Jumat, 12 Juli 2013

MENJAWAB WAHABI TENTANG TAHLILLAN

MENJAWAB WAHABI TENTANG TAHLILLAN

WAHABI: “Mengapa Anda Tahlilan? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan?”

SUNNI: “Setahu saya, Imam al-Syafi’i tidak pernah melarang Tahlilan. Anda pasti berbohong
dalam perkataan Anda tentang larangan Tahlilan oleh Imam al-Syafi’i.”

WAHABI: “Bukankah dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i telah diterangkan, bahwa selamatan
selama tujuh hari kematian itu bid’ah yang makruh, dan beliau juga berpendapat bahwa
hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit?”

SUNNI: “Nah, terus di mana letaknya Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan? Apakah seperti
yang Anda jelaskan itu? Kalau seperti itu maksud Anda, berarti Anda membesar-besarkan
persoalan yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. “

WAHABI: “Kenapa begitu?”

SUNNI: “Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan suguhan
makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum makruh, artinya kan boleh
dikerjakan, hanya kalau ditinggalkan mendapatkan pahala. Kan begitu? Anda harus tahu,
dalam beragama itu tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh.
Tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat
istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.”

WAHABI: “Kalau begitu, Anda lebih tunduk kepada hukum adat dari pada hukum agama.”

SUNNI: “Sepertinya Anda belum mengerti maksud perkataan saya.”

WAHABI: “Kok justru saya dianggap tidak mengerti?”

SUNNI; “Memang begitu kenyataannya. Anda belum faham. Agar Anda dapat memahami
dengan baik, sekarang saya bertanya kepada Anda. Madzhab apa yang diikuti oleh kaum
Wahabi di Saudi Arabia dalam bidang fiqih? “

WAHABI: “Yang jelas Madzhab Hanbali.”

SUNNI: “Bagus kalau begitu, Anda sedikit mengerti. Begini, di antara kitab-kitab klasik yang
ditulis oleh ulama madzhab Hanbali, adalah kitab al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih
al-Maqdisi. Kitab ini diterbitkan oleh pemerintahan Saudi Arabia, dan didistribusikan secara
gratis kepada umat Islam. Dalam kitab tersebut terdapat keterangan begini;

َﻝﺎَﻗَﻭ ٍﻞﻴِﻘَﻋ ُﻦْﺑﺍ ﻲِﻓ ِﻥﻮُﻨُﻔْﻟﺍ ﻲِﻐَﺒْﻨَﻳ ﺎَﻟ ِﺕﺍَﺩﺎَﻋ ْﻦِﻣ ُﺝﻭُﺮُﺨْﻟﺍ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻲِﻓ ﺎَّﻟﺇ ِﻡﺍَﺮَﺤْﻟﺍ َﻝﻮُﺳَّﺮﻟﺍ َّﻥِﺈَﻓ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ َﻙَﺮَﺗ ُﻥﺎَﺛْﺪِﺣ ﺎَﻟْﻮَﻟ) َﻝﺎَﻗَﻭ َﺔَﺒْﻌَﻜْﻟﺍ ِﻚِﻣْﻮَﻗ ُﺮَﻤُﻋ َﻝﺎَﻗَﻭ (َﺔَّﻴِﻠِﻫﺎَﺠْﻟﺍ ﺎَﻟْﻮَﻟ ْﻥَﺃ ُﺮَﻤُﻋ َﻝﺎَﻘُﻳ ﻲِﻓ َﺩﺍَﺯ ِﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍ ُﺖْﺒَﺘَﻜَﻟ َﺔَﻳﺁ
.ِﻢْﺟَّﺮﻟﺍ َﻙَﺮَﺗَﻭ ُﺪَﻤْﺣَﺃ ِﻦْﻴَﺘَﻌْﻛَّﺮﻟﺍ ِﺏِﺮْﻐَﻤْﻟﺍ َﻞْﺒَﻗ ِﺭﺎَﻜْﻧِﺈِﻟ َﺮَﻛَﺫَﻭ ،ﺎَﻬَﻟ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻲِﻓ ِﻝﻮُﺼُﻔْﻟﺍ ْﻦَﻋ ِﻦْﻴَﺘَﻌْﻛَّﺮﻟﺍ َﻞْﺒَﻗ ِﺏِﺮْﻐَﻤْﻟﺍ
َﻚِﻟَﺫ َﻞَﻌَﻓَﻭ ﺎَﻨُﻣﺎَﻣﺇ ُﺪَﻤْﺣَﺃ َّﻢُﺛ ُﻪَﻛَﺮَﺗ ْﻥَﺄِﺑ َﻝﺎَﻗ َﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﺖْﻳَﺃَﺭ ﺎَﻟ ،ُﻪَﻧﻮُﻓِﺮْﻌَﻳ َﻩِﺮَﻛَﻭ ُﺪَﻤْﺣَﺃ ﻲِﻓ ِﺖِﺋﺍَﻮَﻔْﻟﺍ َﺀﺎَﻀَﻗ ﻰَّﻠَﺼُﻣ
ِﺪﻴِﻌْﻟﺍ ُﻑﺎَﺧَﺃ :َﻝﺎَﻗَﻭ ْﻥَﺃ َﻱِﺪَﺘْﻘَﻳ ُﻩﺍَﺮَﻳ ْﻦَﻣ ُﺾْﻌَﺑ ِﻪِﺑ ﻡﺎﻣﻹﺍ) . ﻦﺑﺍ ﻪﻴﻘﻔﻟﺍ ﺢﻠﻔﻣ ،ﻲﻠﺒﻨﺤﻟﺍ ﺏﺍﺩﻵﺍ ،ﺔﻴﻋﺮﺸﻟﺍ ٢/٤٧ )

“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat,
kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata,
“Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar
berkata:

“Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan
menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at
sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan
tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya
melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-
orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).

Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak baik meninggalkan tradisi masyarakat selama
tradisi tersebut tidak haram. Suguhan makanan kepada pentakziyah itu hanya makruh, tidak
haram. Karena hal itu sudah mentradisi, ya kita ikuti saja. Kata pepatah Arab, tarkul-’adah
‘adawah (meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan permusuhan).”

WAHABI: “Tapi kan lebih baik tidak perlu suguhan makanan, agar tidak makruh.”

SUNNI: “Anda keras kepala. Tidak mengerti pembicaraan orang. Coba Anda pahami
perkataan Ibnu Aqil dalam al-Funun di atas. Di antara dasar mengapa, kita dianjurkan
mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah hadits yang berbunyi:

ْﻦَﻋ َﻲِﺿَﺭ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ُﻪﻠﻟﺍ ﺎﻬْﻨَﻋ َّﻥَﺃ ﻰَّﻠَﺻ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﻠﻟﺍ َﻝﺎَﻗ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ْﻢَﻟَﺃ ﺎَﻬَﻟ ْﻱَﺮَﺗ َّﻥَﺃ ِﻚَﻣْﻮَﻗ ﺎَّﻤَﻟ ﺍْﻮَﻨَﺑ
َﺔَﺒْﻌَﻜْﻟﺍ ﺍﻭُﺮَﺼَﺘْﻗﺍ ْﻦَﻋ ُﺖْﻠُﻘَﻓ َﻢﻴِﻫﺍَﺮْﺑِﺇ ِﺪِﻋﺍَﻮَﻗ َﻝﻮُﺳَﺭ ﺎَﻳ ﺎَﻟَﺃ ِﻪﻠﻟﺍ ﺎَﻫُّﺩُﺮَﺗ ﻰَﻠَﻋ َﻢﻴِﻫﺍَﺮْﺑِﺇ ِﺪِﻋﺍَﻮَﻗ ﺎَﻟْﻮَﻟ َﻝﺎَﻗ ُﻥﺎَﺛْﺪِﺣ
ِﺮْﻔُﻜْﻟﺎِﺑ ِﻚِﻣْﻮَﻗ ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ) .ُﺖْﻠَﻌَﻔَﻟ ﻢﻠﺴﻣﻭ )

“Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apakah kamu tidak tahu,
bahwa ketika kaummu membangun Ka’bah, tidak sempurna pada pondasi yang dibangun
oleh Nabi Ibrahim AS.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak engkau kembalikan
Ka’bah kepada pondasi Nabi Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya bukan karena kaummu baru meninggalkan kekufuran, pasti aku lakukan.” HR al-Bukhari dan Muslim.

Dalam hadits di atas dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW tidak merekonstruksi Ka’bah agar
sesuai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, hanya karena khawatir
menimbulkan fitnah, karena kaumnya baru meninggalkan masa-masa Jahiliyah. Sampai
sekarang Ka’bah yang ada, lebih kecil dari Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.
Ka’bah saja, yang merupakan kiblat umat Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah haji,
dibiarkan oleh Rasulullah SAW, karena alasan tradisi, apalagi masalah kenduri tujuh hari,
yang hukumnya hanya makruh. Persoalan Ka’bah jelas lebih besar dari selamatan Tahlilan.”

WAHABI: “Tapi dengan adanya selamatan selama tujuh hari, itu berarti meninggalkan
Sunnah atau melakukan makruh yang disepakati.”

SUNNI: “Siapa bilang selamatan tujuh hari itu makruh yang disepakati? Dalam masalah ini
masih terdapat beberapa pendapat. Berikut rinciannya:

Tidak semua kaum salaf memakruhkan hidangan makanan yang dibuat oleh keluarga si mati
untuk orang-orang yang berta’ziyah. Dalam masalah ini ada khilafiyah di kalangan mereka.
Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut ini:

Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan
makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:

ِﻦَﻋ ِﻒَﻨْﺣَﺄْﻟﺍ ِﻦْﺑ َﻝﺎَﻗ ٍﺲْﻴَﻗ َﺮَﻤُﻋ ُﻊَﻤْﺳَﺃ ُﺖْﻨُﻛ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻪﻨﻋ ُﻝْﻮُﻘَﻳ ُﻞُﺧْﺪَﻳ َﻻ ْﻦِﻣ ٌﺪَﺣَﺃ ْﻲِﻓ ٍﺶْﻳَﺮُﻗ ٍﺏﺎَﺑ ﺎَّﻟِﺇ َﻞَﺧَﺩ
ُﻪَﻌَﻣ َﻼَﻓ ٌﺱﺎَﻧ ْﻱِﺭْﺩَﺃ ُﻞْﻳِﻭْﺄَﺗ ﺎَﻣ ِﻪِﻟْﻮَﻗ َﻦِﻌُﻃ ﻰَّﺘَﺣ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ُﺮَﻤُﻋ ﺎًﺒْﻴَﻬُﺻ َﺮَﻣَﺄَﻓ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻪﻨﻋ ْﻥَﺃ َﻲِّﻠَﺼُﻳ
ِﺱﺎَّﻨﻟﺎِﺑ ﺎًﺛَﻼَﺛ َﺮَﻣَﺃَﻭ ْﻥَﺃ َﻞَﻌْﺠُﻳ ِﺱﺎَّﻨﻠِﻟ ًﺎﻣﺎَﻌَﻃ ﺍْﻮُﻌَﺟَﺭ ﺎَّﻤَﻠَﻓ َﻦِﻣ ِﺓَﺯﺎَﻨَﺠْﻟﺍ ﺍْﻭُﺅﺎَﺟ ِﺖَﻌِﺿُﻭ ْﺪَﻗَﻭ َﻚَﺴْﻣَﺄَﻓ ُﺪِﺋﺍَﻮَﻤْﻟﺍ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ
ﺎَﻬْﻨَﻋ ْﻱِﺬَّﻟﺍ ِﻥْﺰُﺤْﻠِﻟ .ِﻪْﻴِﻓ ْﻢُﻫ َﺀﺎَﺠَﻓ ُﺱﺎَّﺒَﻌْﻟﺍ ُﻦْﺑ ِﺪْﺒَﻋ َﻝﺎَﻗ ِﺐِﻠَّﻄُﻤْﻟﺍ ﺎَﻳ : ﺎَﻬُّﻳَﺃ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﺕﺎَﻣ ْﺪَﻗ ﻪَّﻠﻟﺍ ﻝﻮُﺳَﺭ ﻰﻠﺻ
ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻢﻠﺳﻭ ﺎَﻨْﻠَﻛَﺄَﻓ ُﻩَﺪْﻌَﺑ ،ﺎَﻨْﺑِﺮَﺷَﻭ َﺕﺎَﻣَﻭ ﻮُﺑَﺃ ٍﺮْﻜَﺑ ﺎَﻨْﻠَﻛَﺄَﻓ ُﻩَﺪْﻌَﺑ ،ﺎَﻨْﺑِﺮَﺷَﻭ ﺎَﻬُّﻳَﺃ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ْﻦِﻣ ﺍﻮُﻠُﻛ ،ِﻡﺎَﻌَّﻄﻟﺍ ﺍَﺬَﻫ
َّﺪَﻤَﻓ ُﻩَﺪَﻳ َّﺪَﻣَﻭ ﺱﺎَّﻨﻟﺍ ،ﺍﻮُﻠَﻛَﺄَﻓ ﻢُﻬَﻳِﺪْﻳَﺃ ﻞﻳﻭَﺄَﺗ ُﺖْﻓَﺮَﻌَﻓ ﻪﻟﻮَﻗ .

“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy
tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak
mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan
Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan
bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan
hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang
menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu
Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar
meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan
ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk
dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh
Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-’Aliyah, juz 5 hal. 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithaf
al-Khiyarah al-Maharah, juz 3 hal. 289.
Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia,
beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

ْﻦَﻋ َﺓَﻭْﺮُﻋ ْﻦَﻋ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ﻰﻠﺻ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ِﺝْﻭَﺯ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻢﻠﺳﻭ ﺎَﻬَّﻧَﺃ ﺍَﺫِﺇ ْﺖَﻧﺎَﻛ ُﺖِّﻴَﻤْﻟﺍ َﺕﺎَﻣ ْﻦِﻣ ﺎَﻬِﻠْﻫَﺃ َﻊَﻤَﺘْﺟﺎَﻓ َﻚِﻟَﺬِﻟ
ُﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ َّﻢُﺛ َﻦْﻗَّﺮَﻔَﺗ َّﻻِﺇ ﺎَﻬَﺘَّﺻﺎَﺧَﻭ ﺎَﻬَﻠْﻫَﺃ ْﺕَﺮَﻣَﺃ ْﻦِﻣ ٍﺔَﻣْﺮُﺒِﺑ ْﺖَﺨِﺒُﻄَﻓ ٍﺔَﻨْﻴِﺒْﻠَﺗ َّﻢُﺛ َﻊِﻨُﺻ ٌﺪْﻳِﺮَﺛ ْﺖَّﺒُﺼَﻓ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋ ُﺔَﻨْﻴِﺒْﻠَّﺘﻟﺍ َّﻢُﺛ
ْﺖَﻟﺎَﻗ ﺎَﻬْﻨِﻣ َﻦْﻠُﻛ ُﺖْﻌِﻤَﺳ ْﻲِّﻧِﺈَﻓ ِﻪﻠﻟﺍ َﻝْﻮُﺳَﺭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ُﻝْﻮُﻘَﻳ ﻢﻠﺳﻭ ُﺔَﻨْﻴِﺒْﻠَّﺘﻟَﺍ ٌﺔَّﻤِﺠُﻣ ِﺾْﻳِﺮَﻤْﻟﺍ ِﺩﺍَﺆُﻔِﻟ ُﺐِﻫْﺬُﺗ
َﺾْﻌَﺑ .ِﻥْﺰُﺤْﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣ .

“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah
meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka
berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan
talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian
dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata:
“Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat
menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim
[2216]). Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal,menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung
sejak generasi sahabat Nabi SAW.

Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh
hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:

ْﻦَﻋ َﻝﺎَﻗ َﻝﺎَﻗ َﻥﺎَﻴْﻔُﺳ ُﺱْﻭُﻭﺎَﻃ ﻰَﺗْﻮَﻤْﻟﺍ َّﻥِﺇ َﻥْﻮُﻨَﺘْﻔُﻳ ْﻲِﻓ ًﺎﻌْﺒَﺳ ْﻢِﻫِﺭْﻮُﺒُﻗ َﻥْﻮُّﺒِﺤَﺘْﺴَﻳ ﺍْﻮُﻧﺎَﻜَﻓ ْﻥَﺃ َﻢَﻌْﻄُﻳ ْﻢُﻬْﻨَﻋ َﻚْﻠِﺗ
َﻡَّﺎﻳَﺄْﻟﺍ.

“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam
kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan
selama hari-hari tersebut.”

Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu
Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur
(32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-’Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-
Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus
dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang
diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang
diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam
Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh
al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi. Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan
kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh.
Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:

ُﻪْﻨِﻣ ُﺯْﻮُﺠَﻳ ﺎَﻣ ِﻪِﺑ ْﺕَﺮَﺟ ُﺓَﺩﺎَﻌْﻟﺍ َﺪْﻨِﻋ ِﻡَﺎﻣِﺈْﻟﺍ ِﻊَﻤُﺠْﻟﺎَﻛ ٍﻚِﻟﺎَﻣ ﺎَﻫِﻮْﺤَﻧَﻭ ٌﺔَﺤْﺴُﻓ ِﻪْﻴِﻓَﻭ ﺎَﻤَﻛ ُﺔَﻣَّﻼَﻌْﻟﺍ ُﻪَﻟﺎَﻗ ُّﻲِﻔِﺻْﺮُﻤْﻟﺍ
ْﻲِﻓ ٍﺔَﻟﺎَﺳِﺭ ُﻪَﻟ .

“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya
adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana
dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath
al-’Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-
orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara
pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada
yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat
Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di
Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.

Nah, dengan demikian, hukum suguhan makanan sebenarnya masih diperselisihkan di
kalangan ulama. Kalau Anda kaum Wahabi terus memerangi suguhan makanan dalam acara
tujuh hari, justru Anda yang melanggar hukum agama.”

WAHABI: “Kok justru kami yang melanggar hukum agama?”

SUNNI: “Ya betul. Dalam kaedah fiqih disebutkan, laa yunkaru al-mukhlatafu fiih wa
innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alaih (tidak boleh mengingkari hukum yang diperselisihkan di
kalangan ulama. Akan tetapi hanya hukum yang disepakati para ulama yang harus diprotes/
ditolak).”

WAHABI: “Lalu bagaimana dengan pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada
mayit? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang?”

SUNNI: “Imam al-Syafi’i tidak melarang apalagi mengharamkan. Beliau hanya berpendapat
bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an menurut beliau tidak sampai. Sementara
menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal, dikatakan sampai. Banyak juga
pengikut madzhab Syafi’i yang berpendapat sampai. Sedangkan pengiriman hadiah pahala
selain al-Qur’an seperti sedekah, istighfar, shalawat, tahlil dan tasbih, semua ulama sepakat
sampai. Jadi masalah ini persoalan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa meskipun Imam al-Syafi’i berpendapat tidak sampai tentang
pahala al-Qur’an, beliau menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan seseorang, agar
mendapatkan barokahnya bacaan al-Qur’an. Anda harus tahu masalah ini.”

WAHABI: “Mengapa kalian tidak konsisten dengan madzhab Syafi’i, dan tidak usah Tahlilan?”

SUNNI: “Anda benar-benar bodoh. Imam al-Syafi’i tidak melarang Tahlilan. Sudah saya
katakan berkali-kali. Dan anda juga bodoh, bahwa dalam bermadzhab, tidak berarti harus
mengikuti semua pendapat Imam Madzhab secara keseluruhan.
Tetapi mengikuti pendapat Imam Madzhab yang kuat dalilnya. Dalam madzhab Syafi’i ada kaedah, apabila pendapat lama Imam al-Syafi’i (Qaul Qadim) bertentangan dengan pendapatnya yang baru (Qaul Jadid), maka yang diikuti adalah Qaul Jadid. Hanya dalam 12 masalah, para ulama mengikuti Qaul Jadid, karena dalilnya lebih kuat. Anda ini lucu, katanya tidak taklid kepada ulama,
semata-mata mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, tapi Anda memaksa kami meninggalkan
Tahlilan, dengan alasan Imam kami melarang Tahlilan.”

WAHABI: “Menurut salah seorang ustadz kami (Firanda), riwayat dari Khalifah Umar, tentang
suguhan makanan oleh keluarganya kepada para pentakziyah, adalah dha’if. Mengapa Anda
sampaikan?”

SUNNI: “Kami pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan pengikut Wahabi
seperti Anda. Coba Anda perhatikan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal:

ﺎﻨﻳﻭﺭ ﺍﺫﺇ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻦﻋ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻲﻓ ﻝﻼﺤﻟﺍ ﻡﺍﺮﺤﻟﺍﻭ ﻦﻨﺴﻟﺍﻭ ﻡﺎﻜﺣﻷﺍﻭ ﺎﻧﺩﺪﺸﺗ ﻲﻓ ﺪﻴﻧﺎﺳﻷﺍ
ﺎﻨﻳﻭﺭ ﺍﺫﺇﻭ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﻓ ﻢﻠﺳ ﻞﺋﺎﻀﻓ ﻝﺎﻤﻋﻷﺍ ﻻ ﺎﻣﻭ ﻊﻀﻳ ﺎﻤﻜﺣ ﻪﻌﻓﺮﻳ ﻻﻭ ﺎﻨﻠﻫﺎﺴﺗ ﻲﻓ
ﺪﻴﻧﺎﺳﻷﺍ

Dalam pernyataan tersebut, yang diperketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau berupa
hadits dari Rasulullah SAW. Berarti kalau bukan hadits Nabi SAW, seperti atsar Khalifah
Umar, tidak perlu diperketat. Tolong Anda fahami dengan baik. Anda tahu Syaikh al-Albani?”

WAHABI: “Ya, kami tahu. Menurut kami beliau ulama besar dalam bidang hadits. Kenapa
dengan Syaikh al-Albani?”

SUNNI: “Al-Albani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebagian kitabnya:

ﻲﻐﺒﻨﻳ ﻻ ﻪﻴﻘﻔﻟ ﻥﺃ ﻞﻤﺤﻳ ﻰﻠﻋ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻪﺒﻫﺬﻣ

“Tidak sebaiknya bagi seorang ahli fiqih, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.”
Jadi kalau Anda mengakui al-Albani sebagai panutan Wahabi, Anda tidak perlu memaksa
umat Islam yang memang bermadzhab Syafi’i, untuk mengikuti ajaran Wahabi yang Anda
ikuti.”

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar