Selasa, 20 Oktober 2015

Guru Suci Tanah Jawa Sunan Kalijaga bag 2


Syekh Malaya berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang, “sugguh hamba sangat bermatur nuwun, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba memohon pada guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut iman hidayah. Hamba harus mantap berserah diri kepada Gusti Allah, bagaimanakah cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya? Hamba mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap belaka, tanpa guna menjalankan semua yang kukerjakan.

Kanjeng Sunan Bonang menjawab lembut,“Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat bertapa kau bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat perilaku atau pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau petunjuk yang jernih, serupa dengan iman hidayah, apakah itu nampak dengan sebenarnya? Namun ketahuilah semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah, hanya keterangan yang saya percayai, karena keterangan itu berasal dari sabda Gusti Allah”.

Berkata Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”. Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut,“Kalai kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia”.

Sudah habis segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang segera meninggalkan tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju. Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh Malaya ikut meninggalkan tempat itu, masuk kehutan belantara.

Raden Mas Sahid menjalankan laku kidang, berbaur dengan kidang menjangan, segala gerak laku kidang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kidang. Kalau pergi mencari makan mengikuti seperti caranya anak kidang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kidang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kidang, pontang panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kidang.

Nyata sudah cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kidang, bahkan melebihi yang telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat ke Mekah, dlam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang kembali. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh Malaya bahwa laku kidangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat kidang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau Wali Syekh Malaya berlaku seperti anak kidang, segera ia mendekati gerombolan kidang, barangkali di sana ditemukan Syekh Malaya.

Syekh Malaya yang kebutulan sedang berlaku meniru kidang tahu akan didekati gurunya. Beliu ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia, gurunya juga manusia maka ia harus menghidari jangan sampai didekati manusia biarpun oleh gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing, ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat melompat.

Marahlah sang guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku tak peduli, memanaskan hati kau kidang, bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak penar lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal! Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah menjadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”.

Kanjeng Sunan Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliu berusaha menciptakan nasi tiga kepal atau genggam. Dalam sekejap tangannya telah siap nasi 3 genggam, sgera ia mundur ancang-ancang siap mengejar Kidang Syekh Malaya untuk melemparkanya. Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah benar-benar menemukan yang sedang laku kidang, tengah berlari. Segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.

Syekh Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian dilempar lagi, nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudia berbakti pada Kanjeng Sunan Bonang.

Syekh Malaya berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru Kangjeng Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam ke Mekah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan Bonang lebih dahulu melangkahkan kaki menuju desa Bonang Tuban yang sepi.

  


He..he..he Hayo pada didengarkan sobat……, dari pada tidur sore saya tak renggeng-renggeng, sinambi leyeh-leyeh udut rokok TINGWE LAN NYRUPUT KOPI pasti yang mendengar pada senang hatinya, disamping menghibur diri juga untuk nguri-nguri tinggalane para pinisepuh mbiyen.

Macapat
POCUNG

Thole Kuncung,
lamun sira ngudi ngelmu,
ja pisan sembrana,
awit ngelmu migunani,
tanpa iki uripmu bakal rekasa.

Wit wong sepuh,
ingkang wus bodho kebacut,
anane mung pasrah,
ora bisa anggetuni,
marga ngerti getun mburi tanpa guna.

Anak putu,
ora kena melu-melu,
dadi wong kluyuran,
awit marakake lali,
gaweyanmu kudu rampung saben dina.

Disinau,
awak aja nganti ngelu,
amrih kabeh lancar,
mula kudu ngati-ati,
saben dina ulah raga dimen kuwat.

Lamun esuk,
aja pisah wegah wungu,
banyu aneng njangan,
iki pituduh sayekti,
iku lamun dipun udi apik tenan.

Pancen kudu,
solah tingkah ingkang cakut,
jangkahmu sih amba,
golek mulya jaman mangkin,
isih akeh idham-idhaman ingkang mulya.

Yekti kojur,
uwong bodho kaya aku,
sasat lawe klasa,
aji godhong jati aking,
eman-eman yen urip ditinggal jaman.

Rumangsamu,
apa jaman ora maju,
iki kudu tanggap,
ngelmu perlu kanggo urip,
pawitan kang tanpa tandhing ajinira.

Kapethik saka buku Warisan, Geguritan Macapat,
karyane Suwardi, weton Balai Pustaka, 1983.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar