Senin, 25 April 2016

Shalat dalam bahasa Jawa Apakah Boleh

SOLAT BERBAHASA JAWA

Oleh: Jum’an

Pak Sri teman saya asli Solo mengatakan bahwa ia merasa lebih sreg bila berdoa dalam bahasa Jawa. Katanya lebih terasa kalau dia mengucapkan Duh Gusti dibandingkan Ya Robbi.

Dengan rendah hati ia mengatakakan seandainya diizinkan, ia ingin solat menggunakan bahasa Jawa: setidak-tidaknya pada tahiyat akhir saja. Saya tertegun mendengarkan curhatnya.

Saya hanya menimpali bahwa keinginannya mirip dengan keinginan saya dalam menjalankan profesi sehari-hari. Setiap kali berurusan dengan suhu, volume, berat atau jarak, selalu terasa ada yang janggal yang tidak sreg. Karena menerapkan teknologi Amerika, suhu terpaksa dinyatakan dalam derajat Fahrenheit, bukan dalam derajat Celcius (Centigrade), padahal saya lebih sreg menggunakan derajat Celcius karena lebih mudah dibayangkan. 0C adalah sedingin menggenggam es batu dan 100C sepanas tersiram air mendidih. Sedangkan 100F tak terbayang seberapa panas, kecuali jika saya konversikan lebih dulu.

Begitu juga volume, berat dan jarak saya lebih sreg menggunakan liter, kilogram dan meter daripada feet, pound dan gallon. Lebih terbayang. Pak Sri juga ingin doa dan solatnya lebih terasa, seperti manisnya rasa buah, tidak seperti menelan kapsul vitamin meskipun mungkin sama khasiatnya. Meskipun tak pernah terlintas untuk solat menggunakan bahasa Jawa, saya memahami pentingnya ibadah yang terasa sampai kehati tidak verbalististis dan mekanistis. Bagi Pak Sri bahasa Jawa tidak hanya enak diucapkan tetapi terasa meresap sampai kehati dibanding bahasa Arab yang tidak ia kuasai dengan baik. Saya maklum karena sebagai orang Banyumas saya juga setali tiga uang.

Konon suatu saat Raden Ajeng Kartini merasa bosan mengaji dan menghafal dalam bahasa Arab tanpa memahami artinya. Ia dimarahi dan dikeluarkan oleh guru ngaji yang mengaharapkannya menjadi wanita yang soleh. Ia lalu menulis surat kepada sahabatnya Estella Zeehandelaar, seorang tokoh feminis Yahudi Belanda. Salah satu baris surat bertanggal 6 November 1899 itu berbunyi: “Tidak jadi solehpun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati, bukankah begitu Stella?” Ini tragis!

Karena guru ngaji yang mungkin tidak pandai menyajikan materinya dalam bahasa Jawa yang difahami dan diresapi, Kartini berpaling kepada komunitas Belandanya. Tetapi bukan salah sang guru ngaji. Kartini memang dibawah pengaruh mereka; bahkan ia memandang Dr. Snouck Hurgronje orientalis-kolonialis Balanda sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam.

Kepada Rosa Abendanon istri Menteri Agama & Kebudayaan Hindia Belanda waktu itu, Kartini menulis: “… sudikah nyonya menanyakan kepada beliau apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” Mempertentangkan arti soleh dan baik hati adalah tidak relefan; bahkan dalam hal ini terdengar provokatif dan menunjukkan ketidak sukaan kepada bahasa Arab, padahal RA Kartinii adalah cucu dari pasangan KH Madirono seorang guru agama dan Nyai Hajjah Siti Aminah.

Kebanyakan kita menyangka bahwa apa yang kita ungkapkan dengan kata-kata sama persis dengan yang kita rasakan dalam pikiran. Yang kita ucapkan tergantung dari apa yang kita gambarkan dalam pikiran kita. Tetapi ada pendapat yang sebaliknya yaitu apa kita rasakan, apa yang kita lihat, tergantung dari kata yang kita ucapkan.

Artinya persepsi seseorang tergantung dari bahasa orang itu. Menurut Hipotesa Sapir-Whorf  bahasa menentukan atau sangat mempengaruhi cara berfikir dan perilaku masyarakat pengguna bahasa itu dan bahwa  macam-macam bahasa tidak dapat diterjemahkan satu dengan lainnya. Bahasa seseorang memang berpengaruh terhadap persepsi dan pemikirannya, sebagaimana terbukti dari penelitian dua orang dari Ben-Gurion Univ. Israel dan Bangor Univ. Inggris.

Subyek dalam penelitian mereka adalah orang-orang Arab warga Israel, yang fasih dalam bahasa Ibrani dan bahasa Arab, yang menjadi mahasiswa di perguruan tinggi yang menggunakan bahasa Ibrani. Terbukti bahwa asosiasi positif mereka dengan bangsanya sendiri (sesame Arab) lebih lemah ketika mereka diuji dalam bahasa Ibrani daripada ketika mereka diuji dalam bahasa Arab. Mereka berfikir Arab lebih positif ketika mereka dalam lingkungan berbahasa Arab daripada lingkungan berbahasa Ibrani. Padanan awamnya, Kartini yang fasih berbahasa Belanda dan Jawa berkurang simpatinya kepada guru ngaji bangsa sendiri ketika ia bergaul dengan komunitas yang berbahasa Belanda. Karena itu ia memilih bertanya kepada Snouck Hurgronje daripada kepada ulama Islam berbahasa Jawa.

Saya juga sering berdoa dalam bahasa Indonesia atau Jawa terutama bila harus menyebut hal-hal yang bersifat masa-kini atau khas-pribadi. Tetapi melakukan solat menggunakan bahasa Jawa, … tidak akan! Karena seperti dikatakan Edward Sapir diatas, pada hakekatnya suatu bahasa tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa lain. Apalagi ayat suci Qur’an. Anda tidak akan solat dalam bahasa selain bahas Arab bukan? Saya dan Pak Sri juga tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar