Kamis, 04 Juli 2013

Sunan Bonang dengan Santrinya

Sunan Bonang dengan Santrinya

Kisah Hikmah untuk memahami syukur nikmat dari Allah

Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali
ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni
jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat.
Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal
nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antara Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Setelah selesai shalat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid
itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon
beringin yang rimbun.
Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap karena perut
sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.
Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada
beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu.
Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu."
"Mengapa guru?" tanya santri heran.
" Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman."
"Apa saya jorok?"
" Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding
dengan telunjuknya.
Maka, dengan kemalu-maluan ia segera mengusap bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah.
Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik :
" Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu ?"
Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru mengatakan jorok kepada
saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya
makan?"
" Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar
makanan yang tersisa di ujung-ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi
maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan
makanan, meskipun cuma sedikit ."
"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?"
" Tidak ."
"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?"
" Karena kamu memang bodoh."
"Maksud Guru?"
" Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi tersebut tidak
mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh mahluk-
mahluk Allah yang lain, seperti semut,dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat
begitu, berarti kamu membuat mubazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka
berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke
tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu
disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak berarti boleh disakiti atau
dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya ."
Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Arroisi.

Kisah Hikmah untuk memahami syukur nikmat dari Allah

Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali
ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni
jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat.
Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal
nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antara Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Setelah selesai shalat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid
itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon
beringin yang rimbun.
Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap karena perut
sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.
Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada
beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu.
Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu."

"Mengapa guru?" tanya santri heran.

" Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman."

"Apa saya jorok?"

" Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya. Maka, dengan kemalu-maluan ia segera mengusap bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah.

Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik :

" Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu ?"
Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru mengatakan jorok kepada
saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya
makan?"

" Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung-ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan, meskipun cuma sedikit ."

"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?" " Tidak ."

"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?"

" Karena kamu memang bodoh." "Maksud Guru?"

" Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi tersebut tidak
mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh mahluk-
mahluk Allah yang lain, seperti semut,dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat
begitu, berarti kamu membuat mubazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka
berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke
tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya ."

Sumber: 30 Kisah Teladan, Pengarang : KH Abdurrahman Wahhid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar