Rabu, 12 Juni 2013
Nafs dan Hawa
Allah Ta’âlâ berfirman kepada orang-orang yang memiliki hati, “Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati.” (QS Qaf,
50:37)Dan ketika menyebut nafs Allah Ta’âlâ berfirman, “Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh
kepada kejahatan…” (QS Yusuf, 12:53)
Allah berfirman kepada Musa as, “Salahkanlah nafs-mu, karena yang paling layak untuk
disalahkan adalah nafs. Ketika bermunajat kepada-Ku, bermunajatlah dengan lisan yang shidq
dan hati yang takut.”
Ketahuilah, setiap kali hati memiliki sesuatu yang baik, maka nafs pun memiliki hal serupa yang
dapat mengaburkan. Sebagaimana Allah memberi hati keinginan (irâdah), maka Allah juga
memberi nafs angan-angan kosong (tamanniy). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan cinta
(mahabbah), maka Allah memberi nafs hawa nafsu (hawâ). Sebagaimana Allah memberi hati
harapan (rojâ`), maka Allah memberi nafs ketamakan (thoma’). Sebagaimana Allah memberi
hati perasaan takut (khauf), maka Allah memberi nafs perasaan putus asa (qunûth). Perhatikan
dan renungkan kata-kataku ini.
Salah satu contoh yang dapat memberikan gambaran jelas kepadamu adalah keadaan orang
yang terlilit hutang. Kamu seringkali melihat orang yang tidak mau melunasi hutangnya. Namun
ketika memperoleh harta, ia justru menyedekahkannya, dan tidak berusaha melunasi
hutangnya. Itulah contoh perbuatan baik yang timbul dari nafs. Sebab, di antara sekian banyak
jenis nafs, ada nafs yang suka melakukan murûah dan merasakan kenikmatan ketika memberi.
Orang yang nafs-nya seperti ini merasakan kenikmatan dalam memberi sebagaimana orang
jahat merasakan kenikmatan ketika menolak permohonan pertolongan. Demikian pula halnya
dengan mereka yang mengerjakan sunah, tapi meninggalkan yang wajib. Misalnya: orang yang
mengerjakan ibadah haji berulang kali dengan uang halal dan haram serta mengabaikan
ketakwaan dalam urusan-urusannya yang lain. Di antara mereka ada yang menunaikan ibadah
haji dengan berjalan kaki, tapi meremehkan salat. Hasan Al-Bashri rhm berkata, “Ada seseorang
berkata,’ Aku telah haji, aku telah haji.’ Kamu telah menunaikan ibadah haji, oleh karena itu
sambunglah tali silaturahmi, bantulah orang yang sedang kesusahan, dan berbuat baiklah
kepada tetangga.”
Contoh lain adalah orang-orang yang mencari harta haram kemudian membelanjakannya dalam
kebaikan. Sebagaimana telah kuberitahukan kepadamu, semua perbuatan ini digerakkan oleh
nafs, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hati.
Allah menjadikan “perbuatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan” untuk nafs dan
“perbuatan yang dikerjakan secara wajar” untuk hati. Jika kamu melihat perilaku, atau pencarian
ilmu dan ibadah dikerjakan dengan tenang (thuma’ninah), maka ketahuilah bahwa perbuatan itu
muncul dari hati dan pelakunya adalah orang berakal. Tetapi, jika kamu melihat seseorang yang
perilaku, cara menuntut ilmu dan ibadahnya tidak dilakukan dengan tenang, pelakunya
emosional dan bodoh, maka ketahuilah bahwa kegiatan itu digerakkan oleh nafs dan hawâ.
Sebab, hawâ merusak dan menggoncangkan akal. Di mana pun berada, hawâ akan selalu
merusak.
Demikianlah sifat hawâ. Jika hawâ berinteraksi dengan akal, hawâ akan merendahkan dan
menggoyahkannya. Jika berinteraksi dengan agama, hawâ akan mengotori dan merusaknya.
Sehingga kamu dapat melihat bahwa orang yang agamanya dan cara ber-sulûk-nya baik bila
dikuasai oleh hawâ, urusannya menjadi kacau, keadaannya menjadi buruk dan dibenci
masyarakat. Begitulah sifat kebatilan, ia akan merusak kebenaran, jika keduanya bercampur. Jika
hawâ mampu merusak orang yang berakal dan beragama, lalu bagaimana menurutmu jika hawâ
merasuki para pecinta dunia yang jiwanya lemah? Bagaimana keadaan mereka nanti?
Segala hal yang dirusak oleh hawâ dapat diperbaiki oleh akal, karena hawâ mempunyai tingkat
setaraf dengan akal. Hawâ akan merendahkan dan menjerumuskan manusia, sebaliknya akal
akan memuliakan dan meninggikannya. Sungguh besar perbedaan keduanya!
Kamu lihat orang yang dipengaruhi hawâ tampak seperti orang buta, tidak tahu jalan (menuju
Allah). Hawâ menghambatnya dari mencari sesuatu yang memiliki hakikat, membuatnya tidak
memikirkan akibat perbuatan yang ia lakukan, membuatnya suka bertengkar dan bermusuhan,
membuang-buang umur dalam mencintai dan membanding-bandingkan keutamaan para imam.
Lain halnya dengan orang-orang yang berakal, mereka sibuk dengan diri mereka sendiri,
menyempurnakan semua amal mereka dengan niat-niat yang baik, memanfaatkan waktu yang
mereka miliki dengan sebaik-baiknya, berusaha keras untuk berbuat kebajikan, dan menyesali
perbuatan baik yang tidak dapat mereka kerjakan.
(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi)
Catatan:Hawâ adalah makanan nafs. Hal ini membuat nafs sangat bergantung dan sulit
melepaskan diri dari cengkeraman hawâ. Oleh karena itu, jauhilah hawâ dan bebaskanlah nafs-
mu darinya. Sebab, hawâ akan menodai agama dan murûah-mu. Jika kamu perhatikan dan
beda-bedakan semua peristiwa yang terjadi, maka akan kamu dapati bahwa hawâ-lah yang
menjadi sumber segala fitnah dan bencana dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena, hawâ
merupakan sumber kebatilan dan kesesatan. Hawâ bak minuman memabukkan. Seseorang yang
meneguknya akan dikuasai oleh minuman itu dan akan hilang akal sehatnya.
Murûah: usaha seseorang untuk melaksanakan semua hal yang dianggap baik dan menjauhi
semua hal yang dianggap buruk oleh masyarakat
sumber: Sufi Road
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar