Senin, 10 Juni 2013

itiraf

Arti I'tiraf Sungguh Luar Biasa Akhir-akhir ini saya sering mendengarkan lagu I'tiraf terutama yang dinyanikan hadad alwi,yang berasal dari ucapan atau doa abu nawas dahulu kala,lantunan kata-kata ini membuat saya merasa tenang lahir dan batin dan membuat saya merasa begitu berdosa dan semangat beristiqomah agar memperkuat iman. mendengarkan lagu ini juga membuat saya tegar menghadapi segala cobaan yang ada di hidup ini entah dari mana saja,karena membuat kita berpasrah diri kepada Allah SWT, setiap cobaan yang datang karena setiap cobaan yang datang berasal dariNya,dan maka itu saya harus sering mengigatNya. Akhirnya lyrik lagu itu membuat saya ingin mencari tahu dari buku maupun googling sejarah mengapa abu nawas bisa mengucapkan kata-kata itu,berikut adalah sejarah abu nawas dengan syair I'tiraf: Alkisah, seorang laki – laki setengah baya sedang duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur – angsur tenggelam. Suasananya cukup hening. Ia melihat begitu indahnya warna langit yang di penuhi dengan mega berwarna kuning jingga. Ia memperhatikannya dengan seksama, hingga akhirnya suasana indah itu hilang seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Entah apa penyebabnya, tiba – tiba ia tak mampu membendung air matanya. Hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu – sedu. Ia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata : "Ilahi lastu lil firdausi ahlan Walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii fahabli taubatan waghfir dzunuubi fainnaka ghafirudzdzambil ‘adzhiimii dzunuubi mitslu a’daadir rimali fahablii taubatan yaa dzal jalaali wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi wa dzambii zaa idun kaifahtimali ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka muqirran bi dzunubi waqad da’aaka fa in taghfir faanta lidzaka ahlun wa in tadrud faman narjuu siwaakaa “ Yang artinya ; ” Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdausMu Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahimMU. Oleh karena itu, terimalah taubatku dan tutupilah dosa – dosaku. Sesungguhnya Engkau maha mengampuni dosa – dosa besar. Dosa – dosa ku seperti hamparan pasir di laut, maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung… Umurku terus berkurang setiap hari, namun dosa – dosaku bertambah setiap hari… Bagaimana aku mampu menanggungnya ? Ya Tuhanku, hambaMu yang berlumur dosa ini datang kepadaMU Sesungguhnya aku benar – benar berdosa kepadaMU Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, kepada siapa lagi aku berharap selain Engkau ?” Abu Nawas, sosok yang dikenal sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa, sebenarnya adalah orang yang baik dan sangat jujur. Kalimat – kalimat diatas adalah bentuk pengakuan dirinya atas semua dosa – dosa yang telah ia perbuat. Ketika Ia menyadari usianya yang semakin senja, tentu saja kepastian untuk segera kembali menghadap ALLAH itu pun akan segera datang. Ia menangis ketika menyaksikan matahari tenggelam, karena ia menyadari bahwa orang hidup di dunia ini dapat di ibaratkan seperti itu. Namun jarang sekali kita mau merenungkan tanda – tanda kebesaran ALLAH swt. Dan mengambil pelajaran dari peristiwa demi peristiwa dalam hidup kita. Ketika matahari akan tenggelam sering kali membawa suasana menyenangkan dan warna langit menjadi sangat indah. Sampai – sampai banyak orang yang terlena oleh keindahannya. Sementara mereka tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan tenggelam dan kegelapan malampun akan segera menyelimutinya. Kecuali orang yang sadar dan telah menyiapkan diri dengan membawa lentera untuk menerangi ketika malam tiba. Rasulullah saw menangis hingga berguncang dadanya dan jenggotnya basah oleh air mata ketika menerima wahyu yang berbunyi : ” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda – tanda (kebesaran ALLAH) bagi orang – orang yang berakal. Yaitu orang – orang yang mengingat ALLAH sambil berdiri atau duduk ataupun berbaring, dan mereka yang merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia – sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.’ ” (QS. Ali – Imran : 190 – 191) Ketika Bilal bin Rabbah, muadzin kesayangan Rasulullah datang menegur, ” Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah? Padahal ALLAH telah mengampuni dosa – dosamu yang lalu dan yang akan datang ?” Rasulullah pun menjawab, ”Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur ? Aku menangis karena tadi malam telah turun wahyu kepadaku yang bunyinya : ‘Celakalah orang – orang yang membaca ayat ini kemudian tidak mau merenungkannya.’ “ Saat ini, Rasulullah dan Abu Nawas sama – sama sudah tiada, namun kita harus merenungkan semua ini. Sudahkah kita menjadi hamba yang bersyukur dan menyadari keberadaan kita di dunia ini dan kewajiban kita pada-NYA. Seperti yang di katakan oleh Rasulullah bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan saja untuk menuju ke tujuan utama kita yaitu akhirat. Namun sudah cukupkan bekal kita untuk melakukan perjalanan tersebut ? Perjalanan akhirat menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal dan abadi ? adapun kisah lainnya yang di kemas lebih jenaka tapi menginspirasi sekali,berikut ceritanya: alkisah ada perbincangan hangat antara abu nawas dan muridnya ; “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” “Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” jawab Abu Nawas. “Mengapa?” kata orang pertama. “Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” kata Abu Nawas. Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu. Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” “Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” jawab Abu Nawas. “Mengapa?” kata orang kedua. “Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan.” kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas. Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” “Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” jawab Abu Nawas. “Mengapa?” kata orang ketiga. “Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima aiasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas. Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya. “Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?” “Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati.” “Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas. “Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.” jawab Abu Nawas mengandaikan. “Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan.” jawab Abu Nawas. “Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah.” Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi. “Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?” “Mungkin.” jawab Abu Nawas. “Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin tahu. “Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” kata Abu Nawas “Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid Abu Nawas “Doa itu adalah : llahi lastu HI firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil ‘adhimi. Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar