Kamis, 13 Juni 2013

CARA SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI

CARA RADEN SYAHID MENCARI GURU SEJATI

Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga
bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan
pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar,
tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk
menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi
secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di
Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus
tahun dengan budayanya yang sudah mendarah
daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia
mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai
blangkon atau udeng.
Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban
yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum.
Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain
harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV,
keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah
putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang
pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah
anak turun pendiri kerajaan Majapahit.
Raden Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang
salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan
Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda
kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke
ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita
oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang
kritis ini.
Raden Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya
sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui
eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-
bagikan kepada orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga
merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya berkecukupan.
Suatu ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah
tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga
adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid
kembali melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang
ayah kehabisan akal sehat. “Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka
merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid
tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati
gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi,
dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan
Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Syahid yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya
berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid
diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para
yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi
hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk
fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah meninggalkan syariat masuk
ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan
Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru
sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama
terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan
menyuruhnya untuk diam di pinggir kali.
Ya, perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun.
Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat
Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang
murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya,
orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan
keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk
berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung
total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.
“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA,
KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH,
LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA
TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di
pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat
dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima
tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh,
Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh
Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan
Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan
Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga
diberi gelar Syekh Malaya.
Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami
“mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu
menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan
diri, manusia hanya hidup di dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak
mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung
makrifatullah.
Salah satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah
ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL: UTAMANING SARIRA
PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU
NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN
MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu
mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah
mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu
hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).
Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran
syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua
indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di
dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat
mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil: PANGABEKTINE INGKANG
UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU,
SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI
SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak
mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan
tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan
menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir)
Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan
gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan
untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan,
apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh
AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA
INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM TAN
KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING.
(Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau
kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin.
Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat
membuang kotoran.)
Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu
ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah
perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu
hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah
yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam
suluk wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN
ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING
EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING
DUNYA.
MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN
PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING
NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON
IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai
tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka
sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan
KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI. SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA.
Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait,
maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat
yang barat terlihat timur dan sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih
mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG
ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan,
tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng,
diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang
metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa
yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG
DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING
BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.
Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya
adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih
jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini
akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah
BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan
kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah
untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala
kesempurnaan-Nya.
Sunan Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang
juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah
rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di
dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan
Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa
Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau tidak pernah berlawanan
dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan
menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang (karena Demak dianggap telah
kehilangan kultur Jawa.
Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam
dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga
adalah mendorong Jaka Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram
kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak
hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik
dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan
Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai
Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun

Sumber :
SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI http://wongalus.wordpress.com/category/sunan-
kalijaga-mencari-guru-sejati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar