Kamis, 15 Agustus 2013

Sejarah Islam Dunia

PEMUDA PEJUANG ISLAM
BUKTI NYATA
KE-ISTIMEWAAN ISLAM SEHARUSNYA DIIKUTI OLEH SEMUA MANUSIA APAPUN AGAMANYA
JEJAK KEGEMILANGAN UMAT ISLAM DALAM PENTAS SEJARAH DUNIA
Sejarah perjuangan umat Islam dalam pentas peradaban dunia berlangsung sangat lama sekira 13
abad, yaitu sejak masa kepemimpinan Rasulullah Saw di Madienah (622-632M); Masa Daulat
Khulafaur Rasyidin (632-661M); Masa Daulat Umayyah (661-750M) dan Masa Daulat Abbasiyah
(750-1258 M) sampai tumbangnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tanggal 28 Rajab tahun 1342 H
atau bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M, dimana masa-masa kejayaan dan puncak
keemasannya banyak melahirkan banyak ilmuwan muslim berkaliber internasional yang telah
menorehkan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat manusia yang terjadi selama kurang
lebih 700 tahun, dimulai dari abad 6 M sampai dengan abad 12 M. Pada masa tersebut, kendali
peradaban dunia berada pada tangan umat Islam.
Pada saat berjayanya peradaban Islam semangat pencarian ilmu sangat kental dalam kehidupan
sehari-hari. Semangat pencarian ilmu yang berkembang menjadi tradisi intelektual secara historis
dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
saw yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin
dan para ulama yang datang kemudian dengan merujuk pada Sunnah Nabi Muhammad saw.
ERA RASULULLOH SAW (622-632M) DAN PERIODE DAULAT KHULAFAUR RASYIDIN (632-661 M)
Kesuksesan Rasulullah Muhammad Saw dalam membangun peradaban Islam yang tiada taranya
dalam sejarah dicapai dalam kurun waktu 23 tahun, 13 tahun langkah persiapan pada periode
Makkah (Makiyyah) dan 10 tahun periode Madienah (Madaniyah). Periode 23 tahun merupakan
rentang waktu kurang dari satu generasi, dimana beliau Saw telah berhasil memegang kendali
kekuasaan atas bangsa-bangsa yang lebih tua peradabannya saat itu khususnya Romawi, Persia dan
Mesir.
Seorang ahli pikir Perancis bernama Dr. Gustave Le Bone mengatakan:
“Dalam satu abad atau 3 keturunan, tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan
perubahan yang berarti. Bangsa Perancis memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat
mengadakan suatu masyarakat yang bercelup Perancis. Hal ini terdapat pada seluruh bangsa dan
umat, tak terkecuali selain dari umat Islam, sebab Muhammad El-Rasul sudah dapat mengadakan
suatu masyarakat baru dalam tempo satu keturunan (23 tahun) yang tidak dapat ditiru atau
diperbuat oleh orang lain”.
Masa kerasulan Muhammad Saw pada akhir periode Madienah merupakan puncak (kulminasi)
peradaban Islam, karena disitulah sistem Islam disempurnakan dan ditegakkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah ayat 3).
Generasi masa itu merupakan generasi terbaik sebagaimana firman Alloh Swt: “Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Alloh”. (QS. Ali Imran ayat 110).
PERIODE DAULAT UMAYYAH (661-750M)
Masa Kedaulatan Umayyah berlangsung selama lebih kurang 90 tahun. Beberapa orang Khalifah
besar Bani Umayyah ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abdul Malik bin Marwan (685-
705 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), Umar bin Abdul Aziz (717- 720 M) dan Hasyim bin
Abdul Malik (724- 743 M).
Awal berlangsungya periode Daulat Umayyah lebih memprioritaskan pada perluasan wilayah
kekuasaan. Ekspansi wilayah yang sempat terhenti pada masa Khalifah Utsman dan Khalifah Ali
dilanjutkan kembali oleh Daulat Umayyah. Pada zaman Muawiyah, Tunisia ditaklukkan. Di sebelah
Timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai
ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel.
Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik. Dia
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai
Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban, dimana umat Islam
merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun,
tercatat bahwa pada tahun 711 M merupakan suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah Barat Daya, benua Eropa. Setelah Al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad,
panglima pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko
dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar
(Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran
ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah
itu kota-kota lain seperti Sevi'e, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru
setelah jatuhnya Cordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Pada zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee.
Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang
Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi
di luar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping
daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan
Islam pada zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan
Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika
Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang
sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang. Pada bidang pengembangan keilmuan, Daulat Umayyah mengawalinya dengan
mengeluarkan sebuah kebijakan startegis. Adalah Khalifah Abdul Malik (685-705M) merupakan
Khalifah pertama yang berhasil melakukan berbagi pembenahan administrasi pemerintahan dimana
beliau memerintahkan penggunaan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan
dan kenegaraan di seluruh wilayah Islam yang membentang dari Pegunungan Thian Shan di sebelah
Timur sampai Pegunungan Pyrenees di Sebelah Barat termasuk dalam berbagai administrasi
kenegaraan lainnya yang pada perkembangan selanjutnya Bahasa Arab menjadi bahasa umum
sebagai bahasa pengantar dunia (lingua franca), juga menjadi bahasa diplomatik antar Bangsa
diantara Barat dan Timur bahkan berkembang menjadi bahasa ilmiah sampai kepada zaman
renaissance, hingga Roger Bacon (1214-1294 M) dari Oxford ahli pikir Inggeris terbesar itu, menurut
Ecyclopedia Britanica, 1951, volume II, halaman 191-197, mendorong sedemikian rupa untuk
mempelajari Bahasa Arab guna memperoleh pengetahuan yang sangat murni, yang menyatakan
bahwa: “Roger Bacon, placing Averroes beside Aristole and Avicenna, recomends the study of
Arabic as the only way of getting the knowledge which bad versions obscured”, yakni
“menganjurkan mempelajari Bahasa Arab sebagai jalan satu-satunya bagi memperoleh ilmu yang
telah dikaburkan oleh versi-versi yang jelek” sebelumnya.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan pada zaman Daulat Umayyah di Andalusia
dirasakan oleh masyarakat Eropa. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di
sana sebagai berikut:
“….pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui
sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur
Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari
sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai
reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains,
tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universitas
penting berada”.
Pada bidang lainnya, pembangunan yang dilakukan Muawiyah diantaranya mendirikan dinas pos
dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang.
Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri.
Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Khalifah Abdul Malik mengubah mata uang Bizantium
dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang
tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Keberhasilan Khalifah
Abdul Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang
cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara
tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah
lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Pada lapangan perdagangan yakni pada saat peradaban Islam telah menguasai dunia perdagangan
sejak permulaan Daulat Umayyah (661-750M), dimana pesisir lautan Hindia sampai ke Lembah Sind,
sehingga terjalin kesatuan wilayah yang luas dari Timur sampai Barat yang berimplikasi terhadap
lancarnya lalu-lintas dagang di dataran antara Tiongkok dengan dunia belahan Barat pegunungan
Thian Shan melalui Jalan Sutera (Silk Road) yang terkenal itu, yang kemudian terbuka pula jalur
perdagangan melalui Teluk Parsi, Teluk Aden yang menghubungkannya dengan kota-kota dagang di
sepanjang pesisir Benua Eropa, menyebabkan “kebutuhan Eropa pada saat itu amat tergantung pada
kegiatan dagang di dalam wilayah Islam”.
PERIODE DAULAT ABBASIYAH (132H/750M s.d. 656H/1258 M)
Masa Kedaulatan Abbasiyah berlangsung selama 508 tahun, sebuah rentang sejarah yang cukup
lama dalam sebuah peradaban. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode: (1) Periode
Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama; (2) Periode Kedua
(232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama; (3) Periode Ketiga (334 H/945
M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode
ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua; (4) Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M),
masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga
dengan masa pengaruh Turki kedua; (5) Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah
bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Tidak seperti pada periode Umayyah, Periode pertama Daulat Abbasiyah lebih memprioritaskan
pada penekanan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Fakta
sejarah mencatat bahwa masa Kedaulatan Abbasiyah merupakan pencapaian cemerlang di dunia
Islam pada bidang sains, teknologi dan filsafat. Pada saat itu dua pertiga bagian dunia dikuasai
oleh Kekhilafahan Islam.
Masa sepuluh Khalifah pertama dari Daulat Abbasiyah merupakan masa kejayaan (keemasan)
peradaban Islam, dimana Baghdad mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Secara
politis, para khalifah betul-betul merupakan tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Pada masa sepuluh Khalifah pertama itu, puncak pencapaian kemajuan peradaban Islam terjadi
pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-809 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah shaleh
ahli ibadah; senang bershadaqah; sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para ‘ulama; senang
dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa pemerintahannya
dilakukan sebuah gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah
dari golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah,
yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat penerjemahan
yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa
itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga
dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan
sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga
dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.
Terjadinya perkembangan lembaga pendidikan pada masa Harun Al Rasyid mencerminkan terjadinya
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan
bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah,
maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama juga lahir para imam mazhab hukum yang empat
hidup Imam Abu Hanifah (700-767 M); Imam Malik (713-795 M); Imam Syafi'i (767-820 M) dan Imam
Ahmad bin Hanbal (780-855 M).
Pencapaian kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tersebut tidak terlepas dari
adanya sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya dari bangsa-
bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang
dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia,
farmasi, biologi, fisika dan sejarah.
Menurut Demitri Gutas proses penterjemahan di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,
politik dan intelektual. Ini berarti bahwa para pihak baik dari unsur masyarakat, elit penguasa,
pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat
besar.
Gerakan penerjemahan pada zaman itu kemudian diikuti oleh suatu periode kreativitas besar,
karena generasi baru para ilmuwan dan ahli pikir muslim yang terpelajar itu kemudian membangun
dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya untuk mengkontribusikannya dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan.
Menurut Marshall, proses pengislaman tradisi-tradisi itu telah berbuat lebih jauh dari sekadar
mengintegrasikan dan memperbaiki, hal itu telah menghasilkan energi kreatif yang luar biasa.
Menurutnya, periode kekhalifahan dalam sejarah Islam merupakan periode pengembangan di
bidang ilmu, pengetahuan dan kebudayaan, dimana pada zaman itu telah melahirkan tokoh-tokoh
besar di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi. Berbagai
pusat pendidikan tempat menuntut ilmu dengan perpustakaan-perpustakaan besar bermunculan di
Cordova, Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus, dan Bukhara, dimana pada saat yang sama
telah mengungguli Eropa yang tenggelam dalam kegelapan selama berabad-abad. Kehidupan
kebudayaan dan politik baik dari kalangan orang Islam maupun non-muslim pada zaman
kekhilafahan dilakukan dalam kerangka Islam dan bahasa Arab, walaupun terdapat perbedaan-perbe
daan agama dan suku yang plural.
Pada saat itu umat Islam telah berhasil melakukan sebuah akselerasi, jauh meninggalkan
peradaban yang ada pada saat itu. Hidupnya tradisi keilmuan, tradisi intelektual melalui gerakan
penerjamahan yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan penyelidikan yang didukung oleh kuatnya
elaborasi dan spirit pencarian, pengembangan ilmu pengetahuan yang berkembang secara pesat
tersebut, mengakibatkan terjadinya lompatan kemajuan di berbagai bidang keilmuan yang telah
melahirkan berbagai karya ilmiah yang luar biasa.
Menurut Oliver Leaman proses penterjemahan yang dilakukan ilmuwan muslim tidak hanya
menterjemahkan karya-karya Yunani secara ansich, tetapi juga mengkaji teks-teks itu, memberi
komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Proses asimilasi tersebut
menurut Thomas Brown terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Sains, filsafat dan kedoketeran
Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Proses ini
menggambarkan betapa tingginya tingkat kreativitas ilmuwan muslim sehingga dari proses tersebut
telah melahirkan pemikiran baru yang berbeda sama sekali dari pemikiran Yunani dan bahkan boleh
jadi asing bagi pemikiran Yunani.
Pada masa-masa permulaan perkembangan kekuasaan, Islam telah memberikan kontribusi kepada
dunia berupa tiga jenis alat penting yaitu paper (kertas), compass (kompas) and gunpowder
(mesiu). Penemuan alat cetak (movable types) di Tiongkok pada penghujung abad ke-8 M dan
penemuan alat cetak serupa di Barat pada pertengahan abad 15 oleh Johann Gutenberg, menurut
buku Historians’ History of the World, akan tidak ada arti dan gunanya jika Bangsa Arab tidak
menemukan lebih dahulu cara-cara bagi pembuatan kertas.
Pencapaian prestasi yang gemilang sebagai implikasi dari gerakan terjemahan yang dilakukan pada
zaman Daulat Abbasiah sangat jelas terlihat pada lahirnya para ilmuwan muslim yang mashur dan
berkaliber internasional seperti : Al-Biruni (fisika, kedokteran); Jabir bin Hayyan (Geber) pada ilmu
kimia; Al-Khawarizmi (Algorism) pada ilmu matematika; Al-Kindi (filsafat); Al-Farazi, Al-Fargani, Al-
Bitruji (astronomi); Abu Ali Al-Hasan bin Haythami pada bidang teknik dan optik; Ibnu Sina
(Avicenna) yang dikenal dengan Bapak Ilmu Kedokteran Modern; Ibnu Rusyd (Averroes) pada bidang
filsafat; Ibnu Khaldun (sejarah, sosiologi). Mereka telah meletakkan dasar pada berbagai bidang
ilmu pengetahuan.
Beberapa ilmuwan muslim lainnya pada masa Daulat Abbasiyah yang karyanya diakui dunia
diantaranya:
• Al-Razi (guru Ibnu Sina), berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku,
140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur
adalah Al-Hawi Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya
penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa
hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya,
ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu Sina;
• Al-Battani (Al-Batenius), seorang astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat
tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling
terkenal adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet
Motibus, dimana terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan;
• Al Ya’qubi, seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu
geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih
qui dicitur al-Ya’qubi historiae;
• Al Buzjani (Abul Wafa). Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri
dan trigonometri).
Sejarah telah membuktikan bahwa kontribusi Islam pada kemajuan ilmu pengetahuan di dunia
modern menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan. Bahkan bermula dari dunia Islamlah ilmu
pengetahuan mengalami transmisi (penyebaran, penularan), diseminasi dan proliferasi
(pengembangan) ke dunia Barat yang sebelumnya diliputi oleh masa ‘the Dark Ages’ mendorong
munculnya zaman renaissance atau enlightenment (pencerahan) di Eropa.
Melalui dunia Islam-lah mereka mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu
pengetahuan modern. Menurut George Barton, ketika dunia Barat sudah cukup masak untuk
merasakan perlunya ilmu pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya pertama-tama tidak
ditujukan kepada sumber-sumber Yunani, melainkan kepada sumber-sumber Arab.
Sebelum Islam datang, menurut Gustav Le Bon, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak satupun
bidang ilmu yang maju bahkan lebih percaya pada tahayul. Sebuah kisah menarik terjadi pada
zaman Daulat Abbasiah saat kepemimpinan Harun Al-Rasyid, tatkala beliau mengirimkan jam
sebagai hadiah pada Charlemagne seorang penguasa di Eropa. Penunjuk waktu yang setiap jamnya
berbunyi itu oleh pihak Uskup dan para Rahib disangka bahwa di dalam jam itu ada jinnya sehingga
mereka merasa ketakutan, karena dianggap sebagai benda sihir. Pada masa itu dan masa-masa
berikutnya, baik di belahan Timur Kristen maupun di belahan Barat Kristen masih mempergunakan
jam pasir sebagai penentuan waktu.
Bagaimana kondisi kegelapan Eropa pada zaman pertengahan (Abad 9 M) bukan hanya pada aspek
mental-dimana cenderung bersifat takhayul, demikian pula halnya dalam aspek fisik material. Hal
ini sebagaimana digambarkan oleh William Drapper:
“Pada zaman itu Ibu Kota pemerintahan Islam di Cordova merupakan kota paling beradab di Eropa,
113.000 buah rumah, 21 kota satelit, 70 perpustakaan dan toko-toko buku, masjid-masjid dan istana
yang banyak. Cordova menjadi mashur di seluruh dunia, dimana jalan yang panjangnya bermil-mil
dan telah dikeraskan diterangi dengan lampu-lampu dari rumah-rumah di tepinya. Sementara
kondisi di London 7 abad sesudah itu (yakni abad 15 M), satu lampu umumpun tidak ada. Di Paris
berabad-abad sesudah zaman Cordova, orang yang melangkahi ambang pintunya pada saat hujan,
melangkah sampai mata kakinya ke dalam lumpur”.
Menurut Philip K. Hitti, jarak peradaban antara kaum muslimin di bawah kepemimpinan Harun Al-
Rasyid jauh melampaui peradaban yang ada pada orang-orang Kristen pimpinan Charlemagne.
Pertengahan abad 9 M peradaban Islam telah meliputi seluruh Spanyol. Masuknya Islam ke Spanyol
yaitu setelah Abdur Rahman ad-Dakhil (756 M) berhasil membangun pemerintahan yang berpusat di
Andalusia.
Melalui Spanyol, Sicilia dan Perancis Selatan yang berada langsung di bawah pemerintahan Islam,
peradaban Islam memasuki Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa internasional yang digunakan
berbagai suku bangsa di berbagai negeri di dunia. Baghdad di Timur dan Cordova di Barat, dua
kota raksasa Islam menerangi dunia dengan cahaya gilang-gemilang. Sekitar tahun 830 M, Alfonsi-
Raja Asturia telah mendatangkan dua sarjana Islam untuk mendidik ahli warisnya. Sekolah Tinggi
Kedokteran yang didirikan di Perancis (di Montpellier) dibina oleh beberapa orang Mahaguru dari
Andalusia. Keunggulan ilmiah kaum muslimin tersebar jauh memasuki Eropa dan menarik kaum
intelektual dan bangsawan Barat ke negeri-negeri pusatnya. Diantara mereka terdapat Roger Bacon
(Inggeris); Gerbert d’Aurillac yang kemudian menjadi Paus Perancis pertama dengan gelar Sylvester
II, selama 3 tahun tinggal di Todelo mempelajari ilmu matematika, astronomi, kimia dan ilmu
lainnya dari para sarjana Islam.
Tidaklah mengherankan, karena pada saat kekhilafahan Islam berkuasa saat itu Spanyol menjadi
pusat pembelajaran (centre of learning) bagi masyarakat Eropa dengan adanya Universitas Cordova.
Di Andalusia itulah mereka banyak menimba ilmu, dan dari negeri tersebut muncul nama-nama
‘ulama besar seperti Imam Asy-Syathibi pengarang kitab Al-Muwafaqat, sebuah kitab tentang Ushul
Fiqh yang sangat berpengaruh; Ibnu Hazm Al-Andalusi pengarang kitab Al-Fashl fi al-Milal wa al-
Ahwa’ wa an-Nihal, sebuah kitab tentang perbandingan sekte dan agama-agama dunia, dimana
bukti tersebut telah mengilhami penulis-penulis Barat untuk melakukan hal yang sama.
Di Andalusia (Spanyol bagian Selatan), berbagai universitasnya pada saat itu dipenuhi oleh banyak
mahasiswa Katolik dari Perancis, Inggeris, Jerman dan Italia. Pada masa itu, para pemuda Kristen
dari berbagai negara di Eropa dikirim berbondong-bondong ke sejumlah perguruan tinggi di
Andalusia guna menimba ilmu pengetahuan dan teknologi dari para ilmuwan muslim. Adalah
Gerard dari Cremona; Campanus dari Navarra; Aberald dari Bath; Albert dan Daniel dari Morley
yang telah menimba ilmu demikian banyak dari para ilmuwan muslim, untuk kemudian pulang dan
menggunakannya secara efektif bagi penelitian dan pengembangan di masing-masing bangsanya.
Dari sini kemudian sebuah revolusi pemikiran dan kebudayaan telah pecah dan menyebarluas ke
seluruh masyarakat dan seluruh benua. Para pemuda Kristen yang sebelumnya telah banyak belajar
dari para ilmuwan muslim, telah berhasil melakukan sebuah transformasi nilai-nilai yang unggul
dari peradaban Islam yang kemudian diimplementasikan pada peradaban mereka (Barat) yang
selanjutnya berimplikasi terhadap kemajuan diberbagai bidang ilmu pengetahuan.
Semaraknya pengembangan ilmu dan pengetahuan di dunia Islam diindikasikan dengan banyaknya
perpustakaan tersebar di kota-kota dan negeri-negeri Islam yang jumlahnya sangat fantastis.
Sejarah mencatat, perpustakaan di Cordova pada abad 10 Masehi mempunyai 600.000 jilid buku.
Perpustakaan Darul Hikmah di Cairo mempunyai 2.000.000 jilid buku. Perpustakaan Al Hakim di
Andalusia mempunyai berbagai buku dalam 40 kamar yang setiap kamarnya berisi 18.000 jilid buku.
Perpustakaan Abudal Daulah di Shiros (Iran Selatan) buku-bukunya memenuhi 360 kamar.
Sementara ratusan tahun sesudahnya (abad 15 M), menurut catatan Catholik Encyclopedia,
perpustakaan Gereja Canterbury yang merupakan perpustakaan dunia Barat yang paling kaya saat
jumlah bukunya tidak melebihi 1.800 jilid buku.
Sejarah juga mencatat bahwa Uskup Agung Raymond di Spanyol mendirikan Badan Penterjemah di
Todelo yang ditujukan guna menterjemahkan sebagian besar karangan sarjana-sarjana Muslim
tentang ilmu pasti, astronomi, kimia, kedokteran, filsafat, dll, dimana waktu yang dibutuhkan untuk
menterjemahkannya yaitu lebih dari satu setengah abad (1135-1284 M).
Dari pusat-pusat peradaban Islam yang meliputi Baghdad, Damaskus, Cordova, Sevilla, Granada dan
Istanbul, telah memancarkan sinar gemerlap yang menerangi seluruh penjuru dunia terlebih
Cordova, Sevilla, Granada yang merupakan bagian dari kekuasaan Islam di Spanyol telah banyak
memberikan kontribusi besar terhadap tumbuh dan berkembangnya peradaban modern di dunia
Barat.
PERIODE SETELAH DAULAT ABBASIYAH SAMPAI TUMBANGNYA KEKHILAFAHAN TURKI UTSMANI
Pada masa Khilafah Utsmani, para ahli sejarah sepakat bahwa zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni
(1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran yang pada masanya telah jauh
meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains dan politik.
Pasca berakhirnya keluasaan Daulat Abbasiyah, kepemimpinan Islam berlanjut dengan
kepemimpinan Daulat Utsmaniyah. Daulat Utsmaniyah yang juga dikenal dengan sebutan Kesultanan
atau Kekaisaran Turki Ottoman, didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad
kekuasaannya (1299 s.d. 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan
terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak
kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi dengan Konstantinopel (sekarang
Istambul) sebagai ibukotanya. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah
satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat. Kekuatan Kesultanan Usmaniyah
terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20.
Musuh-musuh Islam membutuhkan waktu selama satu abad untuk melepaskan ikatan ideologi Islam
dari tubuh umat Islam, yang pada akhirnya tanggal 3 Maret 1924 M yang bertepatan dengan tanggal
28 Rajab 1342 Hijriah, melalui Mustafa Kemal Attaturk yang merupakan agen Inggris dan anggota
Freemasonry (sebuah organisasi Yahudi), membubarkan institusi Kekhilafahan Islam terakhir di
Turki dan menggantikannya dengan Republik Turki. Maka, sejak saat itu ideologi Islam benar-benar
terkubur ditandai dengan dihilangkannya institusi khilafah oleh majelis nasional Turki dan diusirnya
Khalifah terakhir.
BEBERAPA CATATAN PENTING
Menyimak betapa besar kontribusi Islam terhadap lahirnya peradaban Islam berskala dunia
terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, sesungguhnya kemajuan yang dicapai Barat
pada mulanya bersumber dari peradaban Islam. Dunia Barat sekarang sejatinya berterima kasih
kepada umat Islam. Akan tetapi pada kenyataannya pihak Barat (non Muslim) telah sengaja
menutup-nutupi peran besar atas jasa para pejuang dan ilmuwan muslim tersebut yang pada
akhirnya terabaikan bahkan sampai terlupakan. Oleh karena itu, umat Islam perlu kembali
menggelorakan semangat keilmuan para ilmuwan muslim atas sumbangsihnya yang amat besar bagi
peradaban umat manusia di dunia dalam menyongsong kembali kejayaan Islam dan umatnya.
Kita dapat menyimak, bahwa puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi pada zaman
kejayaan umat Islam masa lalu terkait erat dengan tegaknya sistem kekhilafahan, dimana adanya
sistem komando yang terintegrasi secara global yang peranan secara politik sejalan dengan peranan
agama. Kita juga mendapatkan gambaran dalam sejarah bahwa sosok para pemimpin terdahulu
yang shaleh selain sebagai seorang negarawan yang handal dan mumpuni, juga sebagai seorang
‘ulama wara’ yang takut pada Rabb-nya, mencintai ilmu serta mencintai rakyatnya. Pada aspek ini
kita bisa melihat adanya integrasi tiga pilar utama dalam pembentukan peradaban Islam yaitu
agama, politik dan ilmu pengetahuan terpadu dalam satu kendali sistem kekhilafahan dibawah
pimpinan seorang khalifah.
Keberlangsungan sistem kekhilafahan terutama sejak zaman Daulat Umayyah dan Daulat Abbasiyah
walaupun bersifat khalifatul mulk (estapeta kepemimpinan didasarkan pada keturunan/dinasti) yang
adakalanya dipimpin oleh orang shaleh dan sekali waktu dipimpin oleh orang zhalim dan durhaka,
tetapi seburuk-buruk kondisi pada masa kehilafahan, masih jauh lebih baik daripada masa setelah
tercerabutnya kehilafahan, karena pada masa kekhilafahan hukum Islam masih tegak dan ditaati
oleh umat Islam, demikian juga adanya ketaatan terhadap berbagai fatwa para ‘ulama.
Segala hal yang baik dari para pendahulu umat Islam seyogiannya menjadi cerminan teladan bagi
kita, sementara segala hal yang kurang baik, sejatinya dijadikan sebagai pelajaran yang sangat
berharga.
Awal meredupnya peradaban Islam yang terjadi sejak abad ke-8 hijriah (abad 13 M) hingga abad
ke-14 hijriah (abad 20 M) yang telah mengakibatkan proses peralihan dari peradaban Islam ke
keradaban Barat yang ditandai dengan masa pencerahan di dunia Barat serta terjadinya penjajahan,
penaklukan dan aneksasi terhadap negeri-negeri muslim oleh armada perang dari negara-negara
Barat lebih disebabkan oleh melemahnya legitimasi politik dunia Islam karena peran kekhilafahan
cenderung bersifat simbol serta hanya sebatas seremonial saja hingga tumbangnya sistem
kekhilafahan di dunia Islam. Dari situlah kemudian dimulainya hegemoni dunia Barat terhadap
dunia Islam.
Jadi, sesungguhnya faktor utama kekalahan dan melemahnya peran umat Islam bukanlah terletak
pada kuatnya pihak musuh-musuh Islam, tetapi lebih disebabkan oleh melemahnya kekuatan umat
Islam yang diakibatkan oleh perbuatan kemaksiatan yang dilakukan. Kemaksiatan terbesar terutama
berupa sikap menyekutukan Alloh Swt (musyrik) dalam beribadah serta tidak memperdulikan lagi
atas berbagai aturan (syari’at) yang diperintahkan-Nya.
Perbuatan maksiat yang dilakukan oleh umat Islam itulah yang telah dikhawatirkan oleh Umar bin
Kaththabr.a. saat beliau menjadi Khalifah, hal ini sebagaimana dapat kita simak dari pesan tertulis
beliau yang pernah disampaikannya kepada Sa’ad bin Abi Waqash ketika akan menghadapi sebuah
pertempuran. Pada surat itu ditulis pesan sebagai berikut:
“Umar bin Kaththab ra. telah menulis sepucuk surat kepada Sa’ad bin Abi Waqash r.a.:
‘Sesungguhnya kami memerintahkan kepadamu dan kepada seluruh pasukan yang kamu pimpin,
agar taqwa dalam segala keadaan, karena taqwa kepada Alloh merupakan seutama-utamanya
persiapan dan strategi paling kuat dalam menghadapi pertempuran. Aku perintahkan pula
kepadamu dan pasukan yang kamu pimpin agar benar-benar menjaga diri dari berbuat maksiat.
Karena maksiat yang engkau perbuat pada saat berjuang lebih aku khawatirkan daripada kekuatan
musuh, sebab engkau akan ditolong Alloh jika musuh-musuh Alloh telah berbuat banyak maksiat,
karena jika tidak demikian kamu tidak akan punya kekuatan sebab jumlah kita tidaklah sebanyak
jumlah pasukan mereka, dimana persiapan mereka berbeda dengan persiapan yang kita lakukan.
Jika kita sama-sama berbuat maksiat sebagaimana yang dilakukan oleh musuh-musuh kita, maka
kekuatan musuh akan semakin hebat. Sangatlah berat kita akan dapat mengalahkan musuh kita jika
hanya mengandalkan pada kekuatan yang kita miliki, kecuali dengan mengandalkan ketaqwaan kita
kepada Alloh dan senantiasa menjaga diri dari berbuat maksiat...” (Lihat : Kitab Al ‘Aqdul Farid jilid
I, hlm. 101; Kitab Nihayatul Arab jilid VI, hlm. 168; Kitab Ikhbarul Umar wa Ikhbaru Abdullah bin
Umar jilid I, hlm. 241-242; Kitab Ikbasu min Ikhbarul Khulafa Ar-Rosyidin hlm 779, serta buku Jihad
tulisan Dr. Mahfudz Azzam, hlm. 28).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar