bayati seorang cendekiawan Muslim Irak, mengartikan barokah sebagai “energi positif” yang luar biasa dahsyatnya, yang terpancar ketika seseorang berhubungan dengan sesuatu, tentunya atas izin Allah SWT. Wujud dari Barokah Habib Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya memiliki tamsil yang cukup menarik tentang barokah. Menurut beliau, barokah itu seperti garam. Garam adalah bumbu masakyang pengguna’anya hanya sedikit diantara bumbu-bumbu yang lain. Meski sedikit, bumbu tersebut sangat bermanfa’at dan sangat dibutuhkan. Sebab, masakan tanpa garam rasanya pasti hambar. Begitupun hidup kita, akan terasa hambar tanpa unsur-unsur barokah. Artinya, sesuatu yang barokah ialah segala hal yang membuahkan kebaikan dan manfa’at bagi diri kita, agama kita, dan seterusnya. Semakin bertambahnya kebaikan dan manfa’at bias berbentuk ibadah yang semakin rajin, bergunanya ilmu yang dimiliki, datangnya rizki yang halal, bertambahnya kesabaran, semakin baiknya perilaku dan ucapan, semakin kuatnya iman dan Islam, dan segala bentuk kebaikan dan manfa’at yang tak terhitunh jumlahnya. Mnafa’at dari barokah memang tidak bisa dirasakan seketika dan secara kasat mata. Ia bisa dirasa tapi tidak bisa diraba. Ketenangan, kedamaian, ketentraman, ketabahan, ketegaran, dan keberhasilan hidup adalh sesuatu yang selalu menyertai hidup yang berbarokah. Tapi perlu dicatat, kehidupan yang disetai barokah bukan berarti tanpa masakah. Problematika hidup pasti selalu ada menyertai kehidupan manusia. Banyaknya masalah bukan berarti hidup tak barokah. Coba liat bagaimana kehidupan Rasulullah dan para sahabat. Masalah-masalah yang mereka hadapi tidaklah kalah banyak, atau bahkan jauh labuh banyak dan jauh lebuh berat, dari pada yang kita hadapi sekarang. Namun mereka bias menghadapinya secara dewasa, tegar, sabar, tenang, dan tawakkal. Semua ujian dan coba’an dijadikan sarana pembelajarasn mental agar tumbuh lebih matangdan lebih dewasa. Buktinya, setelah ujian itu berlalu, Nabi dan para sahabat bias hidup sukses dunia akhirat, sehingga manfa’at perjuangan mereka dapat kita rasakan hingga sa’at ini. Itulah hidup yang berbarokah. Kepercaya’an akan adanya unsur barokah alam setiap hal, akan mendorong seseorang untuk selalu berbuat dan berperilaku baik, meskipun tampaknya tidak menguntungkan secara materiil. Keyakinan itu juga akan menjadikanya menghindar dari perbuatan jahat, meskipun perbuatan itu secara lahir menguntungkan. Sikap inilah yang dipraktehhan Rasulullah, para sahabat, dan para tabi’in di masa awal Islam. Jadi, barokah berfungsi memberi “ruh” atau esensi pada semua perbuatan manusia. Karna itu, ada dan tidaknya barokah sangat tergantug pada benar dan tidaknya perilaku kita.Semakin baik perilaku kita, berarti semakin banyak barokah didalamnya. Begitu juga sebaliknya. Intinya, barokah menentukan keberhasilan yang hakiki dari sebuah pekerja’an, bauk terjadi seketika atau dalam waktu yang lama. Inilah kadang yang sering disalah mengerti oleh kalangan rasionalis, yang selalu mengukur segala sesuatu dengan materi atau hal-hal yang bersifat fisik saja. Padahal dalam kehidupan ini, banyak hal yang bersidat non fisik yang sebenarnya menjadi esensi dari segala sesuatu. Itulkah yang disebut nilai. Nilai, arti, manfa’at, atau makna, adalah sesuatu yang bersiafat abstrak. Nilai-nilai yang abstrak itulah yang disebut barokah. Kebaikan, kejujuran, kemnfa’atan, keta’atan bahkan pahala, adalah buah dari barokah. Semakin barokah kehidupan seseorang semakin baik pula perilkunya, semkain jujur ucapanya, semakin bermanfa’at perbuatanya, semakin ta’at kehidupan sepiritualitasnya, semakin besar pahala yang diperolehnya, sehiongga semakin mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Inilah fungsi utama barokah, sebagamana dimaksudkan oluh Ibnu Qayim al-Jauziyah. Kesimpulan Barokah meliputi semua spektrum kehidupan manusia. Ia adlah karunia yang abstrak, dapat dirasa tapi tidak dapat diraba. Ia adalah pertumbuhan dan peningkatan kualitratif yang tidak bias dikalkulasi dengan hitungan matematis, apalgi diukur dengan materi (uang, kekaya’an, jabatan, dll.). Barokah juga dapat diperoleh kapn dan dimana saja. Segala sesuatu dilangit dan di bumi yang mengandung hikmah dan kebaikan pasti berbarokah. Seluruh jagat raya adalah ayat-ayat Allah yang penuh dengan berkah.
Tergantung manusia bagaimana memanfa’atkanya.
WaAllahu a’alam bi al-Showab….! M.Z. 2103

Jumat, 21 Juni 2013

Ya Robbi Bil Mustofa

Sholawat- Ya Robbi Bil-Mustofa Yaa robbi bil-Mustofa balligh maqooshidanaa Waghfirlanaa maamadho yaa waasi'al karomi Muhammadun sayyidul kaunaini watstsaqolaini wal fariiqoini min 'urbin wamin 'ajami Maulaaya sholli wasallim daa-iman abada 'alan-Nabiyyi wa Ahlil-Baiti kullihimi Yaa Rasulallaah salaamun 'alaik yaa rofil-'assyaani waddaroji Ahlu-baitil Musthofa-ththuhuri hum amaanul ardhi faddakiri Robbi fanfa'naa bibarkaitihim wahdinal husnaa bihurmatihim Huwal habiibbul-ladzi turjaa syafaa'atuhu likulli haulin minal ahwali muqtahami

Adzab Mu Illahi

Allah ampunilah semua kesalahan Terimalah taubat kami Tubuhku, bergetar saat menyebut asma-Mu Terbayang kebesaran-Mu Bersujud, bersimpuh kepada-Mu ya Allah Berilah rahmat-Mu Hamba penuh dosa Berharap belas kasih-Mu Hamba penuh dosa Ya.. Allah ampunilah semua kesalahan Terimalah taubat kami Allah lindungilah, Allah jauhkanlah dari adzabmu lllahi Berdzikir, berdoa, berserah diri pada-Mu Tunjukkan aku jalan-Mu Bertambah usiaku, smakin bertambah dosaku Kumohon ampunan-Mu Hamba penuh dosa, berharap belas kasih-Mu Hamba penuh dosa Ya.. Allah ampunilah, semua kesalahan Terimalah taubat kami Allah lindungilah, Allah jauhkanlah dari adzab-Mu Illahi Allah ampunilah, smua kesalahan Terimalah taubat kami Allah lindungilah Allah jauhkanlah dari adzab-Mu Illahi Allah ampunilah, smua kesalahan Terima taubat kami Allah lindungilah Allah jauhkanlah

dari: adzab-Mu Illahi

Kamis, 20 Juni 2013

legenda gunung kemukus

Legenda gunung kemukus part 2

Sejarah Perkembangan Legenda Gunung Kemukus Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah, dianggap bertuah. Tiap hari makam ini didatangi banyak orang. Selain ziarah, bias digunakan untuk mengukur kekuatan jantung dengan menapaki anak tangga menuju makam. Gunung Kemukus merupakan kompleks makam Pangeran Samudro dan ibu tirinya, Dewi Ontrowulan. Kompleks ini tepat berada di puncak bukit setinggi 300 meter di atas permukaan laut. Kawasan ini terdiri dari bangunan utama berbentuk rumah joglo dengan campuran dinding beton dan papan. Ada tiga makam di dalamnya. Sebuah makam besar yang ditutupi kain kelambu putih merupakan makam Pangeran Samudro dan ibunya. Dua makam di sampingnya adalah dua abdi setia sang pangeran. Sementara itu, di sebelah bangunan utama terdapat bangsal besar yang diperuntukkan bagi peziarah sekadar untuk istirahat. Sekitar 300 meter dari kompleks makam, di kaki bukit sebelah Timur, terdapat Sendang Ontrowulan. Sendang ini merupakan mata air yang digunakan Ontrowulan untuk menyucikan diri agar bisa bertemu putranya. Mata air itu tak pernah kering meski pada musim kemarau panjang sekalipun. Bagi yang percaya, air di sendang itu bisa membuat awet muda. Kawasan itu pun dilindungi oleh rimbunnya pohon nagasari yang menjulang tinggi. Usia pohon nagasari terbilang tua. Konon, pohon-pohon itu tumbuh dari kembang- kembang hiasan rambut yang terlepas dari kepala Ontrowulan usai dia melakukan penyucian diri. Kalau datangnya melewati pintu gerbang depan, harus menaiki 175 anak tangga sebelum sampai ke makam. Namun, bila memutar lewat pintu belakang, yaitu melewati Sendang Ontrowulan, harus melewati jalan berbatu yang mendaki sejauh sekitar satu km. Aktivitas jalan kaki itu membuat jantungberdenyut kencang sebelum sampai ke makam. Sampai di teras makam, ada seorang juru kunci yang duduk di dekat perapian. Bau kemenyan merebak di sana. Setelah menyampaikan niat, sang juru kunci akan mendoakan dengan mantra yang tak jelas terdengar. Setelah itu, peziarah masuk ke dalam bangunan utama. "Kita bisa menyampaikan semua niat dan keinginan. Asal dengan sungguh-sungguh, niscaya segala keinginan akan terkabul”. Pada setiap malam Jumat Pon jumlah pengunjung membludak, mencapai ribuan orang. Puncak ziarah terjadi pada malam Jumat Pon atau Jumat Kliwon di bulan Suro atau Muharam. Pada malam itu biasanya peziarah mencapai belasan ribu orang. Kebanyakan pengunjung berasal dari Jawa Barat. Makam Pangeran Samudro diyakini memiliki tuah yang bisa mendatangkan berkah bagi mereka yang memohon dengan sungguh-sungguh. Sebut saja ingin sukses berdagang, mudah jodoh, atau karier cepat menanjak. Sayangnya, objek ini tercemar oleh mitos-mitos sesat. Misalnya, niat seseorang akan terpenuhi asal dia harus berhubungan seks dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya secara berturut-turut sebanyak tujuh kali. Padahal, tidak ada dasar cukup kuat untuk membenarkan mitos ini. Karena itu, kini pada hitungan 150 anak tangga menuju makam, Dinas Pariwisata Kabupaten Sragen memasang pengumuman melarang perbuatan asusila. Namun, begitulah seks, selalu mempunyai daya magnetis yang kuat. Apalagi banyak orang yang percaya akan kebenaran mitos. Terlepas dari itu, bila kita ingin menikmati pemandangan Bukit Kemukus dan sedikit berolahraga dengan menaiki anak tangga kemudian berziarah, maka akan mendapatkan kepuasan jasmani dan rohani. Fungsi Folklor bagi Masyarakat Folklor Legenda Gunung Kemukus ini mempunyai banyak fungsi. Munculnya mitos- mitos bahwa siapa saja yang meneruskan hubungan kisah cinta Pangeran Samudro dengan ibu tirinya, Dewi Ontrowulan maka segala keinginan akan tercapai. Banyak masyarakat yang memanfaatkan hal ini untuk mencari rezeki atau yang sering disebut “ ngalap berkah ” dengan cara berziarah ke makam Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan. Selain digunakan untuk mencari pesugihan, makam Pangeran Samudro ini telah menjadi tempat wisata yang terkenal, sehingga bisa menambah penghasilan penduduk setempat karena banyak wisatawan dalam negeri maupun wisatawan asing yang datang berkunjung ke tempat itu. Makam Pangeran Samudro juga sering didatangi oleh para mahasiswa untuk melakukan penelitian folklor maupun penelitian sejarah yang berkaitan tentang Pangeran Samudro.

Selasa, 18 Juni 2013

Niat Dan Nadzar

Assalamu`alaikum.Wr.Wb Para ustad yang terhormat, langsung saja, saya mau menannyakan perbedaan niat(berangan-angan) dengan nadzar. Mohon penjelasannya segera dan terima kasih sebelumnya. Wassalam. Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Angan-angan sebenarnya semacam keinginan atau cita-cita. Tetapi konotasinya lebih kepada seuatu yang mustahil untuk tercapai, paling tidak jalan menuju kepada realisasinya masih terlalu jauh, bahkan dalam kasus tertentu bisa jadi tidak mungkin tercapai. Sedangkan nazar adalah salah satu bentuk permohonan kepada Allah dengan janji melakukan amal ibadah yang bernilai taqarrub kepada-Nya bila permohonan itu terlaksana. Jadi dalam nazar ada unsur doa dan harapan kepada Allah, sedangkan angan-angan sekedar keinginan dan kemauan tanpa terselip unsur permohonan kepada Allah. Sedangkan doa yang kita panjatkan kepada Allah berbeda dengan nazar dari sisi janji untuk ‘membayar’ dengan suatu amal tertentu bila terkabul. Hukum nazar sendiri merupakan perselisihan para ulama. Sebagian membolehkannya dan sebagian lainnya melarangnya. Dasarnya adalah karena nazar itu menunjukkan bahwa seseorang itu pelit / kikir kepada Alah. Mau melakukan kebajikan hanya kalau Allah meluluskan hajatnya. Seolah-olah niatnya tidak ikhlas karena Allah, tapi karena ingin diluluskan hajatnya. Sehingga, menurut para ulama yang mendukung pendapat ini, sebaiknya seseorang tidak bernazar. Rasulullah SAW telah melarang untuk bernazar dan bersabda,”Nazar itu tidak menolak sesuatu. Sebenarnya apa yang dikeluarkan dengan nazar itu adalah dari orang bakhil/kikir”. Selain itu, nazar hanya dibenarkan manakala bentuknya adalah amal yang bersifat taqarrub ilallah. Yaitu yang bernilai ibadah seperti shalat, puasa, shadaqah dan lainnya. Sedangkan bila tidak bernilai ibadah seperti bila lulus ujian,seseorang akan menggunduli kepala sampai licin tuntas, maka hal itu tidak bisa disebut nazar. Lepas dari perbedaan ulama tentang boleh tidaknya bernazar, bila nazar sudah dijatuhkan, maka hukumnya wajib untuk ditunaikan. Karena pada dasarnya nazar adalah janji kepada Allah. Dalam hal ini kita bisa lihat contoh kasusnya dalam bab puasa wajib, dimana kita menemukan bahwa selain puasa ramadhan dan qadha`nya juga ada puasa nazar. Yaitu ketika seseroang bernazar untuk berpuasa bila keinginannya dikabulkan. Hukumnya adalah wajib untuk dikerjakan. Kembali kepada boleh tidaknya bernazar, lalu tindakan apa yang seharusnya dikerjakan bila memang kondisi kita sangat membutuhkan adanya campur tangan Allah secara langsung. Seperti dalam menghadapi penyakit kronis atau hal-hal gawat lainnya ? Para ulama menganjurkan bila seseorang sedang dalam keadaan genting, sebaiknya dia berdoa langsung kepada Allah untuk meminta dilepaskan dari beban dan diluluskan semua hajatnya. Selain itu bisa juga dengan bertawassul dengan amal baik yang bernilai ibadah. Baik amal itu pernah dilakukan atau akan dilakukan. Ada cerita menarik dalam salah satu hadits nabi dimana diceritakan ada tiga orang kakak beradik bepergian dan masuk ke dalam gua. Tiba-tiba tanah bergerak dan pintu gua tertutup timbunan. Tiga tenanga manusia tidak mungkin bisa membuka pintu tersebut. Lalu ketiganya hanya berharap kepada pertolongan Allah dan mulailah mereka berdoa. Masing berdoa dan bertawassul dengan menyebutkan amal kebajikan yang pernah dilakukannya. Dan akhirnya atas kehendak Allah, mereka bisa keluar dari pintu gua tersebut. Atau bisa juga pada saat gawat dan genting, seseorang mengeluarkan sejumlah harta dan diberikan kepada fakir miskin atau anak yatim. Hal itu memang dianjurkan terutama ketika seseorang sedang mengalami musibah sakit. Atau mewakafkan sejumlah tanah unutk madrasah dan sebagainya. Tawassul seperti ini jelas memiliki dasar yang kuat karena Allah SWT memang memerintahkannya dalam Al-Quran. Juga tidak seperti nazar yang seolah-olah tawar menawar kepada Allah. Bila Allah beri maka saya beri tapi bila tidak diberi maka saya tidak akan memberi. Dari segi etika saja, jelas ini bukan etika yang baik dari seorang hamba kepada Rabb-Nya. Sedangkan tawassul dengan amal-amal kebajikan berbeda dengan nazar. Karena pada dasrnya kita berdoa dan menguatkan doa kita dengan wasilah tersebut. Bila Allah luluskan, alhamdulillah dan bila tidak atau belum, maka kita tetap berhusnuzzon kepada Allah SWT. Wallahu a`lam bis- shawab. Wassalamu `alaikum Wr. Wb

Senin, 17 Juni 2013

Rintihan Hati

Rintihan Hati Ada orang menyangka ibadah itu sekadar rukuk dan sujud di tikar sembahyang. Atau mengalunkan ayat-ayat Al Quran dengan penuh khusyuk dan tawadhuk. Atau menggentel biji tasbih dengan berzikir dan bertahmid. Atau sekadar membahagi-bahagikan harta kepada fakir miskin. Ibadah itu luas pengertiannya. Seluas lautan yang tak bertepi. Ibadah tidak terbatas pada sembahyang sunat berpuluh-puluh rakaat. Ia tidak terbatas pada puasa sunat seperti puasa Nabi Daud; sehari berpuasa sehari berbuka. Pun tidak dikhususkan kepada membayar zakat, menunaikan haji dan sebagainya. Ibadah adalah pengabdian diri kepada Allah. Dan antara bentuk pengabdian diri yang tidak ketara dan tidak perlu mengeluarkan tenaga ialah ingatan hati dan rintihan hati kepada Allah. Ia merupakan ibadah yang besar nilainya di sisi Allah. Mudah tetapi tidak ramai yang mampu melakukannya.Mengingati Allah dikira ibadah kerana ia menandakan seorang hamba itu benar- benar berhati hamba. Hamba yang tak punya apa-apa. Yang sewaktu datang ke dunia, tak membawa walau seurat benang di tubuh. Justeru hati sentiasa ingat kepada Yang Maha Pencipta, sentiasa mengharap bantuan-Nya dan sentiasa bergantung kepadaNya. MengingatiNya menimbulkan rasa syukur atas segala nikmat kurniaanNya. Namun berapa kerat di antara kita yang ingat akan Allah. Ramai yang lalai dan lupa. Dalam sembahyang, fikiran menerawang entah ke mana. Apatah lagi di luar sembahyang. Renungilah sabda kekasihNya dalam sebuah hadis Qudsi yang bermaksud: “Wahai anak Adam! Jika engkau ingat kepadaKu, Aku juga tetap ingat kepadamu. Dan jika engkau lupa kepadaKu, Aku masih ingat terus kepadamu. Apabila engkau taat kepadaKu, maka pergilah ke mana saja yang engkau suka, di tempat engkau mematuhiKu dan Aku mematuhimu, dan engkau mengikhlaskan kecintaanKu kepadamu, kemudian engkau memalingkan diri daripadaKu, sedang Aku tetap mengambil berat terhadapmu. Siapakah yang memberimu makan sewaktu engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku tetap menguruskan segala keperluanmu dengan baik, sehingga terlaksana semua takdirKu terhadapmu. Apabila Aku lahirkan engkau ke alam dunia, engkau lalu membuat maksiat. Bukan begini sewajarnya balasanmu terhadap siapa yang berbuat baik kepadamu.” Memang wajar kita mengingati Allah yang telah banyak memberi nikmat kepada kita. Allah yang sentiasa ingat akan kita. Yang terus saja memerhatikan kita. Yang terus mengasihani kita. Yang terus memberi rezeki kepada kita walaupun Dia seringkali diderhakai. Dengan apa patut kita balas nikmat Allah yang terlalu banyak itu. Ibarat orang yang sedang bercinta, cukuplah asal dikenang atau diingati orang yang dicintai. Begitu juga dengan Allah. Ingatlah Dia kemana kita pergi. Ingat akan Allah bukan semestinya di tikar sembahyang saja. Biar tubuh bersama manusia tetapi hati bersama Allah. Agar setiap detik kita sentiasa dalam ibadah. Rasulullah bersabda yang maksudnya: “ berfikir sesaat itu lebih baik daripada sembahyang sunat seribu rakaat (yang tidak khusyuk). ” Demikian keutamaan bagi orang yang sentiasa berfikir tentang kebesaran Allah. Akal yang berfikir akan meruntun hati agar sentiasa ingat kepada Allah. Apabila hati selalu mengingatiNya, terasa betapa hampirnya Allah dengan kita. Hati akan selalu bermunajat dengan Allah; menginsafi kelemahan diri, lantas mengharap belas kasihan Allah kepada kita yang terlalu banyak berbuat dosa. Hati merintih dan mengharap rahmat Allah yang maha luas itu. Datanglah perasaan betapa hinanya diri yang berasal dari setitik air mani. Tanpa rahmatnya tinggallah kita dalam kehinaan selama-lamanya. Rintihan hati inilah tanda kita hamba yang tak punya kuasa apa-apa untuk menghalang kudrat dan iradahNya. Tak berupaya menepis Qadak dan QadarNya. Hanya belas kasihan Allah yang diharapkan dapat menjauhkan diri daripada segala bala bencana. Hati yang tidak pernah ingat, apalagi merintih kepada Allah, adalah hati seorang tuan. Adakalanya segaja Allah timpakan ujian yang berat ke atas hambaNya. Ketika itu hati si hamba akan merintih walaupun bibir boleh mengukir senyum. Kadang-kadang ujian datang silih berganti; seolah-olah Allah tidak mendengar rintihan hati hambaNya. Sebenarnya, Allah rindu untuk mendengar rintihan hati si hamba. Tanpa ujian, hati tidak ingat Allah dan ia berasa tenteram, hingga hilanglah rasa kehambaan daripada dalam diri. Lalu kerana itu, Allah datangkan ujian silih berganti agar rintihan hati si hamba tidak terputus kepada Tuhannya. Hukama berkata: “Allah lebih suka mendengar rintihan hamba yang berdosa (termasuk rintihan hati) daripadaseorang abid yang duduk beribadah.” Demikian tingginya nilai rintihan hati seorang hamba dibandingkan dengan ibadah lahir. Ibadah lahir belum tentu melahirkan rasa kehambaan, kerana boleh jadi seorang yang beribadah itu berasa selamat denganibadahnya. Ingatan hati dan rintihan hati seorang insan terhadap Tuhannya datang daripada rasa kehambaan yang tulen. Rasa kehambaan inilah tanda seorang insan telah mendapat nikmat iman yang tinggi nilainya. Tiada sesuatu yang lebih berharga daripada nikmat iman. Beruntunglah mereka yang dianugerahi nikmat ini. hanya hamba-hambaNya yang terpilih saja yang akan dikurniairasa kehambaan. Seorang hamba yang hatinya sentiasa ingat dan merintih kepada Allah tidak bangga dengan nikmat, tidak gelisah dengan bala, tidak rasa tenang dengan pujian, dan tidak menderita dengan kejian. Hati sentiasa merasa serba kekurangan dan amat memerlukan Allah dalam semua keadaan. Inilah yang dikatakan hati yang hidup, yang sentiasa dalam beribadah. Apatah lagi jika ditambah dengan banyaknya ibadah lahir seperti sembahyang, puasa, sedekah dan sebagainya; makin tinggilah darjatsi hamba di sisi Khaliqnya. Share this post to other.

Minggu, 16 Juni 2013

Gemericik Suara Air

Rumi: Gemericik Suara

Air Amal Sejati itu milik Lelaki yang mengidamkan Dia, dan demi kepentingan amal dari sisi-Nya, telah diceraikannya semua amal yang lain. Mereka yang tidak seperti dia, tak lebih bagaikan kanak-kanak, yang bermain-bersama, di beberapa hari yang singkat, sampai malam menjelang, dan mereka mangkat. Atau bagaikan orang yang baru terbangun, lalu bangkit, sambil masih mengantuk, tapi dibujuk untuk tidur kembali, oleh rayuan si perawat jahat; yang berbisik: "tidurlah kembali, sayangku, tak kan kubiarkan seorang pun mengganggu tidur nyenyakmu." Jika engkau bijak, maka engkau, engkau sedirilah, yang akan mencabut tidurmu sampai ke akar-akarnya; bagaikan orang kehausan yang mendengar gemericik suara air. Tuhan berkata kepadamu, "Akulah gemericik suara air di telinga mereka yang haus; Akulah hujan yang tercurah dari langit, bangkitlah pecinta: tunjukkan gairahmu! Jangan sampai engkau kembali tertidur, ketika telah kau dengar gemericik suara air.

" (Rumi: Matsnavi, VI no 586 - 592, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson) Catatan: - "Lelaki," disini maksudnya "pencari Tuhan." Dari "rijal," yaitu yang memiliki "arjul," (= kaki, jamak); yang dengan kaki-kaki itu mereka bergerak di jalan pencarian. - "Amal Sejati," suatu hal unik yang telah diperjanjikan setiap jiwa kepada Rabb-nya untuk diabdikan kepada-Nya. - "Mengidamkan Dia,"
setidaknya dapat dirujukkan kepada QS [18]: 110, "... Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah beramal amal yang shaleh dan janganlah menyekutukan sesuatupun dalam mengabdi kepada Rabb-nya." - "Kanak-kanak," di sini menunjukkan tingkat kecerdasan mereka yang terlalaikan oleh keaneka-ragaman kesibukan di alam-dunia, sehingga lupa dari menyiapkan keperluan perjalanan ke alam-alam paska-alam-dunia. - "Si perawat jahat," adalah unsur-unsur belum-terahmati dari diri seseorang, yang selalu membujuk kepada hal-hal yang rendah.
Lihat QS [12]: 53. - (Jiwa) kebanyakan manusia tertidur ketika jasmaninya hidup di alam-dunia, dan baru terbangun ketika mereka mati (periksa Hadits Rasulullah SAW yang berkenaan dengan hal ini).

KISAH ABU NAWAS 'MELARANG' RUKU DAN SUJUD

Khalifah Harun al-Rasyid marah besar pada sahibnya yang karib dan
setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah
menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: tidak mau
ruku’ dan sujud dalam salat. Lebih lagi, Harun al-Rasyid mendengar Abu
Nawas berkata bahwa ia khalifah yang suka fitnah! Menurut pembantu-
pembantu-nya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar-
syariat Islam dan menyebar fitnah. Khalifah mulai terpancing. Tapi
untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya
Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) dulu pada Abu Nawas.
bu Nawas pun digeret menghadap Khalifah. Kini, ia menjadi pesakitan.
”Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam
salat?” tanya Khalifah dengan keras.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, ”Benar, Saudaraku.”
Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, ”Benar kamu berkata kepada
masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid, adalah seorang khalifah yang suka fitnah?”
Abu Nawas menjawab, ”Benar, Saudara-ku.”
Khalifah berteriak dengan suara menggelegar, ”Kamu memang pantas dihukum mati, karena
melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah!”
Abu Nawas tersenyum seraya berkata-, ”Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah
mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap,
kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata dengan ketus, ”Apa maksudmu? Ja-ngan membela diri, kau telah mengaku dan
mengatakan kabar itu benar adanya.”
Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, ”Saudaraku, aku memang
berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam salat, tapi dalam salat apa? Waktu itu aku
menjelaskan tata cara salat jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”
”Bagaimana soal aku yang suka fitnah?” tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyuman, ”Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 Surat
Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu.
Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu,
berarti kamu suka ’fitnah’ (ujian) itu.” Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan,
Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar.
Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun alRa-syid menyulut iri dan dengki di antara
pembantu-pembantunya. Abu Nawas memanggil Khalifah dengan ”ya akhi” (saudaraku).
Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang
hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut de-ngan memutarbalikkan berita.

Http//Kisah Abu Nawas Melarang Ruku dan Sujud

Sabtu, 15 Juni 2013

Aku Tidak Berharap Surga atau Neraka

Seorang lelaki bertanya kepada Imam Abu Hanifah, ”Bagaiman pendapatmu tentang seseorang yang berkata: ”Aku tidak berharap surga, tidak takut neraka, aku suka makan bangkai, aku bersaksi terhadap apa yang tidak aku lihat, aku tidak takut kepada Allah, aku shalat tanpa ruku dan sujud, aku tidak menyukai kebenaran dan aku menyukai fitnah.” Jawab Imam Abu Hanifah kepada penanya yang ternyata penanya tersebut adalah orang yang sangat membenci Imam Abu Hanifah, ”Wahai fulan, engkau bertanya kepadaku tentang masalah ini, padahal engkau sendiri telah mengetahui jawabannya.” awab lelaki itu, ”Aku tidak mengetahui, tapi aku tidak mendapati sesuatu yang lebih buruk daripada pertanyaan ini, karena itu aku bertanya kepadamu.” Kata Imam Abu Hanifah kepada kawan-kawannya, ”Bagaimana pendapat kalian tentang lelaki ini?” Jawab mereka, ”lelaki ini adalah seburuk-buruk orang karena sifatnya sebagai orang kafir.” Mendengar jawaban mereka Imam Abu Hanifah tersenyum seraya berkata, ”Sungguh kalian telah menilainya sangat buruk, padahal ia seorang wali Allah.” Kemudain Imam Abu Hanifah berkata kepada lelaki itu, ”Jika aku mengatakan kepadamu engkau termasuk wali Allah, apakah engkau tidak akan memusuhi aku lagi?” Jawab lelaki itu, Ya.” Kata Imam Abu Hanifah, ”Adapun ucapan tidak berharap surga dan tidak takut kepada neraka, karena engkau hanya berharap kepada Tuhan Allah pemilik surga dan takut kepada Tuhan Allah pemilik neraka, adapun ucapanmu engkau tidak takut kepada Allah maksudnya, engkau tidak takut dizalimi oleh Allah, karena Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya, seperti yang diucapkan Allah bahwa Tuhanmu tidak pernah menzalimi hamba-Nya sedikitpun, kemudian maksud ucapan mu suka makan bangkai adalah engkau suka makan ikan laut (ikan laut adalah bangkai), adapun maksud ucapanmu tidak pernah ruku dan sujud ketika shalat adalah ketika engkau memperbanyak bershalawat kepada Nabi SAW, ia selalu melazimi tempat-tempt orang mati untuk menshalati mereka, karena beliau SAW suka mengambil pelajaran dari orang mati sehingga tidak banyak angan-angan dan beliau SAW suka menshalati setiap muslim dan muslimat, suka mendoakan mereka yang masih hidup maupung yang sudah mati, kemudian maksud ucapanmu menyaksikan sesuatu yang tidak pernah engkau lihat adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya, adapun maksudmu engkau membenci kebenaran adalah engkau membenci kematian, karena engkau masih ingin hidup lama agar selalu menaati Allah, adapun maksudmu membenci kebenaran mempunyai arti engkau membenci kematian, karena kematian adalah kebenaran, adapun maksud ucapanmu menyukai fitnah mempunyai arti bahwa setiap hati suka kepada harta dan anak, karena keduanya adalah ujian yang sangat besar bagi orang yang beriman, seperti yang disebutkan dalam firman Allah SWT, ”Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah cobaan.” (Q.S. Al- Anfaal: 28) Maka lelaki itu tidak lagi membenci Imam Abu Hanifah r.a dan ia bertaubat kepada Allah SWT. Wallahu A`lam.. http://ahlulkisa.com/

Jumat, 14 Juni 2013

Pengenalan Diri

Sufi Road : Pengenalan Diri Mengenal diri adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai ungkapan hadis : “ Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya ,” dan sebagaimana dikatakan Al Quran : “Akan Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka agar kebenaran tampak bagi mereka.” [QS 41 : 53] Ketahuilah, tak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau tidak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana bisa mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri sendiri dari sisi lahiriah, seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan lainnya sama sekali tak akan mengantarmu untuk mengenal Tuhan. Sama halnya, pengetahuanmu mengenai karakter fisikal dirimu, seperti bahwa kalau lapar kau makan, kalau sedih kau menangis, dan kalau marah kau menyerang, bukanlah kunci menuju pengetahuan tentang Tuhan. Bagaimana bisa kau mencapai kemajuan dalam perjalanan ini jika kau mengandalkan insting hewani serupa itu ? Sesungguhnya pengetahuan yang benar tentang diri meliputi beberapa hal berikut : Siapa aku dan dari mana aku datang ? kemana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan dimanakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan ? ketahuilah, ada tiga sifat yang bersemayam dalam dirimu : hewan, setan dan malaikat . Harus kau temukan, mana di antara ketiganya yang aksidental dan mana yang esensial. Tanpa menyingkap rahasia itu , kau takkan temukan kebahagiaan sejati. Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Karena itu, jika engkau hewan, sibukkanlah dirimu dalam aktivitas itu. Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan tipu daya, dan dusta. Jika kau termasuk golongan setan, lakukan yang biasa ia kerjakan. Sementara, malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sepenuhnya bebas dari sifat hewani. Jika kau punya sifat malaikat, berjuanglah menemukan sifat-sifat asalimu agar kau dapat mengenali dan merenungi DIA Yang Maha Tinggi serta terbebas dari perbudakan syahwat dan amarah. Berupayalah untuk mencari tahu mengapa kau diciptakan dengan kedua insting hewan ini, syahwat dan amarah, sehingga kau tidak ditundukkan dan diperangkap keduanya. Alih-alih diperbudak keduanya, kau harus menundukkan mereka dan mempergunakannya sebagai kuda tunggangan dan senjatamu. Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang disebut qalb atau ruh. Qalb yang saya maksudkan bukanlah segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan semua fakultas lainnya dalam diri serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya. Pada hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indrawi, melainkan sesuatu yang gaib; ia muncul di dunia ini sebagai pelancong dari negeri asing untuk berdagang dan kelak akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci mengenal Tuhan. Sebagian pemahaman mengenai hakikat hati atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu, ia akan mengetahui ketakterbatasan sifat dirinya itu. Namun syariat melarang kita menelisik hakikat ruh sebagaimana ditegaskan Al Quran : “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan : ruh adalah urusan Tuhanku.”[QS 17 : 85] Jadi, sedikit yang dapat diketahui hanyalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terbagi yang termasuk dalam dunia titah [amr], dan bahwa ia bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan ciptaan. Pengetahuan filosofis yang tepat mengenai ruh bukanlah awal yang niscaya untuk meniti jalan ruhani. Pengetahuan itu akan didapatkan melalui disiplin diri dan kesabaran menapaki jalan ruhani, sebagaimana dikatakan Al Quran : “Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami [yang lurus].” [QS 29 : 69] Untuk memahami lebih jauh perjuangan batin untuk benar-benar mengenal diri dan Tuhan, kita dapat melihat jasad kita sebagai sebuah kerajaan; jiwa sebagai rajanya dan indra beserta fakultas lain sebagai tentaranya. Akal bisa disebut perdana menterinya, syahwat sebagai pemungut pajak, dan amarah sebagai polisi. Dengan alasan mengumpulkan pajak, syahwat selalu ingin merampas segala hal demi kepentingan sendiri, sementara amarah cenderung bersikap kasar dan keras. Pemungut pajak dan polisi harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tak mesti dibunuh atau ditindas, karena mereka punya peran tersendiri yang harus dipenuhinya. Namun jika syahwat dan amarah menguasai nalar, maka jiwa pasti runtuh. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah menguasai yang lebih tinggi, ibarat orang yang menyerahkan bidadari kepada seekor anjing, atau seorang musim kepada seorang raja kafir yang zalim. Memelihara sifat-sifat setan, hewan, atau malaikat akan melahirkan watak yang bersesuaian dengannya di hari kiamat akan mewujud dalam rupa yang kasat mata, seperti syahwat menjadi babi, amarah menjadi anjing dan srigala, serta kesucian mewujud dalam rupa malaikat. Pendisiplinan moral bertujuan membersihkan kalbu dari karat syahwat dan amarah sehingga sebening cermin yang mampu memantulkan cahaya ilahi. Mungkin ada orang yang berkeberatan dan menanyakan, “jika manusia diciptakan dengan sifat- sifat hewan, setan dan malaikat, bagaimana kita bisa tahu bahwa sifat malaikat adalah esensi kita, sementara sifat hewan dan setan hanyalah aksidensi ?.” Jawabannya, esensi setiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi dan khas dalam dirinya. Contohnya, kuda dan keledai adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul karena ia dipergunakan juga untuk perang. Jika tidak, kuda terpuruk hanya menjadi hewan pengangkut beban. Fakultas tertinggi dalam diri manusia adalah akal yang memampukannya merenung tentang Tuhan. Jika akal mendominasi, maka ketika mati ia terbebas dari kecenderungan syahwat dan amarah, sehingga dapat bergabung dengan para malaikat. Dibandingkan dengan beberapa jenis hewan, manusia jauh lebih lemah. Berkat akal, ia dapat mengungguli mereka sebagaimana dikatakan Al Quran : “Telah kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia.” [QS 45 : 13] Sebaliknya, jika sifat hewani atau setan yang berkuasa, maka setelah mati ia akan selalu menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan duniawi. Betapa mengagumkan, jiwa rasional [akal] manusia berlimpah dengan pengetahuan dan kekuatan. Berkat keduanya ia dapat menguasai seni dan sains, mampu bolak-balik dari bumi ke angkasa secepat kilat, dapat memetakan langit dan mengukur jarak antarbintang. Berkat ilmu dan kekuatan ia juga dapat menangkap ikan dari lautan dan burung di udara, bahkan kuasa menundukkan binatang liar seperti gajah, unta dan kuda. Panca indranya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap dunia luar. Namun yang paling menakjubkan dari semua itu adalah kalbunya yang memiliki jendela terbuka ke dunia ruh yang gaib. Dalam keadaan tidur, ketika saluran indranya tertutup, jendela ini terbuka menerima berbagai gambaran dari dunia gaib, yang kadang-kadang mengabarkan isyarat tentang masa depan. Kalbunya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu di Lauh Mahfuzh. Tetapi, bahkan di saat ia tidur, pikiran-pikiran yang bersifat duniawi akan memburamkan cermin tersebut sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Bagaimanapun, saat kematian datang, semua pikiran seperti itu akan sirna dan hakikat segala sesuatu tampak sejelas-jelasnya. Saat itulah yang dimaksud dalam ayat Al Quran : “kamu lalai dari [hal] ini. Kami singkapkan tutup matamu sehingga penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.” [QS 50 : 22] Jendela dalam kalbu ini juga dapat terbuka dan mengarah ke dunia gaib di saat-saat yang menyerupai ilham kenabian, yakni ketika intuisi muncul dalam pikiran tanpa melalui perangkat indrawi. Makin seseorang memurnikan dirinya dari hasrat badani dan memusatkan pikiran kepada Tuhan, semakin peka ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang yang tidak menyadari intuisi semacam itu tak berhak menyangkal keberadaannya. Dan tidak hanya para nabi yang bisa menerima intuisi seperti itu. Layaknya sebatang besi yang terus dipoles akan berubah menjadi cermin, pikiran siapapun akan mampu menerima intuisi seperti itu jika dilatih dengan disiplin yang keras. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau bersabda : “setiap anak dilahirkan dengan fitrah [kecenderungan menjadi musli]; orang tuanya kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Setiap manusia di lubuk terdalam kesadarannya mendengar pertanyaan, “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?,” dan menjawab, “ya” [referensi QS 7 : 172]. Tetapi kebanyakan kalbu manusia bagaikan cermin yang telah tertutup karat dan kotoran sehingga tidak dapat memantulkan gambaran yang jernih. Berbeda dengan kalbu para nabi dan wali yang, meski mereka pun memiliki nafsu serupa kita, sangat peka terhadap kesan-kesan ilahiah. Sebagaimana dikatakan di atas, jiwa rasional dilimpahi pengetahuan dan kekuatan. Jadi, intuisi seperti itu tidak hanya bisa diraih dengan pengetahuan, yang membuat manusia lebih unggul dari semua makhluk lainnya, tetapi juga dengan kekuatan. Sebagaimana malaikat menguasai pelbagai kekuatan alam, jiwa manusia pun berkuasa mengatur semua anggota badan. Jiwa yang telah mencapai tingkat kekuatan tertentu, tidak saja dapat mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika ia ingin agar seseorang yang sakit sembuh, si sakit akan sembuh, atau jika ingin seseorang yang sehat agar jatuh sakit, sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, orang itu akan dating dihadapannya. Baik atau buruk akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini bergantung pada sumber kekuatannya, sihir ataukah mukjizat. Ada tiga hal yang membedakan jiwa yang sangat kuat ini dari jiwa orang kebanyakan. Pertama, apa yang dilihat orang lain hanya dalam mimpi, mereka melihatnya di saat-saat jaga. Kedua, sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka, jiwa ini, dengan kekuatan kehendakNya, bisa pula menggerakkan jasad orang lain. Ketiga, jika orang lain mesti belajar keras untuk mendapatkan suatu pengetahuan, ia mendapatkannya melalui intuisi. Tentu saja ada banyak hal lain yang membedakan jiwa mereka dari jiwa kebanyakan manusia. Namun, ketiga tanda itulah yang dapat diketahui umum. Sebagaimana tidak ada sesuatupun yang mengetahui hakikat sifat-sifat Tuhan kecuali Tuhan, sifat sejati seorang nabi pun hanya diketahui oleh nabi. Tak perlu merasa heran, karena dalam kehidupan sehari-haripun kita tak mungkin menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang tak peka terhadap rima dan irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seorang yang buta. Selain ketidakmampuan, ada perintang-perintang lain untuk mencapai kebenaran spiritual. Satu di antaranya adalah pengetahuan capaian lahiriah. Jelasnya, hati manusia bisa digambarkan sebagai sumur dan panca indra sebagai lima aliran yang terus mengaliri sumur itu. Untuk mengetahui kandungan hati yang sebenarnya, kita harus menghentikan aliran-aliran tersebut dan membersihkan sampah yang dibawanya. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang murni, kita mesti membuang pengetahuan yang telah dicapai melalui proses indrawi dan yang sering kali mengeras menjadi prasangka dogmatis. Namun banyak juga orang yang salah kaprah menyikapi pengetahuan capaian lahiriah ini. Banyak orang yang dangkal ilmunya, seraya mengutip beberapa ungkapan yang mereka dengar dari guru-guru sufi, bercuap-cuap mencela dan menajiskan semua jenis pengetahuan. Ia tak ubahnya seseorang yang tak tahu kimia lalu berkoar : “kimia lebih baik daripada emas,” seraya menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tetapi alkemis sejati amatlah langka,begitupun sufi sejati. Setiap orang yang mengkaji persoalan in akan melihat bahwa kebahagiaan sejati tak bisa dilepaskan dari makrifat, mengenal Tuhan. Tiap fakultas dalam diri manusia menyukai segala sesuatu yang untuk itu dia diciptakan. Syahwat senang memenuhi hasrat nafsu, kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan indah, dan telinga senang mendengar suara-suara merdu. Jiwa manusia diciptakan dengan tujuan agar ia mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa senang dan tenang dalalm upaya tersebut. Bahkan dalam persoalan yang remeh sekalipun, seperti permainan catur, manusia merasakan kesenangan. Dan, semakin tinggi materi pengetahuan yang didapat, semakin besar rasa senangnya. Orang akan senang jika dipercaya menjadi perdana menteri, tetapi ia akan jauh senang jika semakin dekat kepada raja yang mungkin mengungkapkan berbagai rahasia kepadanya. Seorang astronom yang dengan pengetahuannya bisa memetakan posisi bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, pasti merasa jauh lebih senang ketimbang pemain catur. Maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia saat mengetahui bahwa tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dari Allah. Pengetahuan tentang Allah merupakan satu-satunya subyek pengetahuan tertinggi sehingga orang yang berhasil meraihnya pasti akan merasakan puncak kesenangan. Orang yang tak menginginkan pengetahuan ini tak beda dengan orang yang tak menyukai makanan sehat; atau layaknya orang yang lebih suka lempung ketimbang roti. Ketika kematian datang dan membunuh semua organ tubuh yang bisa diperalat nafsu, semua dorongan dan hasrat badani musnah, tetapi jiwa manusia tidak. Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala pengetahuannya tentang Tuhan, malah pengetahuannya semakin bertambah. Satu bagian penting dari pengetahuan tentang Tuhan timbul dari kajian dan perenungan atas jasad manusia yang menampilkan kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Penciptanya. Dengan kekuasaanNya, Dia membangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa ini hanya dari setetes air mani. Kerumitan jasad kita dan kemampuan setiap bagiannya untuk bekerja secara harmonis menunjukkan kebijakanNya. CintaNya Dia perlihatkan dengan memberi organ tubuh yang mutlak diperlukan manusia, seperti hati, jantung, dan otak, dan juga organ yang tidak mutlak dibutuhkan, seperti tangan, kaki, lidah dan mata. Lalu Dia menyempurnakan ciptaanNya itu dengan menambahkan rambut yang hitam, bibir yang memerah, dan bulu mata yang melengkung. Karena itu sangat pantas jika manusia disebut alam al shaghir [mikrokosmos]. Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang yang ingin menjadi dokter, melainkan juga oleh orang yang ingin mencapai pengetahuan lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan gaya bahasa pada sebuah puisi yang indah akan mengungkapkan lebih banyak kegeniusan penulisnya. Namun dibandingkan pengetahuan tentang jasad beserta fungsi-fungsinya, pengetahuan tentang jiwa lebih banyak berperan mengantar manusia pada pengetahuan tentang Tuhan. Jasad bisa diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seseorang tidak mengetahui jiwanya, sesuatu yang paling dekat kepadanya, maka pengakuannya bahwa ia mengetahui hal-hal lain tidak berarti apa-apa. Ia tak ubahnya pengemis yang tak punya persediaan makanan, lalu mengaku bisa memberi makan seluruh penduduk kota. Orang yang mengabaikan kebesaran jiwa manusia dan menodai kesuciannya dengan mengotori atau bahkan merusaknya, pasti akan kalah di dunia dan di akhirat. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kemampuannya untuk terus maju dan berkembang. Tanpa kemampuan itu ia akan menjadi makhluk lainnya, takluk oleh rasa lapar, haus, panas, dingin, dan musnah oleh penderitaan. Sering kali apa yang disukai seseorang justru sangat membahayakan dirinya. Dan segala hal yang memajukannya tidak bisa diperoleh kecuali dengan kesusahan dan kerja keras. Intelektualitas manusia sesungguhnya sangat rapuh. Sedikit saja kekacauan dalam otaknya sudah cukup untuk merusak atau membuatnya gila. Dan fisiknya pun lebih lemah dibanding dengan hewan; bahkan sengatan tawon saja sudah mampu mengusik ketenangan dan kesehatannya. Tabiatnya bahkan lebih lemah lagi. Satu rupiah hilang dari kantongnya ia kelabakan dan gelisah tak keruan. Kecantikannya pun, berkat kulitnya yang lembut, hanya sedikit lebih baik daripada makhluk lainnya. Jika tidak sering dicuci, manusia akan tampak sangat menjijikkan dan memalukan. Sebenarnya manusia merupakan makhluk yang teramat lemah dan hina di dunia ini. Kebernilaian dan keutamaannya hanya akan mewujud di negeri akhirat. Melalui pendisiplinan diri ia akan naik dari tingkatan hewan ke tingkatan malaikat. Karena itu, disertai kesadaran sebagai makhluk terbaik dan paling unggul, ia harus berusaha mengetahui ketakberdayaannya, karena pengetahuan itu menjadi salah satu kunci untuk membuka pengetahuan tentang Allah. Wallahualam bishhowab

Mencium Tangan Orang Yang Dihormati

Mencium Tangan Orang Yang Dihormati Banyak orang yang mudah mengatakan bahwa sesuatu itu bid‘ah, tak ada dasarnya, dan sebagainya, tanpa memeriksanya dengan seksama. Di antaranya dalam masalah mencium tangan. Banyak hadits yang menyebutkan masalah mencium tangan. Di antaranya dari Sayyidina Jabir disebutkan bahwa Sayyidina Umar mencium tangan Rasulullah. Demikian diriwayatkan oleh Al- Hafizh Ibn Al-Muqri Al-Ashbihani. Sedangkan dalam riwayat dari Ummu Aban binti Al-Wari‘ bin Zari‘ dari kakeknya, Zari‘, disebutkan bahwa kakeknya itu, yang suatu ketika berada dalam rom­ bongan Abdul Qais, mengatakan, “Ketika datang ke Madinah, kami segera beranjak dari kenda­ raan-kendaraan kami lalu mencium tangan dan kaki Nabi SAW.” Hadits ini disebutkan oleh Al- Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dalam At-Tarikh Al-Kabir. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Ath-Thabarani, dan Ahmad. Ibnu Jad‘an meriwayatkan bahwa Tsabit bertanya kepada Anas, “Apakah engkau pernah memegang Nabi SAW dengan tanganmu?” Anas menjawab, “Ya.” Maka Tsabit pun mencium tangannya. Di dalam kitab Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, disebutkan bahwa Abu Lubabah, Ka‘ab bin Malik, dan dua orang sahabat Ka‘ab mencium tangan Nabi SAW setelah Allah menerima taubat mereka. Dalam sebuah keterangan, Shuhaib mengatakan, “Aku melihat Ali mencium tangan dan kaki Al- Abbas.” Demikian disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Ibnu Katsir dalam kitab­ nya, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dalam keterangan mengenai penaklukan Baitul Maqdis oleh Umar bin Al-Khaththab, mengatakan, “Ketika sampai di Syam, Umar disambut oleh Abu Ubaidah dan para pembesar, seperti Khalid bin Al-Walid. Abu Ubaidah dan Umar berjalan saling mendekat. Abu Ubaidah ingin mencium tangan Umar sedangkan Umar ingin mencium kaki Abu Ubaidah. Abu Ubaidah menolak, maka Umar pun menolak.” Para tokoh ulama dari berbagai madzhab pun menjelaskan bolehnya mencium tangan. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Fath Al-Bari, menyebutkan bahwa Al-Imam An-Nawawi mengatakan, “Mencium tangan seseorang karena kezuhudannya, keshalihannya, ilmunya, kemuliaannya, atau alasan-alasan keagamaan lainnya, adalah sesuatu yang tidak makruh, bahkan disunnahkan. Tetapi jika mencium tangan seseorang karena memandang kekayaannya, kekuasaannya, atau kedudukannya di kalangan ahli dunia, itu perbuatan yang sangat dibenci.” Al-Allamah Al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya mengatakan, “Dan disunnahkan mencium tangan karena alasan keshalihan dan alasan-alasaan keagamaan lainnya, seperti ilmu dan kezuhudan. Tetapi perbuatan mencium tangan itu dibenci apabila karena kekayaan dan alasan-alasan keduniaan yang lain, seperti kekuasaan atau kedudukan.” Bukan hanya para ulama Madzhab Syafi‘i yang berpendapat demikian. Para ulama dari madzhab-madzhab lain juga menegaskan hal yang sama. Ibnu ‘Abidin, salah seorang pemuka Madzhab Hanafi, mengatakan dalam Hasyiyah-nya, “Tak apa-apa mencium tangan seorang alim yang wara‘ untuk mendapatkan keberkahan, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu sunnah.” Al-Allamah Ath-Thahawi, pemuka Madzhab Hanafi, pun mengatakan, “Mencium tangan seorang alim atau sultan yang adil (karena keadilannya, bukan karena kekuasaannya) adalah dibolehkan.” Kemudian ia mengatakan, “Kesimpulan dari apa yang kami sebutkan adalah bahwa mencium tangan itu sesuatu yang dibolehkan.” Az-Zaila‘i dalam kitabnya, Tabyin Al-Haqaiq, mengatakan, “Dalam Al-Jami‘ Ash-Shaghir dikatakan: Asy-Syaikh Al-Imam As-Sarkhasi dan sebagian ulama mutaakhirin membolehkan mencium tangan seorang alim atau seorang yang wara‘ dengan maksud mendapatkan keberkahan.” Sedangkan Ats-Tsauri mengatakan, “Mencium tangan seorang alim atau sultan yang adil adalah sunnah.” Al-Allamah As-Sifaraini, tokoh ulama Madzhab Hanbali, mengatakan dalam kitabnya, Ghidza’ Al- Albab, bahwa Al-Marwadzi menyebutkan, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad bin Hanbal) mengenai mencium tangan. Beliau menjawab, ‘Jika itu dilakukan karena alasan agama, tidak apa-apa. Tetapi bila karena alasan dunia, tidak dibolehkan.” As-Sifaraini juga mengatakan, “Al-Hafizh Ibn Al-Jauzi menjelaskan, ‘Sepatutnya seorang penuntut ilmu sangat tawadhu’ kepada seorang alim dan merendahkan diri kepadanya, dan di antara ketawadhu’an itu adalah mencium tangan. Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin `Iyadh mencium Al-Husain bin Ali Al-Ja`fi; salah satu dari keduanya mencium tangannya dan yang lain mencium kakinya.” Dari hadits-hadits dan keterangan-keterangan para ulama di atas dapat disimpulkan, mencium tangan karena alasan-alasan agama adalah dibolehkan, sedangkan mencium tangan karena alasan dunia tidak dibolehkan. Sumber: Majalah Al Kisah

Sunan Bonang dengan Santrinya

Sunan Bonang dengan Santrinya Kisah Hikmah untuk memahami syukur nikmat dari Allah Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat. Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah selesai shalat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun. Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap karena perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan. Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu." "Mengapa guru?" tanya santri heran. " Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman." "Apa saya jorok?" " Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya. Maka, dengan kemalu-maluan ia segera mengusap bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik : " Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu ?" Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru mengatakan jorok kepada saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya makan?" " Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung-ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan, meskipun cuma sedikit ." "Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?" " Tidak." "Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?" " Karena kamu memang bodoh ." "Maksud Guru?" " Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh mahluk- mahluk Allah yang lain, seperti semut,dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat begitu, berarti kamu membuat mubazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya ." Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.

Kamis, 13 Juni 2013

Membentuk Jiwa Yang Bermanfa'at : Bagaimana Cara Seorang Murid Memilih Guru

Sufinews : Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

DAN diantara perilaku seorang murid dalam berguru, hendaknya tidak berguru kecuali kepada
seorang guru yang ilmu-ilmu syariatnya benar-benar kuat dan mendalam. Hal ini dimaksudkan
agar dengan sang guru yang ilmu syariatnya mendalam ini sang murid merasa cukup dan tidak
butuh berguru lagi kepada orang lain. Tuan Guru Syekh Muhammad asy-Syanawi pernah
memberitahuku, bahwa suatu ketika ia pernah berkata kepada gurunya, Syekh Muhammad as-
Surawi, “Guru, aku ingin mengunjungi si guru (syekh) fulan.” Rupanya Tuan Guru tidak ingin
muridnya mencari guru lain, dan berkata dengan menampakkan kecemberutan di wajahnya,
‘Wahai Muhammad, bila engkau belum merasa cukup denganku, lalu bagaimana engkau
menjadikan aku sebagai gurumu?” Maka sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengunjungi guru
lain sampai beliau wafat.
Maka bisa diketahui bahwa orang yang sudah ditakdirkan untuk masuk ke dalam tarekat dan
diambil sumpahnya oleh seorang guru yang ilmu-ilmu syariatnya kurang mendalam maka tidak
ada salahnya ia berkunjung dan berkumpul dengan guru lain, sebagaimana kondisi yang terjadi
pada sebagian besar para guru di zaman ini. Maka ungkapan Syekh Abu al-Qasim al-Qusyairi,
“Dianggap kurang baik seorang murid mengikuti madzhab lain yang bukan madzhab gurunya.
Akan tetapi ia hanya diperkenankan mengikuti pada gurunya saja.” Ini jelas ditujukan untuk
murid yang mendapatkan guru yang benar-benar mendalami ilmu syariat secara sempurna.
Maka tidak ada jeleknya seorang murid mencari dan menisbatkan dirinya ke madzhab lain yang
bukan gurunya, bila gurunya tidak benar-benar mendalami ilmu syariat, bahkan hal itu wajib ia
lakukan.
Seorang Sufi Juga Seorang Yang Fakih
IMAM Ahmad bin Hanbal dengan kebesaran dan keagungannya ketika ia tidak mampu
menyelesaikan masalah, ia akan bertanya kepada sang sufi, Abu Hamzah al-Baghdadi,
“Bagaimana pendapat anda dalam masalah ini wahai sang sufi?” Maka apa yang dikatakan Abu
Hamzah akan dijadikan pegangan. Hal ini cukup menjadi catatan sejarah bagi para guru sufi.
Demikian pula dengan kisah al-Qadhi Ahmad bin Syuraih yang juga mengakui kelebihan Abu al-
Qasim al-Junaid, dimana ia juga mengikuti majelis halaqah al-Junaid, dan ketika ditanya tentang
ungkapan-ungkapan al-Junaid ia tidak banyak berkomentar dan hanya mengatakan, “Aku tidak
paham sedikit pun apa yang ia katakan, akan tetapi serangan-serangan ungkapannya bukan
ucapan yang tidak berarti.”
Syekh Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— berkata:
“Andaikan aku tahu bahwa di bawah kolong langit ini Allah memiliki ilmu yang lebih mulia
daripada ilmu kaum sufi ini tentu aku akan berangkat ke sana.” Ia juga pernah berkata: “Tidak
pernah ada ilmu yang turun dari langit dan Allah memberi jalan kepada makhluk untuk pergi ke
sana kecuali Allah juga memberiku bagian pada ilmu tersebut.” Syekh Abu al-Qasim al-Qusyairi
—rahimahullah— berkata: “Seluruh guru tarekat sufi telah membuat aturan, bahwa salah
seorang dan mereka tidak akan memimpin suatu tarekat sama sekali kecuali ia mendalami ilmu
syariat secara sempurna dan telah sampai pada tingkatan kasyaf (tersingkap seluruh hijab).
Dimana tingkatan ini sudah tidak butuh lagi mencari dalil (argumentasi). Dan apa yang
dilakukan oleh murid untuk menisbatkan diri kepada orang lain (yang bukan kaum sufi) dan
membaca ilmu-ilmu lain yang bukan ilmu kaum sufi hanyalah karena ketidaktahuan si murid
terhadap tingkatan spiritual mereka. Sebab argumentasi kaum sufi lebih kuat dan valid
daripada argumentasi kelompok lain. Ini karena argumentasi mereka didukung dengan metode
kasyaf. Dan setiap ada seorang dari kaum sufi yang hidup di suatu kurun mesti para ulama di
kurun tersebut akan hormat dan tunduk pada si sufi tersebut dan melakukan isyarat-isyaratnya.
Mereka meminta kepada Si sufi untuk membantu menghilangkan kesulitan yang sedang mereka
hadapi. Andaikan bukan kesaksian para ulama sufi akan masalah-masalah yang menyuarakan
ketinggian kedudukan mereka, tentu masalahnya akan sebaliknya, dan tidak seperti itu.” Kami
telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam Kitab al-Qawa ‘Id ash-Shuftyyah
al-Kubra. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Bolehkah Murid Menjadikan Lebih Dari Seorang Guru ?
DIANTARA perilaku yang harus dilakukan seorang murid hendaknya hanya mengambil dan
menjadikan seorang guru. Maka ia tidak diperkenankan sama sekali menjadikan dua orang guru.
Sebab tarekat kaum sufi dibangun atas dasar tauhid murni. Syekh Muhyiddin Ibnu al-’Arabi
dalam al-Futuhat al-Makkiyyah bab keseratus delapan puluh satu, menuturkan sebagai berikut:
“Perlu anda ketahui, bahwa seorang murid hanya diperkenankan menjadikan seorang guru.
Sebab hal itu lebih bisa menolongnya dalam menempuh tarekat. Kami tidak pernah melihat
seorang murid pun yang sukses dalam menempuh tarekat di bawah bimbingan dua orang guru
(tarekat). Sebagaimana di alam ini tidak ada dua Tuhan, tidak ada seorang mukalaf yang hidup
diantara dua rasul, dan tidak ada seorang perempuan yang menjadi istri dari dua orang suami,
maka demikian pula seorang murid tidak boleh mengambil dua orang guru.” Ini berlaku untuk
murid yang mengikat dirinya dengan seorang guru (tarekat) dengan tujuan suluk menuju Allah.
Adapun orang yang tidak mengikat dirinya dengan seorang guru, tapi ia sekadar mencari berkah
dari guru, maka orang seperti yang terakhir ini tidak dilarang untuk berkumpul dengan guru
siapa pun.
Tuan Guru Syekh Ali al-Murshifi —rahimahullah— mengatakan: “Barangsiapa diuji untuk
bersahabat dengan dua orang guru atau lebih, maka hendaknya menjadikan gurunya yang hakiki
selalu berada di belahan hatinya, disamping ia mencintai Rasulullah Saw. Sebab dia sebagai
pengganti Rasulullah Saw. dalam memberi nasihat kepada umatnya dan menunjukkan mereka
kejalan yang benar.”
Abu Yazid al-Bisthami pernah berkata: “Barang siapa tidak memiliki seorang guru maka ia
menyekutukan dalam tarekat, sedangkan orang yang menyekutukan dalam tarekat gurunya
adalah setan.”
Abu Ali ad-Daqqaq —rahimahullah— mengatakan: “Seseorang tidak akan mampu suluk di
tarekat kaum sufi tanpa seorang guru. Sebab perjalanan ini menempuh kegaiban atau gaibnya
kegaiban. Ibarat sebatang pohon apabila tumbuh dengan sendirinya tanpa ada orang yang
menanamnya maka tidak ada seorang pun yang bakal memanfaatkan buahnya sekalipun tumbuh
bersemi dan daunnya rindang, bahkan bisa jadi tidak akan berbuah untuk selamanya. Coba
anda perhatikan wahai saudaraku, Tuan dari para rasul, Muhammad Saw., bagaimana dengan
jibril yang menjadi perantara antara beliau dengan Tuhannya dalam menyampaikan wahyu.
Dengan demikian anda tahu, bahwa menjadikan seorang guru adalah suatu keharusan bagi
murid yang tidak bisa ditinggalkan.”
Abu Yazid al-Bisthami mengatakan: “Sungguh aku telah mengambil tarekatku ini dari guruku,
antar orang ke orang.” Kemudian cukup jelas, bahwa para salaf saleh dari generasi sahabat,
tabi’in, dan tabi’t-tabi’in tidak mengikatkan diri dengan seorang guru tertentu, tapi bisa jadi
salah seorang dari mereka menjadikan lebih dari seratus orang guru. Ini karena mereka adalah
orang-orang yang bersih dari kotoran dan ketololan nafsu, maka masing-masing orang
dianggap orang yang sempurna yang tidak butuh kepada orang yang membimbing
perjalanannya. Tapi ketika “wabah penyakit” ini semakin banyak dan mereka butuh
disembuhkan, maka para guru tarekat memerintah para murid untuk mengikatkan diri dengan
seorang guru, agar kondisi spiritual murid tidak kacau dan perjalanan yang ditempuhnya tidak
terlalu panjang. Maka pahamilah!
Diantara perilaku seorang murid hendaknya membuang seluruh keterkaitan duniawi, dan hal ini
hendaknya dijadikan modal utamanya. Sebab orang yang memiliki keterkaitan duniawi akan
sedikit sekali bisa berhasil, karena keterkaitan tersebut akan menyeretnya mundur ke belakang.
Oleh karenanya mereka mengatakan: “Diantara syarat orang yang bertobat adalah menjauhi
teman-teman jahat, dimana mereka akan menjadi temannya dalam melakukan maksiat sebelum
ia bertobat. Sebab mendekat kepada mereka barangkali bisa menyeretnya mundur ke belakang
dengan melakukan perbuatan yang sebelumnya ia sudah bertobat darinya.”
Imam al-Qusyairi —rahimahullah— berkata: “Seorang murid wajib melakukan kegiatan yang
selalu mengosongkan hatinya dari segala kesibukan. Dan diantara kesibukan-kesibukan yang
sangat berat adalah berusaha keluar dari harta yang ia miliki. Sebab dengan harta yang ada di
tangannya itu akan bisa berpaling dari jalan yang lurus (istiqamah), karena lemahnya si murid.
Sebenarnya tidak boleh ia menyimpan harta kecuali setelah ia benar-benar sempurna dalam
perjalanan tarekatnya.” Ia juga mengatakan: “Para guru merasa berat dan tidak mampu
menggandeng perjalanan seorang murid yang memiliki keterkaitan dengan duniawi. Maka
perjalanan mereka dengan menggandeng murid ini sangat lemah dan lamban. Barangkali
umurnya telah habis sementara mereka belum bisa sampai pada tingkat kesempurnaan yang ia
inginkan.”
Sufi News

CARA SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI

CARA RADEN SYAHID MENCARI GURU SEJATI

Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga
bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan
pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar,
tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk
menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi
secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di
Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus
tahun dengan budayanya yang sudah mendarah
daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia
mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai
blangkon atau udeng.
Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban
yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum.
Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain
harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV,
keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah
putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang
pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah
anak turun pendiri kerajaan Majapahit.
Raden Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang
salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan
Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda
kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke
ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita
oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang
kritis ini.
Raden Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya
sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui
eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-
bagikan kepada orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga
merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya berkecukupan.
Suatu ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah
tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga
adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid
kembali melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang
ayah kehabisan akal sehat. “Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka
merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid
tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati
gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi,
dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan
Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Syahid yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya
berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid
diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para
yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi
hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk
fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah meninggalkan syariat masuk
ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan
Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru
sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama
terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan
menyuruhnya untuk diam di pinggir kali.
Ya, perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun.
Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat
Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang
murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya,
orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan
keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk
berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung
total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.
“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA,
KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH,
LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA
TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di
pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat
dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima
tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh,
Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh
Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan
Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan
Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga
diberi gelar Syekh Malaya.
Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami
“mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu
menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan
diri, manusia hanya hidup di dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak
mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung
makrifatullah.
Salah satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah
ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL: UTAMANING SARIRA
PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU
NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN
MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu
mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah
mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu
hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).
Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran
syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua
indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di
dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat
mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil: PANGABEKTINE INGKANG
UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU,
SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI
SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak
mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan
tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan
menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir)
Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan
gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan
untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan,
apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh
AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA
INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM TAN
KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING.
(Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau
kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin.
Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat
membuang kotoran.)
Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu
ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah
perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu
hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah
yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam
suluk wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN
ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING
EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING
DUNYA.
MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN
PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING
NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON
IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai
tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka
sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan
KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI. SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA.
Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait,
maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat
yang barat terlihat timur dan sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih
mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG
ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan,
tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng,
diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang
metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa
yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG
DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING
BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.
Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya
adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih
jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini
akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah
BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan
kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah
untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala
kesempurnaan-Nya.
Sunan Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang
juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah
rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di
dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan
Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa
Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau tidak pernah berlawanan
dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan
menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang (karena Demak dianggap telah
kehilangan kultur Jawa.
Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam
dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga
adalah mendorong Jaka Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram
kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak
hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik
dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan
Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai
Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun

Sumber :
SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI http://wongalus.wordpress.com/category/sunan-
kalijaga-mencari-guru-sejati/