Sabtu, 12 Maret 2016

HUJAN DERAS DI SEKELILING KA'BAH

Seorang Bapak menyaksikan pemuda putranya berjalan mengitari Ka’bah di tengah jejalan ribuan orang yang saling mendesak satu sama lain. Tatkala muncul tujuan untuk berjalan menuju Hajar Aswad, muncul pulalah tindakan untuk menyingkirkan, membelah, mempertandingkan kekuatan kaki, tangan dan sikut.

Dan putra si Bapak itu gagal mencapai Hajar Aswad. Ia terseret arus kembali melewati wilayah batu hitam. Pada putaran berikutnya ia berusaha lagi dan terseret lagi. Demikian beberapa putaran ia berjuang dan tetap tak berhasil membawa badannya mendekat ke Hajar Aswad.

Si Bapak menghampirinya, menuntun tangannya, mengajak minggir ke tepian area seputar Ka’bah, semacam batas yang di atasnya melingkar terap-terap Masjidil Haram. Si anak diajak duduk di lantai, menghela napas panjang melepas lelah. Si Bapak bersila menghadap Ka’bah, menundukkan wajah, tampak membaca-baca entah apa. Kemudian tiba-tiba menggamit putranya, mengajaknya berwudlu kembali, tentu dengan tidak mudah mencapai tempat wudlu.

Kemudian kembali ke tepian di mana mereka tadi duduk. Si anak dipersilahkan untuk melakukan shalat dua raka’at sambil si Bapak juga melakukan hal yang sama. Setelah shalat si Bapak mengajak anaknya berdiri dan berjalan mengikutinya. Si anak berjalan di belakang Bapaknya.

Si Bapak tidak berjalan dalam arus dan irama ribuan jamaah yang berthawaf. Melainkan dari tepian area seputar Ka’bah itu ia berjalan lurus ke arah Hajar Aswad. Si Bapak berjalan tidak cepat dan tidak lambat. Berjalan biasa saja sebagaimana umumnya orang berjalan. Si Bapak dan anaknya yang berjalan di belakangnya tidak perlu menyesuaikan langkahnya dengan sangat banyak orang yang berjalan ke arah yang bersilangan dengan arah ke Hajar Aswad. Langkah mereka tidak tersendat-sendat karena di depannya banyak orang lewat. Tubuh mereka juga tidak bergeser ke kanan atau kiri atau berhenti sejenak karena menunggu orang-orang yang lewat di depan mereka.

***

Mereka berdua menembus hujanMuthawwifin, ribuan orang yang berjalan mengelilingi Ka’bah. Bukankah jumlah dan kerapatan orang-orang yang berthawaf adalah sejenis hujan deras, meskipun arahnya tidak dari atas ke bawah, melainkan dari kiri ke kanan?

Tapi tidak. Mereka berdua tidak menembus hujan deras Muthawwifin. Mereka tidak berjalan di sela-sela hujan. Mereka tidak memiliki strategi untuk tidak basah oleh guyuran hujan. Mereka tidak memiliki ilmu dan kesaktian untuk menghindari perbenturan dengan ribuan orang yang berjalan silang.

Bapak dan anaknya itu tidak melakukan perjuangan apa-apa kecuali melangkah berjalan saja. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kelihaian untuk menghindari tabrakan. Mereka hanya berjalan. Hanya berjalan. Mereka tidak bertabrakan, berbenturan atau bersenggolan dengan apapun.

Ketika tiba di Hajar Aswad, si Bapak menjulurkan kedua tangannya, memegang batu itu bagian di atas yang biasa dicium oleh jutaan orang. Di antara dua tangan yang menjulur dan berpegangan di batu itu dengan kedua kakinya terdapat ruang yang lapang, dan si Bapak mempersilahkan anaknya untuk bergeser ke ruang itu agar mencium Hajar Aswad.

Si Bapak mengatakan kepada anaknya cukup sebentar saja menciumnya. Kemudian sesudah selesai anaknya mencium, si Bapak dan anaknya diangkat ke belakang entah oleh siapa, dan mereka ditaruh kembali berpijak lantai sekitar tiga meter dari Hajar Aswad.

Sekarang anak cucuku dan para jm mestinya bertambah pengertiannya bahwa di bawah guyuran hujan, Tuhan menyediakan banyak kemungkinan: basah kuyup, basah sedikit, atau tidak basah sama sekali. Terserah-serah Tuhan. Dan jika hujan deras itu berlangsung di alamatmu sekarang, yakni di hutan belantara yang gelap secara keseluruhan dan remang-remang sebagian: toh engkau sudah selalu belajar tidak untuk menunggu atau menagih cahaya dari luar, melainkan berikhtiar memancarkan cahaya dari dalam dirimu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar