Sabtu, 16 April 2016

Kisah Mbah Liem

Wasiat Mbah Lim

Dikisahkan bahwa pada 1983 di suatu malam Jum’at Kliwon — jauh sebelum Gus Dur menjadi presiden — Gus Dur sowan ke Mbah Lim (panggilan yang dikenal masyarakat untuk almaghfurlah K.H.Muslim Rifa’i Imam Puro, pendiri Pondok Pesantren Al-Muttaqin Pancasila Sakti, Klaten). Saat itu Gus Dur tidak dipersilakan masuk rumah sebagaimana layaknya seorang tamu, tetapi hanya ditemui di luar rumah. Terjadi dialog kecil di antara keduanya.

“Lho, Gus, mengapa kamu ke sini? Ini ‘kan malam Jum’at. Ayo aku gendong, aku antarkan kamu ke tempat kakekmu, Hasyim Asy’ari,” kata Mbah Lim.

“Saya panggil sopir dulu, Mbah,” jawab Gus Dur.

Malam itu Gus Dur dan Mbah Lim meluncur ke Jombang. Tiba di makam Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari pukul tiga pagi. Di tempat itu Mbah Lim menasihati Gus Dur.

“Gus, jangan mengaku cucu Mbah Hasyim Asy’ari kalau kamu tidak bisa mengatur negara,” kata Mbah Lim.

“Apa saya bisa, ya Mbah?” jawab Gus Dur balik bertanya.

“Wah, harus bisa! NU didirikan kakekmu, Hasyim, untuk apa, bertujuan apa, dan untuk siapa? Ya, tidak lain jalan atau sarana mengatur negara!” nasihat Mbah Lim.

Menerima nasihat itu, konon Gus Dur tak mampu menahan air matanya yang jatuh membasahi pipi. Hanya kekuasaan Ilahi yang tahu, bagaimana nasihat itu diterima Gus Dur.

Di kemudian hari pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada Desember 1983 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Sukorejo, Situbondo dirumuskanlah Khittah NU, dan pada Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama, Desember 1984 di tempat yang sama Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Dan pada Oktober 1999 Gus Dur memang benar-benar menjadi presiden ke-4 RI dengan suatu proses pemilihan yang sulit dimengerti dan tidak diprediksi menurut kalkulasi politik secara rasional sebelumnya.

Lahuma Al-Faatihah

Sumber : Gus Ahmad Musta’in

Tidak ada komentar:

Posting Komentar